Sabtu, 22 Maret 2014

Tell Me (File 3.5: After Bloody).

Hai, di sini Mikaeru-Kiddo! Akhirnya, aku punya kesempatan lagi, hehehe. Oke, oke. Aku terlalu sering vacuum. Akan kuusahakan untuk menyelesaikan cerita-ceritaku secepat mungkin. Nothing much to say, check it out.
.
.
.
.
.
File 3.5: After Bloody.
.
.
.
.
.
“I’m trapped in a dream that doesn’t show its shape.
As this world get more and more suspicious.
Again, someone becomes aware of it.”
.
.
.
                Kembali ke Tempat Kejadian Perkara.
                Kuulang perkataanku sekali lagi. Aku tidak mau peduli. Boleh kuperlengkap? Tidak akan mau peduli. Aku sudah tidak mau tahu. Serba tidak, bukan? Tidak ada reaksi lain selain penolakan dalam hatiku yang panasnya setara dengan air mendidih ini. Angkanya boleh besar, 313 Kelvin. Padahal itu dalam satuan standar internasional. Kalau dinyatakan dengan Celcius, yang pertama kali melintas di benakmu pasti kekecewaan karena ternyata angkanya masih bisa dijangkau oleh otak normal.
                Tapi, dapatkah kalian memperkirakan seberapa besar luka hatiku?
                Tidak ada orang yang bisa mempercayai fantasi gilaku. Berani sumpah, imajinasimu harus bermain untuk menghadapiku yang berkepribadian ganda ini. Gasp, aku tidak punya alter-ego, lho. Aku bukan pengidap gangguan identitas disasosiatif. Aku sadar penuh atas perbuatanku. Semuanya.
                Maksudku, kepribadianku bisa disetarakan dengan bunglon.
                “Ja-jangan main-main! Ma-mau apa kamu dengan api ungu itu?!”.
                Menghukum kalian. Apa yang sudah kalian perbuat dengan kaki kananku? Rasanya, bagaikan melihat hewan yang hendaknya dikuliti. Bedanya, itu bagian alat gerakku. Normal saja, bukan? Kalau aku sempat menduga kalian akan mempraktekan kanibalisme.
                “Itu sulap, ya? Trik yang menakjubkan, Chris.”.
                Bukan. Rasakan saja kebenarannya.
Sudah cukup dengan gurauan kadaluarsa kalian. Aku mau muntah. Membuatku overdosis saja.
Awalnya, sama sekali TIDAK terlintas niat keji di dalam benakku, lho. Percaya, deh. Dengan perencanaan yang benar-benar matang, kulangkahkan kakiku kemari. Ini keinginanku sepenuhnya. Walaupun naif, aku tidak perduli. Obsesiku selalu mengalahkan logikaku.
Inginnya, meraih kembali kebahagiaan yang pernah kuperoleh bersama mereka.
Dan kali ini, menghentikan nafas mereka.
Apa-apa selalu ingin kulakukan saat itu juga.
Apa iya aku pengidap syaraf obsesional yang belum terbangun? Ah, sedikit berbeda dengan psikopati, sih. Tapi, aku bukan wanita yang selalu merasa kurang dalam hatinya setiap melewatkan sesuatu. Secara, kebanyakan pasien OCD itu wanita. So, anggap saja aku psikopat. Dimana orang lain takut dengannya, aku bangga dengan sebutan itu.
“Sayangnya, aku tidak memakai topi sulap,” candaku datar. Senyum sumringah tampak lebar di wajahku yang masih mulus. Sebentar lagi, aku akan menerima make up gratis yang sangat langka. “Tapi, tidak apa-apa, kok. Kalian itu tamu yang sangat spesial. Makanya, aku sengaja kembali ...”.
Epilognya berlawanan dengan prolognya sendiri. Waw, aku hebat, ‘kan?
“... Untuk menjadikan kalian kelinci percobaan. HAHAHA!”.
Berimbang dengan siulan – melambangkan sifatku yang easy-going, bukan begitu?
Tak kalah santainya, tanganku langsung bermain dengan girang, memanipulasi api ungu yang masih tidak terdefinisi asal muasalnya. Yang jelas, pekerjaanku sekarang benar-benar memuaskanku.
Membakar mereka hidup-hidup.
.
.
.
.
.
                Usai bersenang-senang dengan kelinci-kelinci malang itu, aku langsung pergi tanpa merasa berdosa. Baru luka bakar, sih. Tapi, itu sudah cukup parah. Alih-alih, pihak yang berwajib akan sibuk mengurus mereka mulai dari sekarang. Akankah luka mereka itu berbekas, atau bisa disembunyikan dengan plastik? Huh, asal mereka berani mengeluarkan uang yang lumayan besar jumlahnya hanya untuk kebahagiaan sang anak. Boleh-boleh saja kucuri dengan alasan menikmati hasil jerih payah – sekalian tindak pidana – tapi, menghadapi aparat yang berdarah dingin itu setara definisinya dengan bunuh diri.
                Atau mereka yang mengadakan perhitungan denganku.
Oh, ya. Soal teman-temanku. Mengadukan perbuatanku ke pihak dewasa? Ah, mereka tidak sampai nyali. Mereka memang cengeng, kekanakan, dan larinya pasti ke orang tua terus. Tapi, salah satu dari mereka pasti bisa menduga, dong.
Kalau aku bisa melakukan hal yang lebih kejam lagi.
Lewatkan itu.
Nah. Entahlah manusia terlalu memperhatikan yang ada di sekitar mereka atau bagaimana, semua sorot mata manusia yang kutemui tertuju ke satu arah.
Ke arahku.
Satu kata. Apes.
Nyaris disetarakan dengan pengemis berkaki pincang, beberapa  anonymous menawarkan jasanya padaku. Tapi, aku menolak mereka dengan alasan sempurna – hanya terkilir ketika bermain ice hockey dan jatuh ke dalam sungai. Jaket hitam yang senantiasa kulingkarkan di leher kini berganti profesi – menutupi lukaku yang kalau aku boleh komentar, mengerikan.
Bisa-bisa aku dikira pengemis jalanan betulan.
Perlu kuralat, korban bully.
Uh, akhirnya sampai juga. Setidaknya, aku tidak akan pingsan di jalan gegara anemia. Hebat. Sudah tahu terluka parah, berani-beraninya aku menggunakan kekuatan misterius itu. Lagipula, aku benar-benar dibakar emosi. Tidak perduli dengan faktor apapun. Shit just got real.
Ah, abaikan sifat impulsifku. Sekarang, aku ini Chris yang berjiwa melankolis. Bisa kalian lihat dari manik cerulean yang melekat di wajahku. Warna iris asliku sejak lahir.
Kulirik lantai tiga. Aku tahu balkon kamarku yang mana.
Dua orang itu sudah ada di sana belum, ya?
.
.
.
                “Buka jaketmu!”.
                Sialan. Dia langsung menunjuk kakiku.
                Alih-alih disapa balik. Aku malah langsung didamprat Kak Yashiro. Kak Shermie sempat ingin membalas – tetapi Kak Yashiro memotongnya secepat badai. Kurasa dia sengaja. Daripada melawan senior, kuturuti saja dengan setengah ikhlas. Well, aku mempunyai alasan kuat kenapa aku setengah keberatan dengan permintaan si musuh Matematika satu itu.
“Brengsek,” what the hell. Dia mendelik ke arahku, ekspresinya benar-benar sangar. Tapi, kurasa, maksud tatapan itu bukan ditujukan padaku. “Siapa yang berbuat begini padamu?!”.
Sesuai prediksi. Pemuda bermanik maroon itu langsung naik darah. Makanya aku tidak mau. Habisnya, aku hanya akan membuang waktu untuk menghujat manusia-manusia tidak bertanggung jawab tersebut. Itu namanya mencemooh keburukan orang lain, dan itu samanya dengan memakan daging saudaramu sendiri. Tapi, kalau boleh jujur, aku tidak perduli.
“Teman-temanku,” jawabku dingin – dan sedetik kemudian, mataku refleks membulat lebar.
Kenapa aku masih mengakui mereka sebagai teman? Mulutku bicara apa, sih.
Salah bicara. Sudah biasa memperlakukan mereka demikian selama beberapa tahun, jadilah kebiasaan setiap kali ada yang bertanya soal mereka. Mereka bukan temanku lagi.
“I-ini keterlaluan!” Damprat Kak Shermie kencang. Mata abu-abunya mengilat. Mengamati setiap sudut luka-lukaku yang baru beberapa menit berkontak dengan udara air conditioner. To be honest, rasanya ngilu. Darahnya sudah membeku walaupun masih berbekas. Sekilas cuplikan, bisa kalian lihat daging manusia dengan mata jikalau bertukar pandangan dengannya. Dan tentu saja, itu akan membuatmu nyaris muntah. Seperti ekspresi pucat Kak Shermie saat ini.
“Se-segera kuambilkan kotak P3K!” Ujarnya panik sambil berlari ke dalam kamarnya.
Aku mengangguk.
“Benar-benar tidak tahu aturan, manusia ganas,” geram Kak Yashiro. “Masa’ sampai separah ini melukai orang?!” Tangan kekarnya mengepal kencang. Matanya mendelik ke setiap arah yang dia lihat, mencari-cari target utama untuk menghujamkan tinju knock out. Sayangnya, tidak ada. Manik maroonnya memandangku – pandangan a la belas kasihan. “Chris, jalanmu jadi pincang, ‘kan?”.
“Yah,” aku mengangkat bahu. Memang, aku tidak bisa berjalan dengan sempurna gara-gara luka keparat ini. “Itu hanya karena terasa sakit saja. Kalau sudah sembuh, aku masih bisa jalan, kok. Mungkin.” Sengaja kutambahkan kata yang tidak meyakinkan. Secara, aku memang tidak yakin kalau keadaanku bisa pulih secepat perkembangbiakan cacing planaria.
Manik ceruleanku bertukar pandang dengan manik maroon Kak Yashiro. Kosong. Aku sadar dia tidak percaya padaku.
“Yashirooooooo!” Ah, suara itu benar-benar sempurna untuk memecahkan suasana hening. “Tolong ambilkan air panas! Pakai baskom, ya!”.
“Iya, iya,” respon yang disuruh acuh tak acuh. Menjadi pembokat dadakan, siapa yang mau? Tidak ada. Lumrah-lumrah saja Kak Yashiro menjawabnya dengan nada malas. Gerak malas. Benar-benar seperti siput yang enggan keluar dari cangkangnya.
Eits, sempat-sempatnya dia menghujamkan tatapan tajam ke arahku. Caranya memandang persis dengan cara ayah memandangku ketika dia sedang serius – berkehendak menasehatiku yang seringkali melanggar peraturan rumah.
“Kamu jangan bergerak, lho. Lukamu itu parah.”.
.
.
.
.
.
                “Nah, sudah diperban,” senyum Kak Shermie lega. Akhirnya, ada benda yang dapat menutup lukaku secara efisien. Tidak perlu menggunakan jaketku yang malang lagi. “Eh, haruskah sekarang?” Gadis sanguinis itu menoleh ke arah pemuda yang berjongkok di sebelahnya –  mengamatinya sedari tadi, ketika kekasihnya menjelma menjadi sosok relawan untukku: membungkus lukaku yang cocok menjadi objek penantang adrenalin.
                Lewatkan itu. Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya.
                “Tentu saja,” Kak Yashiro mengangguk. “Yang penting, bukan suaranya yang rusak.”.
                Sekarang aku mengerti.
                Aku berniat untuk berdiri – tetapi belum juga apa-apa, gerakanku langsung ditahan pemuda albino satu itu. Siapa lagi kalau bukan Yashiro Nanakase? Sudah keberapa kali dia menyulutkan api di depanku? Maksudku, yang pertama. Dengan sengaja dia membelaiku, padahal sudah kubilang kalau aku tidak suka dibelai. Hebatnya, alasannya benar-benar masuk akal. Benar-benar membuatku yang lihai dalam komunikasi verbal ini langsung skat mat.
                Dia rasional, dan aku irasional.
                Pasangan yang cocok, bukan begitu?
                “Kak,” semburku jengkel. “Atas dasar apa kakak menahanku, deh?”.
                “Tidak seharusnya kau berjalan, bocah sok dewasa,” paparnya singkat – untuk yang kedua kalinya, dia membuat lidahku kelu. “Kau duduk saja, pasien kecil. Tunggu kami sebentar,” pesannya sambil nyengir lebar. Tidak lupa membelai-belai rambut coklat kayuku. Dalam hati, aku ingin sesekali mencekiknya sebagai respon simbolis kalau aku tidak suka. Tapi, dia membuatku mati kutu.
                Dia pegang kelemahanku.
                Sehebat inikah mahasiswa jurusan Sosiologi? Wah, kacau.
                Kalau aku sudah lulus SMA, akan kupilih jurusan Matematika.
.
.
.
                “... Siapa yang membuat lagu ini?”.
                Tatapan mengintimidasi a la Chris. Julukan yang lumayan keren, bukan? Eits, mataku bukan kerabatnya mata Medusa, lho. Kesaksian orang-orang terdekatku dulu, tatapanku kadangkala penuh dengan makna. Yep, opini mereka memang mendekati kebenaran. Entah itu bertanya, menyelidiki, atau bahkan menghujat orang lain.
                “Aku,” seseorang menjawab pertanyaanku – dan sedetik kemudian, aku langsung melongo bak keledai.
Holy crap! Believe it or not!
Mahasiswa jurusan Sosiologi satu itu. Oke, ini ketiga kalinya aku dibuat facepalm. Err, kali ini dia tidak membawa-bawa obor di depanku, kok. Maksudku, please. Dari kekekarannya saja sudah mendukung. Kalau genre kesukaan pemuda ini adalah rock. Yang membuatku terkejut, semua yang tertulis di secarik kertas dalam genggamanku ini.
                I shall be singing for you through the night. I shall be turning on the broken light.
                Jangan-jangan, lagu ini ditujukan untuk kekasihnya.
                Kurasa tidak.
                “Err, kak,” tanyaku ragu – berpura-pura untuk ragu. “Liriknya memang begini, ya?”.
                “Iya,” jawabnya sambil mengangguk. “Memangnya kenapa?”.
                Aku menggeleng. “Bukan apa-apa, kok. Hanya saja, liriknya agak ...” Aku langsung menelan ludah. Ragu sih, tidak. Merasa awkward, iya. Sebagai seorang vokalis. “... Enggak cocok dinyanyikan anak sepertiku.” Akhirku tangkas.
                “Perasaanmu saja,” cengirnya lebar – menampakkan gigi-giginya yang ternyata mengenakan behel berwarna silver. Benar-benar dekorasi yang pantas dengan rocker. “Penyanyi itu nggak dinilai dari penampilannya saja. Tapi, dari caramu mengerti arti lagu yang akan dibawakan.”.
                Tunggu dulu, artinya saja sudah tidak terlalu meyakinkan, batinku sambil menghela napas panjang. Sepanjang yang kubisa. Tapi, ini bukan mewakilkan kata menyerah ataupun putus asa.
                Aku langsung tersenyum lebar.
                Challenge accepted.
.
.
.
.
.
“To lie, I shall be here
To lie, I shall be here.
.
You’re the only one I love.
That feeling won’t change, oh.
Although we built beautiful memories together.
I must be off right now.
I can’t keep living on as today.
Just to make this big lie.
.
I shall be singing for you through the night.
I shall be turning on the broken light.
Similar to piercing the night sky.
Once I prepare the depth of me in full guilt.
Going to lie.
.
Because you’re not dull at all.
It’s possible you’d see through but we have no choice.
By staying this way, we’re falling down.
Then you say what?
A cruel wall we can’t pass exists for us.
We must be separated.
I’ll make even the dumbest lie for you, I’m gonna lie.
.
It burdens me to separate my kind excuse.
End it with a lie, that’s my pride.
Fooling you who are still unaware,
who knows nothing about liar."
.
.
.
.
.
                Jujur saja, aku tidak terlalu suka lagu romantis.
                Tapi, lagu itu terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku suka liriknya. Menggambarkanku yang mahir memanipulasi orang ini. Haruskah kuhaturkan rasa terima kasih padamu, Yashiro Nanakase? By the way, instrumental lagunya juga lumayan unik, lho. Kak Shermie yang merancangnya. Mereka berdua benar-benar jenius di bidang ini. Membuatku merasa tertinggal jauh.
                Sepertinya, aku benar-benar junior, deh.
                Eits, sebodo. Seperti yang ada di dalam lagunya, that’s my pride. Aku memang seorang yang jaim – alias jaga image. Tapi urusan membanggakan diri, aku juga termasuk di dalamnya. Yep, aku ini narsis. Kepercayaan diriku memang melampaui batas. Tapi, siapa yang perduli tentangnya?
                Karena, yang mereka perdulikan adalah sisi negatifku.
                Lewatkan itu.
                “Hei, kalian ada di sana, ya?”.
                Lagi-lagi, tatapanku mengintimidasi mereka. Berani taruhan. Asyik-asyik latihan bernyanyi, malah dipergoki. Bagaimanapun juga, aku tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian.
                “Maaf, maaf,” gadis sanguinis itu tersenyum sumringah. “Tidak sengaja.”.
                “Bohong,” aku langsung membantahnya. “Bilang saja kalau kalian mendengarnya.”.
                “Ups, sorry,” cengirnya lebar – dan entah mengapa, bulu kudukku langsung berdiri. Bibirnya yang berpoles lipstik merah terang itu benar-benar membuatnya terlihat sedikit ... Seram.
                Well, you know what did I mean, didn’t you?
                “By the way,” aku langsung menunjuk apa yang dijinjing Kak Yashiro. Sebungkus plastik putih berlogo – tapi, aku tidak bisa melihat apa logonya karena plastiknya menghadap ke belakang. “Itu ... Apa, deh?”.
                “Oh,” pemuda albino itu langsung nyengir kuda. “Kalau kamu bertanya-tanya kenapa kami menghilang di pagi hari, ini bisa menjadi bukti simbolis.”.
                Masuk akal. Aku memang mencari kalian. Kemana kalian tadi pagi, hah?
                Tanpa bicara lagi, Kak Yashiro langsung memberikan bungkusan plastik itu padaku. Dengan tatapan menyelidik, aku langsung memperlakukannya seperti bom – dengan brutal mengusir plastik itu agar bisa melihat apa isinya – err, perumpamaanku terlalu hiperbola.
Dan, mata ceruleanku terbelalak.
Bohong.
“Handphone ...?”.
“Habis, kamu enggak punya handphone,” papar Kak Yashiro sambil tersenyum hangat. “Jadi, kami patungan saja untuk membelikanmu. Maaf, modelnya yang biasa-biasa saja. Lain kali, kita beli handphone baru di Osaka, ya?”.
“Bagaimana, Chris?” Kak Shermie langsung menghampiriku – berbekal senyuman ceria a la dirinya yang begitu khas. “Kamu suka, tidak?”.
Ah, dasar orang-orang bodoh.
Pikiranku benar-benar menghujat mereka. Tapi, itu tidak sama dengan perasaanku saat ini. Seperti akar-akar dari pertidaksamaan dua variabel, hasilnya benar-benar membingungkan. Berbagai macam perasaan berkecambuk dalam hatiku.
Ada empat. Senang. Kesal. Sedih ...
... Takut.
Tanpa sadar, air mataku sudah menetes dan bergulir menuruni pipi.
Terserah dengan semua ini. Terserah dengan kelainanku.
“... Terima kasih.”.
Aku memang seorang yang tidak pernah berempati. Tetap saja, orang tidak akan pernah bisa hidup tanpa cinta. Aku kehilangan semua itu, dan aku memperolehnya kembali sekarang. Oh, Tuhan. Apakah aku harus siap kehilangan lagi? Adakah yang abadi di dalam dunia fana ini?
Aku tahu. Aku akan berubah menjadi seseorang yang jahat dan berdarah dingin, bilamana aku berhadapan dengan seorang pengkhianat. Siapapun bisa menjadi pengkhianat, tahukah kalian? Yep, hati seseorang itu bisa berubah-ubah.
Tapi, di antara seluruh temanmu, ada yang akan benar-benar setia padamu.
Tidak tahu siapakah itu.
Prioritas utamaku, aku tidak mau menyakiti siapapun kecuali atas dasar dendam.
.
.
.
.
.
“He’s rational and I’m irrational. Fair enough?”.
.
.
.
To be Continued.
.
.
.


Author's Note:
Oke, soal lagunya. Itu sebenarnya U-KISS - Tick Tack. Karena lagi suka sama lagu itu, jadi aku pasang saja jadi setting. Sesuai dengan pernyataan Chris di sini, lagu itu cocok dengan dirinya yang manipulatif dan hipokrit. Nothing much to say, see you later, guys. Keep reading!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar