Hai, di sini Ranku Kurogane. Akhirnya, aku bisa juga melanjutkan Tell Me. Senangnya! Dari kemarin, aku berusaha sampai hasilnya benar-benar membuatku puas. Sebenarnya, ini sedikit melenceng dari kerangka aslinya. Tapi, nggak jauh-jauh amat, kok. By the way, dikarenakan terlalu panjang, File 3: Bloody ini dipisah menjadi 2 file, 3.0: Bloody dan 3.5: After Bloody. Nothing much to say anymore, check it out. Maaf, ya, kalau misalnya ini terlalu emosional.
.
.
.
.
.
File 3.0: Bloody.
.
.
.
.
.
Darah. Ya, benda
cair berwarna kecoklatan itu menjadi benda pertama yang ditangkap oleh kedua
mataku. Teksturnya yang kental itu membuatnya dengan mudah menempel di seluruh
bagian tanganku, baik jari, telapak, maupun lengan. Tak luput oleh pandanganku
sebilah chopper silver yang sempurna
untuk memotong daging. Tapi, bisa dipastikan kalau aku telah mengubah pekerjaan
tetap benda berbahaya tersebut.
Refleksi makhluk
tidak bernyawa yang sudah tidak beraturan bentuknya itu jatuh ke dalam
retinaku. Anehnya, aku tidak merasakan kegundahan sama sekali – apa ini yang
dinamakan dampak dendam? Bahkan, aku masih dapat mengenali kedua mayat rumpang
itu.
Jelas aku kenal. Mereka adalah dua orang yang
berperan besar dalam kemunculan diriku di muka bumi. Hebatnya, aku justru
membantu mereka untuk meninggalkan dunia fana ini dengan sukarela.
Eit, bukannya
dengan sukarela, sih. Lebih tepatnya, aku telah memberikan sekilas cuplikan
penyiksaan yang sekarang mereka terima di neraka. Sayang sekali, aku harus
melewatkan momen-momen terpenting itu. Lagipula, aku enggan melihatnya – itu
berarti aku harus masuk neraka dulu, ‘kan? – siapa juga yang mau menjadi sehina
kedua orang tuaku? Itu termasuk aku.
Aku sadar kalau membunuh mereka sama artinya aku
menjadi lebih hina daripada mereka, sehina noda darah yang dengan setia
mewarnai nyaris sekujur badanku. Aku bukan orang munafik seperti mereka. Tidak
terlintas di pikiranku sama sekali untuk memikirkan apa yang akan kulakukan
untuk menyembunyikan dosaku.
Singkat saja, aku tidak mau peduli lagi.
.
.
.
Make it short, aku hanya bisa
menyembunyikan kekagetanku di dalam hati.
Pertama, aku
bahkan tidak tahu kenapa aku bisa berada di tempat yang serba hitam seperti
ini. Apakah ini yang dinamakan tidak dimana-mana? Kedua, tangan kananku sedang
mencekik leher seseorang yang bahkan aku tidak tahu siapa dia dengan sangat kuat.
Ciri-ciri manusia misterius ini persis Kak Yashiro
– karena dada mereka sama-sama berotot, walaupun di dada orang ini tertera tattoo aneh yang aku tidak paham artinya
– tapi, bisa dipastikan kalau dia ini bukan Kak Yashiro. Pasalnya, walau rambut
mereka sama-sama putih pucat, tapi bola mata orang ini persis dengan kepunyaanku.
Biru laut.
“Akan kubunuh kau
dengan senang hati.”.
Oke. Sekarang,
aku kaget terhadap dua hal.
Pertama,
jelas-jelas yang barusan itu adalah suaraku. Suara yang mereka bilang adalah
suara bocah yang jika sudah matang dapat digunakan sebagai bahan komersil.
Faktanya, nihil sama sekali niat dalam otakku untuk mengatakan hal semacam itu
– dengan nada yang benar-benar santai, pula. Kedua, apa yang kulihat ketika
mataku bertatapan dengan mata orang ini.
Irisku berubah
warna menjadi merah darah. Tapi, bukan darah bersih yang masih kaya akan
oksigen itu. Melainkan darah kotor yang bergabung dengan karbondioksida
sehingga bercampur rata dengan warna hitam. Sangat mewakilkan segelap apa sorot
mataku saat ini.
.
.
.
.
.
Argh, kenapa suaranya mesti sama persis,
sih? Oke, ini ‘kan jamku.
Tanpa
mengubah posisi selimut – yang menutupi seluruh badanku – kukeluarkan tangan
kiri untuk meraih sumber bunyi yang sukses mengantarku kembali ke dunia fana.
Langsung saja kutekan tombol yang berfungsi untuk menghentikan suara bising
tersebut secara permanen – untuk saat ini saja. Besok pagi, benda itu pasti akan
menunaikan tugasnya lagi. Seraya kepalaku muncul dari balik selimut dengan
rambut acak-acakan, sorot mata kosong, dan kedua tanganku sedang mengenggam
alarm kesayanganku, begitulah yang kulihat lewat cermin.
Jam delapan pagi. Tadi itu mimpi, ya?
Benar-benar,
deh. Itu adalah mimpi terburuk. Aku berterima kasih kepada alarm yang sudah
kupakai sejak kecil ini. Walau suara yang dia hasilkan selalu siap mengganggu
tidur nyenyakku, untuk kali ini saja, aku merasa lega karenanya. Aku tidak
terlalu keberatan pada adegan pertama – yang mana aku telah durhaka kepada
orang tuaku sendiri – malah adegan terakhir yang ditebarkan bunga tidur itu
membuatku nyaris terserang jantung koroner.
Siapa dia? Kenapa warna matanya sama
denganku? Kenapa warna mataku berubah?
Argh, membuatku
kegerahan saja. Kurasa ini saat yang tepat untuk menyiram seluruh ragaku dengan
air panas untuk menyegarkan pikiran. Bayang-bayang mimpi itu masih terpampang
jelas di dalam benakku, dan itu membuatku mual. Pasalnya, walaupun aku tega-tega
saja membunuh orang tuaku, aku tidak mau berperan sebagai psikopat yang dengan
girangnya memutilasi mereka.
Lewatkan itu.
Suasana pagi ini juga benar-benar sunyi, sangat berlawanan dengan kemarin. Ini
membuatku semakin stres – karena tidak ada yang mengajakku bicara. Tambah lagi,
cacing-cacing di dalam perutku meraung-raung minta makan.
Sialan, perasaanku semakin tidak karuan.
Kemana
mereka? Apa mereka sarapan tanpa aku? Ah, biarlah.
Aku langsung beranjak ke kamar mandi tanpa
memikirkan mereka lagi. Prioritas utamaku, menghilangkan semua scene yang ada di dalam pikiranku
sebelum aku menyantap sesuatu.
.
.
.
Benar-benar, deh. Mereka ingin bermain petak
umpet denganku atau bagaimana, sih?
Aku langsung
menyibakkan jaketku ke arah belakang – melingkarkan lengan jaketku ke leher –
dengan kasar. Adakah unsur kesengajaan dalam kejadian ini? Hanya Tuhan yang
tahu. Aku benar-benar jengkel. Orang-orang yang kucari sama sekali tidak tampak
batang hidungnya, dan itu sungguh menyebalkan.
Lebih baik
aku makan sendirian, batinku kesal sambil menikmati suapan pertama.
Iris biruku memandang lurus ke arah kolam renang
yang berada tepat di sebelah utara ruang makan. Karena jam masih menunjukkan
pukul pagi, nyaris tidak tampak tanda-tanda kehidupan di sana. Siapa juga yang
mau menyeburkan diri ke dalam air sambil bergulat dengan udara pagi? Pilihan
terwajar adalah salah satu dari kedua itu, kecuali yang sudah mahir dalam
urusan berenang.
“Chris, kamu
bisa berenang, tidak? Mau adu cepat?”.
Ah, mengingatkanku pada Kak Yashiro yang sempat
mengajakku berenang di kolam sedalam dua meter saja. Demi keselamatan jiwa, aku
langsung menolaknya dengan tegas. Bagaimana tidak? Aku tidak begitu mahir
berenang. Aku hanya bisa mengambang di kolam sedalam satu meter – dan
kecelakaan murni dimana aku pernah tenggelam sewaktu berenang membuatku sedikit
trauma.
Aku menggeleng kuat-kuat – mengingat kenangan buruk
itu sama saja dengan uji nyali – dan kembali melanjutkan sarapanku dengan
khidmat. Sampai mataku menemukan sekumpulan manusia yang begitu kukenal
gelagatnya. Segerombolan pengkhianat yang benarnya tidak ingin kutemui lagi
selamanya.
“Nggak mungkin.” Begitulah. Aku tidak bisa
menyembunyikan kekagetanku lagi.
Teman-teman?
.
.
.
Jujur, aku
sendiri juga tidak tahu pasalnya apa.
Tapi, aku bukan
orang gila. Sebut saja aku psikopat yang diam-diam mempunyai niat jahat untuk
mengantarkan mereka serentak ke neraka Jahanam bersamaku. By the way, niatku
menguntit mereka seperti sekarang ini tidak didasari nafsu keji, lho. Aku tidak
memegang pisau atau apalah itu. Metaforanya, hati nuraniku masih berbesar hati
untuk memaafkan dan menerima mereka sebagai temanku.
Meskipun begitu,
kecil kemungkinan aku akan memperoleh perlakuan setimpal.
Jangan temui
mereka secara langsung, aku paling tidak suka setiap kali otakku menentang
kata hatiku. Itu benar-benar membuatku merasa tolol. Sekarang, mereka sama
saja dengan bangkai tikus yang lebih baik dihindari. Lantas, kenapa kamu masih
bernyali untuk melangkahkan kakimu bersama mereka, Chris?
Sudah
kubilang, aku sendiri juga tidak tahu maksudnya apa.
Kamu ingin
diterima?
Dusta. Harapan
palsu.
“Lho, itu Chris,
‘kan?”.
Ah. Skat mat.
“Eh, iya!”
Ternyata masih ada salah satu dari mereka yang sudi menyambut kepulanganku. Tanpa
ragu-ragu, dia menghampiriku yang bersembunyi di balik pepohonan nan rindang.
Tidak lupa mengikutsertakan senyuman hangat. “Hei, kawan. Apakah kau merindukan
kami?”.
“He-hei, kawan,”
sapaku canggung. Benar saja. Skeptisme telah menjadi unsur abadi dalam
prinsipku. Tapi, hati nuraniku ini benar-benar idiot. “Tentu saja rindu, kalian
‘kan temanku,” jawabku enteng.
Bagaimana mungkin aku berhenti menghujatnya?
Usainya mengacuhkan peringatan dari otakku sendiri bahwa
‘teman’ itu adalah kata tabu.
.
.
.
“Aaaaaaahh!!”.
Aku benar-benar
salah langkah. Ternyata, di balik senyuman manusiawi itu, mereka adalah jelmaan
setan terkutuk. Yang aku tidak habis pikir, sejak kapan mereka menyiapkan batu
bata untuk menghancurkan sendi lututku, sih? Berikut juga sekujur tubuhku yang
sudah diadoni oleh tepung, minyak, dan telur busuk. Mendadak terpikirkan olehku
yang termakan ucapan najis mereka, masa’ mereka ingin memanggangku dan berpesta
pora setelahnya?
Pintarnya, aku
tidak bisa menitikkan air mata di depan mereka.
“Hahahahaha!
Bisa-bisanya kamu bermulut manis seperti itu! Tidak tahu malu!”.
Seringai itu.
Cukupkah aku berani untuk membalas dendam dengan seringai a la setan itu?
“Sudahlah, Chris.
Ingat masa lalu. Dari dulu, kamu itu cengeng. Nggak usah sok tegar, deh!”.
Pelanggaran hak
asasi.
Memangnya aku pantas diperlakukan keji seperti ini?
Akan kubunuh
kalian dengan senang hati.
Hei, diriku sendiri di dalam mimpi burukku.
Bisakah kau
merasukiku dan berakting di dunia nyata?
.
.
.
Aku sadar.
Kuulang, aku
sadar sepenuhnya.
Aku tidak mau
peduli lagi.
Aku tahu. Mereka
ketakutan melihatku yang kini sama buasnya dengan setan. Iris biru langit yang
biasa mereka lihat kini berganti dengan warna merah. Nyali mereka ternyata
kecil juga untuk bermain denganku.
Kubalas
kalian, pengkhianat.
“Cih. Hak kalian
apa, ya?” Tanyaku sinis. Walaupun aku menyadarinya, aku merasa kalau hal ini
sudah biasa kulakukan. Menyalakan api berwarna ungu – lebih menjurus ke violet
– secara alami dengan tanganku sendiri. Entahlah, unsur kimia seperti apa yang
menetap di dalam tubuhku?
Oke. Sekarang giliranku untuk bersenang-senang.
“Let’s have
some fun, my flames.”.
Seringaiku lebar
hingga menampakkan gigiku.
Yang kiranya bisa disetarakan dengan senyuman
seorang psikopat.
.
.
.
“There’s no hesitation, there is no tomorrow, not in the
past, and not now.
The days I spent here alone, always alone.
That’s right, all with my own hands.
I do, kill someone. I’ve survived like this.
As if I’m trying to scatter the present.
I’ll just kill the future.”.
.
.
.
To be Continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar