Ini kisah saya waktu masih menduduki kelas yang benarnya akan menghadapi Ujian Nasional. Yep, kelas 9. Okelah, kita mulai nostalgiaku.
.
.
.
.
.
Now playing: Karakuri Pierrot – Hatsune Miku.Yep, lagunya Miku-chan yang selalu saya setel setiap galau. Walau begitu, sekarang saya bukan pundung karena cinta – seperti makna lagunya, sih. Ya, alasannya sungguh jauh berbeda.
Hari ini, praktek Seni Musik. BCL (Bu Can Lady) ngasih tugas yang gampang: main alat musik atau nyanyi per individu. Yang nyanyi boleh diiringi alat musik harmonis milik teman. Jujur aja nih, tugas ini gampang. GAMPANG. Emang gampang, kok. Orang-orang yang bisa main alat musik melodis (suling dan pianika) saja boleh unjuk keahlian. Memang memberikan kesan pas-pasan dan melarat sekali, sih. Hiks ...
Kenapa "hiks"? Iyalah. Andaikata dari lubuk hati
Dan, itu terjadi pada saya dan jelmaan Lucifer (bukan saya yang ngomong! Dia sendiri yang suka bilang kalau dia itu "Lucifer". Ketahuan SHAWOL, wakakakaka!) di sebelah saya, perwakilan kata 'black' dari Black Rose Hime,
Begitu juga dengan saya, saya mupengnya main piano. Kenapa? Ayolah, ini sesuatu yang patutnya kalian ketahui, ini ada di samping layar komputer Anda.
Saya. Ini. Fans. Beethoven.
Serius, rasanya jadi mayat di kasur, deh. /nggak.
Jujur banget nih, ya. Saya dari dulu aja merasa "nggak level" buat suka sama Beethoven. Eits, ini bukan salahku sepenuhnya! Itu kecelakaan. Niatnya cuma buat bahan novel doang, ternyata bisa sampai merasuki jiwa. Beethoven sih, kenapa jadi musisi keren banget?! /nggak. Itu salah lu sendiri.
Dan, faktor ini adalah penyesalan SEUMUR HIDUP. Penyesalan apa? Nanti kujelaskan.
Nah, kalau bukan lagu Beethoven – by the way, aku mau banget main The Tempest Sonata. Big recommended, guys – lagu apa yang saya mainkan?
Oke, ini juga menjadi tradisi sejak 6 SD.
Waktu itu 'kan mau ujian praktek Seni Musik. 1 lagu wajib, 1 lagu pop. Tapi, aku enggak ada perbekalan lagu pop sama sekali. Aku udah transcription satu lagu Jepang kesukaanku, tapi ... Plis. Itu lagu Jepang. Baiknya main lagu yang dikenal, 'kan? Oke, menjelang deadline, kuandalkan lagunya Vierra – Perih, secara notnya diobral sama temen-temen.
Tapi, aku nggak ada pegangan lagu lain lagi. Makanya, aku selalu memainkannya kalau disuruh "lagu pop Indonesia". Udah khatam, toh?
Oke, kembali ke saat ini. Nilaiku berani taruhaaaann ... Tidak memuaskan! 83, kalau enggak salah.
By the way, siapa yang maju ditunjuk secara acak sama BCL. Normal saja kalau tawaran bertaruh nyawa itu langsung melesat ke temanku yang masih berada di wilayah absen awal.
Wajarnya, sebagai teman-teman yang setia kawan, dengan khidmat menyimak pentas kecil temannya yang maju ke depan, 'kan? Keadaan sebaliknya dicontohkan oleh Laven. Well, aku sudah beradaptasi dari kelas 7, kok.
Malahan, aku juga termasuk yang tidak berbakti – berani-beraninya memasang earphone dan mendengarkan lagu sendirian. Aku memang duduk di pojokan saat itu, dan posisiku bisa dikategorikan jauh dari jangkauan mata Bu Can Lady.
Sudah disediakan satu keyboard di tengah-tengah kelas bilamana ada yang ingin – dan bisa memainkannya. Yep, hampir semua orang ingin bermain alat musik sebangsa piano itu, termasuk aku.
Bisa kulihat Siska – panggilannya memang berawalan 'S', tapi nama aslinya berawalan 'F' – yang bersiap-siap untuk menjentikkan jari-jarinya di atas tuts piano.
Aku hanya menatapnya lurus. Tanpa mengetahui jelas apa yang terjadi sebenarnya.
.
.
.
Tanpa komat-kamit, Ica langsung melepas satu earphoneku.Oke. Sedetik kemudian, aku langsung shock.
Fur Elise?!
Alunan nada yang memasuki gendang telinga itu sukses membuat mulutku menganga sebesar 4 cm – yep, gerombolan lalat beserta kawan-kawannya bisa masuk, nih. Begitu pula si rambut mi burung dara alami satu ini, dia menatapku dengan tatapan orang shock yang berkata 'gila-ini-orang-mainnya-lancar-pake-banget'.
Aku membalas tatapannya seraya berkata lewat tatapanku. 'Woi-ini-mainnya-full-version-lagi-bukan-yang-pendek-seperti-anak-anak-kalau-pakai-pianika'.
Dalam benakku.
YA ALLAH. DEMI APA, DI KELAS GUE SENDIRI ADA YANG BISA MAIN SELANCAR ITU? FUR ELISE? SELAMA DUA TAHUN LEBIH DI SINI, GUE NGGAK TAHU?! MENDING KALAU CUMA SETENGAH BAGIAN, INI FULL! F-U-L-L! WHATDAFAK–?!
.
.
.
"Ini Beethoven, ya?".Ca, jangan memandangku dengan tatapan 'eh-disebut-tuh-namanya'.
Aku refleks menepuk dahi. Padahal boro-boro aku yang ditanya.
Ah, setan alas. Nggak usah frontal kayak gitu di saat-saat jiwa raga saya lagi shock, Refsa.
Dalam hati, aku berterima kasih pada Satia yang menjawab pertanyaan seatmatenya dengan benar. Padahal, kalau nggak ada yang tahu, aku berencana untuk menjeritkan kata ya.
.
.
.
Usai permainan Siska yang mencengangkan, penghuni Laven pun bertepuk tangan. Termasuk aku dan Ica. Pascanya, penghuni Laven pun kembali beradu mulut, yang tentunya membuat Bu Can Lady sesekali terjangkit hipertensi. Yep, guru beautiful and unique satu ini, kalau marah, sebangsa Bu Annah yang menjabat sebagai guru IPA dalam dua periode Laven berjalan.
Berani taruhan, gue enggak bisa jaim lagi."ASTAGFIRULLAHALADZIIMM!!!" Aku langsung istighfar selantang yang dapat dicapai suaraku – walau aku bermetafora begitu, tentu masih menang telak obrolan penghuni Laven alias pasar pagi 89 itu. "Apa salah hambaMu, Ya Allaaahhh?!".
Oke, sumpah itu ngawur banget. Tapi, rasanya perih, pakai ekstra keju di dalam pizza jumbo, seakan gue barusan kayak dijatuhi beban seberat 10 ton. Karma. Ini KARMA. Mengingat aku pernah sekali durhaka pada orang tua – entahlah. Peristiwa itu bisa dikategorikan durhaka atau bukan, sih?
"Ya ampuuunn, Icaaa, apa salah gueee?".
Sampai akhirnya Ica menyerbu saya dengan pertanyaan retorik – pertanyaan tak bertanya.
"Kesalahannya ada pada SATU! Kenapa lo tolak waktu lo diajak les piano?!".
Jleb.
"DUA! Kenapa lo mau main Fur Elise?!".
Jleb.
"TIGA! Kenapa lo baru mau belajar piano sekarang?!".
Jleb kuadrat.
"EMPAT! Kenapa lo ngidolain Beethoven–".
ASTAGA NAGA! Berani taruhan, Ica melafalkan nama itu dengan volume maksimum.
"Ssssssssstttttt!" Aku langsung nimpuk-nimpuk si mungil satu ini. Beneran, deh. JANGAN DISEBUT SEKENCANG ITU!
"Sori, sori!" Yang ditimpuk pun langsung melindungi dirinya sendiri – dan kemudian melanjutkan khotbahnya sesaat kemudian. Dikira gue udah mau tamat?! "LIMA! KENAPA PIANO ITU HARUS ADA?!".
Sepertinya pertanyaan retorik itu bukan hanya ditujukan untukku seorang – tapi juga kepada dirinya sendiri. Sesuai dengan ekspresi wajah sang juru bicara yang begitu meratapi nasib sengsaranya.
"RT! Kenapa piano itu harus dipelajariiii?!" Oke, ini sesi bergalau ria.
"NAH, ENAM!" Aduh, Ca. Sampai kapan lo mau bawa-bawa panah dan membidiknya tepat ke arah hati gue yang lagi hancur banget ini? Oke, ini terlalu dramatis. "SOAL UASNYA ITU! Kenapa harus ada soal itu?! Kalau gitu, lo enggak bakalan bikin Requiem dan nggak bakalan tahu Fur Elise!".
Oke, kalimat itu. Sejarahnya panjang.
By the way, ada yang salah kaprah, tuh.
"GUE TAHU FUR ELISE DARI KELAS TUJUH!" Seruku membenarkan kesalahan.
"ANYING LAAAAHHH!" Sip, ada sesuatu yang patutnya disensor. Tapi, kebenaran hendaknya tidak disembunyikan. Dan, Ica memang menjerit apa adanya seperti itu. Untung pakai Y, bukan J.
"INTINYA!" Aku langsung mengakhiri kerusuhan antar kami berdua ini. "KENAPA GUE BARU NGIDOLAIN SEKARANG, SIH?! Huweeeeeeee!".
Oke. Ica langsung menenangkanku yang sangat sangat sangat sangaaaattt pundung ketika itu.
.
.
.
.
.
Kenapa harus "karma", "karma", dan "karma"?
Jadi, waktu aku masih kelas 7, aku pernah ditawarin mama papa buat les piano. PINTARNYA, kutolak. Nggak tahu kenapa. Lupa. Atau, aku yang masih berjiwa anak SD itu terlalu berpikir pendek. Sejak aku suka Beethoven, aku justru benar-benar kepingin. Sampai sekarang. Siapa sih, yang nggak senasib sama aku? Siapapun yang mengidolakan seseorang, pasti ingin menjadi seperti dia!
Yah, aku nggak berharap menjadi seseorang yang mengukir namanya di bidang musik, sih. Karena faktor menyedihkan inilah, aku buat Requiem Series.
Requiem Series. Itu novelku. Sedikit spoiler, ceritanya terinspirasi dari diri sendiri, musik klasik, Omen Series, dan insiden tersendiri. Itu dia yang disebut-sebut Ica "soal UAS".
Singkatnya, di soal UAS Bahasa Inggris 'kan pasti ada Recount Text. Nah, salah satu Recountnya itu KEREN BANGET. Tokoh protagonisnya kenalan sama seseorang di Facebook. Eh, ternyata, seseorang itu sudah meninggal setahun sebelum mereka bertemu. Nah, lho?!
Yep, sejenis itulah. Tentunya, Requiem Series enggak dibuat segampang itu, tapi ringkasnya begitu. /?
Tokoh utama Requiem itu "aku". Lebih tepatnya, refleksi keinginanku selama ini. Seorang pianis yang lihai memainkan lagu Beethoven.
Oke, kusudahi spoilernya, dan inilah akhir dari nostalgiaku.
Ah ... Semua tragedi yang berkesinambungan ini, entah mau ketawa, entah mau kangen, entah mau meratapi nasib di pojokan kamar ... /daging dendeeengg.
Yang jelas, pilihanku adalah pilihan ketiga. :")
Thanks for reading!
.
.
.
.
.
(( Ranku Kurogane ))
*facepalm*
BalasHapusJujur ini konyol banget, tp saya gak ketawa, tapi...
Kenapa kamu lebay banget Raaaaaaann pas kelas sembilaaaaaannnnnn
Dibilangin juga apa, ini konyolnya nggak terkira. -___-
HapusSumpah, waktu itu saya nggak bisa jaim lagi! Beneran teriaaakkk.