.
.
.
.
.
Kenapa harus dia?
Hanya itu yang ada di dalam pikiranku. Tanpa berpikir panjang—namun dengan pemikiran yang matang. Aku langsung menyuruhnya untuk berbicara di lokasi yang lebih privat saja. Alias di Direct Message. Dan, dengan perasaan yang sungguh-sungguh, aku langsung meninggikan nada bicaraku.
"Serius. Maksud semuanya apa?!".
Kuharap jawabannya tidak mengecewakan.
"Oke. Sebenarnya hanya iseng yang temanya tentang 'crush'. Saat saya tahu itu anak kelas 12, saya mulai penasaran. Dan, dugaan saya benar. Bukan bermaksud teror atau yang lain. Saya cuma berpikir kalau kamu itu orangnya menarik. Dan, saya penasaran tentang kamu. Saya nggak bilang siapa-siapa tentang hal itu. Maaf.".
Persetan. Nggak bisa semudah itu memaafkanmu.
Rasanya aku ingin bilang begitu. Tapi, aku berusaha untuk berlapang dada dan mencoba untuk memaafkan. Aku nggak mau bertengkar di awal-awal liburan panjang ini. Apalagi, dengan seseorang yang kiranya nggak pernah bermasalah denganku sebelum ini. Dengan seseorang yang tidak pernah meninggalkan citra buruk di mataku.
"Nggak apa-apa, kok. Tapi, ucapan yang terakhir. Yang pakai Bahasa Jepang itu. Itu serius atau cuma mau main-main?".
Baik itu serius atau bukan, aku juga pasti akan menolaknya. Sesuai dengan kalimatku di entri sebelumnya—yang mana kukatakan di depan Kak Terry. Aku tidak pernah mau membohongi hatiku sendiri.
"Well, it between serious and joke. Saya penasaran bagaimana reaksi seorang Ranran jika dihadapkan dengan sesuatu seperti itu.".
Apa? Jadi, aku dipermainkan?
"Dan disertai sedikit perasaan saya.".
Ah, nggak. Setidaknya, aku tidak perlu mencapmu sebagai pembohong kelas kakap.
Kesimpulannya, dia tidak membohongiku. Yah, yang penting itu. Serupa tapi tak sama dengan karakter game yang aku RP-in sendiri—alias Chris. Aku. Benci. Pembohong.
"Lalu, soal 'need help' itu apa?".
"Yah, barangkali kamu butuh informasi mengenai dia, atau mau mendekati—misalnya. Atau saran.".
Kalau boleh jujur, aku tertawa a la psikopat waktu membaca jawabannya. Tidak—nggak akan semudah itu dia kumanfaatkan. Aku nggak bisa. Aku memang orang yang sering memanfaatkan kesempatan emas apalagi kalau itu menguntungkanku, tapi aku bukan seorang pengkhianat. Pegang kata-kataku itu.
"Dan sekali lagi, saya minta maaf.".
Sudah. Jangan membuatku merasa berdosa.
"Nggak apa-apa. Serius, nggak apa-apa. Justru saya yang harusnya minta maaf.".
"Tidak. Atas dasar apa kamu minta maaf? You're innocent.".
Boleh kuralat? Naif. Bukan polos.
Kalau aku polos, aku nggak akan merasa kecewa. Yah. Berimbang dengan rasa sedih, sih.
"Aku merasa nggak enak saja sama kakak. Entahlah, aku marah atau sedih sekarang, nggak tahu. Yah, anggap saja empatiku 'masih' ada. Tapi, nggak apa-apa, kok. Aku bukan orang yang bakal nyuekin orang yang kiranya udah bikin aku marah. Soalnya, aku marah pasti cepet lupa.".
"Begitu... Oke, kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan hubungi saya.".
Ah, apa iya kalau dia benar-benar tahu siapa orangnya?
"Iya... Dan... Kiranya aku butuh itu sekarang. Hehehe.".
"Jadi, ada yang bisa saya bantu?".
"Saya mau memastikan apakah dugaan kakak benar atau nggak. Memangnya siapa?".
BLABLABLA.
Intinya, jawaban dia benar.
Dalam benakku, dia 'kan dekat sama Kak Terry, apa ...
Aku boleh tanya satu hal ke dia?
Rasa ingin tahu itu menjerumuskanku ke dalam suatu kasus. Yang sampai sekarang belum bisa kubilang tamat.
.
.
.
.
.
My God. Aku ingat kalau Kak Terry ingin menyelidiki siapa pelakunya. Sial. Sekarang itu sudah tidak perlu lagi. Waktu itu, aku benar-benar lagi nggak mau ngobrol sama siapa-siapa, jadi ini yang kukatakan padanya.
"Kak. Nggak usah dicari lagi. Orangnya ngaku. Dan, saya nggak nyangka. Nggak nyangka.".
"Nggak nyangka gimana? Siapa orangnya?".
"Nanti aja ya, saya ceritanya. Kalau saya udah tenang. Perasaan saya jadi nggak jelas. Dari shock—lalu ke marah, sedih, iba. Nggak tahu. Maaf, kak.".
"Saya ngerti. Ya udah, tenangin diri dulu sana. Ingat, kalau ada apa-apa kasih tahu saya, saya akan selalu bersedia mendengarkan dan membantu Ranran.".
Tidak tahulah mengapa. Aku benar-benar percaya padanya.
.
.
.
Beberapa saat kemudian.
"Kurang ngajar tuh anak, hadeh.".
Aku tahu. Itu istilah yang lebih sopan dari definisi "kurang ajar".
"Dia itu ya, kalau menurutku, belum berpengalaman soal beginian. Dia itu persis aku waktu SMP, aku ngerti maksud dia apa, tapi caranya salah...".
Pantas saja Kak Terry selalu baik sama perempuan, batinku dalam hati.
"Sekarang anaknya BBM aku, nanya sifat asliku bagaimana, katanya dia lagi jadi mata-mata.".
Seketika, aku langsung mematung.
Dia mata-matanya, dan aku bosnya.
Padahal aku nggak nyuruh dia, 'kan?!
Sumpah. Itu bodoh banget. Siapa juga nyuruh dia buat jadi secret spy?!
"Udah, kak. Jangan diapa-apain...".
Satu alasan saja. Aku nggak mau mereka bertengkar. Aku nggak mau jadi biang permasalahan mereka.
"Ya, enggaklah. Saya sama Daiki itu teman seperjuangan. Justru saya mikirin kamu nggak apa-apa atau bagaimana. Udah, Ran, udah. Jangan dipikirkan. Jangan pegang hape dulu, biar saya ngomong sama Daiki sebentar. Kamu tidur aja.".
Aku nggak apa-apa, kok. Aku hanya shock. Nggak habis pikir.
"Iya. Aku nggak mau dengar kabar buruk, lho. Oyasuminasai.".
Satu-satunya yang ada dalam pikiranku. Kok, jadi begini?
.
.
.
.
.
8 Maret 2014.
"Ohayou.".
Aku langsung menelan ludah. Apalagi setelah tahu siapa orang yang BBM aku.
"Sekarang udah nggak apa-apa, Ran. Keadaan kamu gimana sekarang?".
Dia benar-benar khawatir, ya?
"Nggak apa-apa, kok. Masih agak shock, sih. Tapi—saya benar-benar udah nggak apa-apa. Oh, iya. Nggak terjadi hal-hal yang buruk, 'kan?".
"Alhamdulillah, kalau kamu nggak apa-apa. Enggaklah, emang kamu pikir saya siapa?".
Benar-benar deh, kamu itu.
"Nggak. Saya ngeri aja. Oke, oke. Tapi, karena masih merasa menjadi biang masalah, kalau boleh tahu, kakak ngobrolin apa aja sama Kak Daiki?".
"Nggak, Ran. Tenang aja. Bilang jangan ngelakuin kayak gitu lagi, nggak baik. Dia 'kan awalnya nanyain sifat asli saya, terus ngobrol-ngobrol dan akhirnya saya jawab.".
Jawabannya benar-benar gila. Kuulang. GILA.
Nadanya sih polos. Tapi, apa dia nggak sadar kalau itu—secara langsung mengumumkan perang, ya?!
'Gue ini orang yang sama sekali nggak suka, benci, murka, geram, sama orang yang melukai perasaan cewek yang gue kenal.'.
Oh, God. Seriously. You're idiot, Terry!
"Oi. Apa itu nggak menyindir secara langsung, ya?".
"Lah, 'kan dia nanya. Ya, saya jawab.".
Alasan yang masuk akal.
"Ckckckck. Tapi, kalian enggak bertengkar, 'kan?".
"Maunya sih, gitu. Tapi, saya nggak bisa berantem.".
Meninggalkanku yang terdiam seribu kata berkat kalimatnya.
Munafik.
.
.
.
.
.
Begitulah akhir kisahnya. Entahlah. Ini bisa dibilang berakhir atau belum, ya? Aku juga tidak tahu. Yang jelas, perasaanku benar-benar goyah. Kecewa. Takut. Hanya dua itu yang kurasakan setiap kali mengingat kejadian aneh bin ajaib ini. Baik mengingat Kak Terry ataupun Kak Daiki.
Aku hanya mengharapkan yang terbaik.
Silahkan sebut aku naif. Tapi, seapatisnya aku dalam segala hal.
Aku tidak bisa mengabaikan hati nuraniku. Bukannya aku lebih mengharapkan friendzone atau apa, tapi prinsipku memang hanya ingin friendzone saja dengan mereka berdua. Minimal—nggak ada yang berantem hanya karena aku.
This is the epilogue. Thanks for reading 'till the end.
.
.
.
.
.
(( Ranku Kurogane ))
hai rann ! akhirnya gue visit juga ke blog baru lo ;))
BalasHapushm... menurut gue blog lo itu menarik banget, yah disaat gue tau semua orang-orang aslinya meski lu plesetin namanyaa.. but, that's oke lahh lu kan punya privasi ;D
As your visitor i demand you to keep making new stories yah ! kalo bisa yang genrenya cocok buat guee -_- daebak rann
Halo, Yasmiinnn. Haruslah gue privasiin, meskipun gue kurang yakin identitas mereka bakal benar-benar tertutup (?). Tapi, it's fine, ada satu faktor dimana gue yakin Kak Aoyagi nggak bakalan tahu blog ini.
HapusInsya Allah, gue udah siapin satu cerita berbasis dunia nyata, secara gue lebih sering di dunia fantasi, wkwkwk. Tinggal ditunggu aja, ya~
gara-gara diplesetin namanya, saya jadi bingung bacanya hadeeehhhhh
HapusBodo, bodo. Tapi tahu siapa aja, 'kan. -_-
HapusBtw, saya nggak pernah ngomong siapa Kak Aoyagi sebenarnya... HAHAHA.