Sayangnya, anak kelas 12 harus menderita di saat adik-adiknya menari-nari di atas ladang jagung mereka. Ya, crush aku ada di antara segabrek siswa-siswi yang sedang melarat itu. Panggil saja Terry. Karena di mataku dia itu Terry Bogard
Oke, skip aja.
.
.
.
Kenapa aku suka sama Kak Terry? Hmm. Awal-awalnya aku nggak pernah ada feeling sama dia. Serius. Bagiku, dia itu sosok kakak, makanya aku panggil 'kakak'. Aku memang punya kakak cowok, tapi aku diperlakukan layak anak tunggal dalam keluarga. Dan, dia cowok pertama yang mengerti sifatku.Awalnya. Dia itu kakak kelasku di Japanese Club. Sumpah, sesi dia itu paling kocak. Berani-beraninya dia menyesatkan calon penghuni Japanese Club. Masa' dia nyaranin anime Highschool DxD? Pinter. Aku yang dasarnya ngerti langsung ketawa nggak karuan. Manalagi aku duduk paling depan! Waktu dia diusir temen-temennya, dia masih berkoar, bahkan sempet menclok sekilas di depan pintu buat promosi (lalu ditarik lagi). Cara ngusirnya itu, lho. Kayak ngusir orang gila! Bener, kalau aku ingat kejadian itu, sumpah. Gila parah.
Dan, dia promosi pin BB-nya. Ya, aku add.
Untuk beberapa saat, aku nggak ada hubungan sama dia, sampai akhirnya dia minta aku kasih saran buat light novel dia. Sejak itu, kita mulai deket.
Jujur aja, aku sendiri juga lupa kenapa aku bisa deket sama Kak Terry. Aku memang apatis. Aku memang cuek. Aku memang dingin dan tanpa ekspresi. Semua itu membuatku sulit dimengerti orang lain. Demi Allah, aku belum pernah ngelihat ada orang yang bisa ngerti aku banget kecuali Rani (my only soulmate) dan Atikah (sepupuku).
Aku benar-benar ingat kalimat itu.
"You're really an interesting girl. You're the first person with that kind of attitude that I met.".
Dia memang ngomong pakai bahasa Inggris, lho. Soalnya aku lebih sering pakai bahasa Inggris kalau di Facebook. Jujur, waktu itu aku masih belum sadar. Karena berbagai alasan, aku nggak mau jatuh cinta. Tapi, akhirnya perasaan wanita itu nggak bisa aku hilangkan. Gara-gara temenku.
.
.
.
Aku jarang ketemu Kak Terry di sekolah sejak keluar J-Club. Tapi, sebagai yang sekolah di SMA yang sama, pasti ada peluang untuk tegur sapa, 'kan?Jadi, waktu aku pulang sekolah, aku turun tangga, dan ketemu sama dia. Memang dasar aku itu expressionless, ya. Aku cuma ngelambain tangan sambil bilang "hai" dengan datar, tanpa senyum.
PINTARNYA, dia ngebalas aku dengan muka yang nggak kalah datarnya!
Jelas, aku mau ketawa.
"Ehem, ehem, ehem.".
Berkali-kali si alim itu memperlakukanku begitu. Yep, Lathifah Yasmine Wulandari, alias Yasmin. Dia sih, maunya aku panggil dia Lathifah, tapi enakan dipanggil Yasmin. Dan, sepertinya dia tidak terlalu perduli lagi soal itu.
"Itu siapa sih, Ran?".
"Kak ____. Kakak kelas di J-Club." Untuk kepentingan bersama nama asli dirahasiakan.
"Sumpah, lu cocok sama dia." Komentar yang benar-benar aneh—tapi, entah mengapa, aku senang mendengarnya. "Tampangnya sama-sama datar! Hahaha!".
"Aku nggak suka sama dia." Timpalku datar.
"Ah, yang beneeer?" Yaaassmiiinnn, jangan menggodaku. Waktu itu, aku memang masih suka sama teman sekelasku, panggil saja Ali. Aku suka karena dia mengingatkanku pada seseorang, bukan karena perasaan yang sungguh-sungguh—oke, aku rada psikopat di sini.
"Masih sama dia, Ran?" Oke, si kalem ini akhirnya buka mulut. Mufidah Hidayat, disingkat saja Fida.
"Begitulah.".
.
.
.
Kak Terry udah banyak bantuin aku. Beneran. Saking banyaknya, aku benar-benar lupa apaan aja. Tapi, yang paling aku ingat, waktu dia mau-mau aja aku minta temenin keluar buat fotocopy tugas Sejarah, di saat aku nggak masuk selama beberapa hari dan LUPA sama tugas Kocaknya, Kak Terry minta maaf karena nggak bisa nemenin lama-lama. Sumpah, itu konyol banget. Aku justru udah ngerepotin dia banget.
Tapi, dia mengulangi kalimat yang sama terus. "Nggak apa. Woles aja.".
Dasar. Tapi, aku suka sifatnya.
Karena itu yang membuatku nggak ingin kehilangan dia. Pemikir bodoh satu itu.
"Bukannya saya sudah bilang berkali-kali? Kamu itu gadis yang menarik, jadi saya harus berpikir panjang untuk menaklukan kamu.".
Rasanya, aku ingin bilang. "Kakak sudah menaklukanku, kok. Alias, aku percaya sama kakak.".
.
.
.
Tapi, aku nggak berani nembak, lah. Dengan berbagai faktor.- Cewek duluan yang gerak? What the heck. Jangan bikin aku ingat sama seseorang. Panggil saja Juliet. Dia nembak Romeo—orang yang aku suka waktu SMP. Dia itu benar-benar tipeku. Dia sedikit mirip Ali, jadilah aku sempat suka sama Ali karena aku ingat si Romeo itu—sehari setelah dia tahu aku suka sama Romeo. Gila, 'kan? Nggak sportif.
- Aku takut kehilangan Kak Terry. Serius. Lebih baik sebatas senior dan junior saja. Daripada dia tahu perasaanku dan berakhir renggang. Dramatis memang—aku hanya nggak mau mengulang kesalahanku waktu SMP.
- Aku mau fokus ke jalur undangan. Tujuanku ITB. Kalau memang nggak bisa, aku bakal lari ke UNPAD. At least, aku mau masuk desain grafis. Aku mau keahlianku dalam dunia Photoshop itu berguna untukku di dunia kerja—sebelum aku menjadi penulis.
Silahkan bilang aku pengecut atau bagaimana. Tapi, prinsipku memang sudah begitu.
Dan, itulah alasan mengapa aku menyiapkan berbagai kata untuk menolak seseorang yang menerorku sejak sebulan lalu.
Teror? Ada apa sebenarnya dengan entri ini?
Monggo ditunggu saja chapter keduanya! See ya!
.
.
.
.
.
(( Ranku Kurogane ))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar