Minggu, 09 Maret 2014

Tell Me (File 3.0: Bloody).

Hai, di sini Ranku Kurogane. Akhirnya, aku bisa juga melanjutkan Tell Me. Senangnya! Dari kemarin, aku berusaha sampai hasilnya benar-benar membuatku puas. Sebenarnya, ini sedikit melenceng dari kerangka aslinya. Tapi, nggak jauh-jauh amat, kok. By the way, dikarenakan terlalu panjang, File 3: Bloody ini dipisah menjadi 2 file, 3.0: Bloody dan 3.5: After Bloody. Nothing much to say anymore, check it out. Maaf, ya, kalau misalnya ini terlalu emosional.
.
.
.
.
.
File 3.0: Bloody.
.
.
.
.
.
                Darah. Ya, benda cair berwarna kecoklatan itu menjadi benda pertama yang ditangkap oleh kedua mataku. Teksturnya yang kental itu membuatnya dengan mudah menempel di seluruh bagian tanganku, baik jari, telapak, maupun lengan. Tak luput oleh pandanganku sebilah chopper silver yang sempurna untuk memotong daging. Tapi, bisa dipastikan kalau aku telah mengubah pekerjaan tetap benda berbahaya tersebut.
                Refleksi makhluk tidak bernyawa yang sudah tidak beraturan bentuknya itu jatuh ke dalam retinaku. Anehnya, aku tidak merasakan kegundahan sama sekali – apa ini yang dinamakan dampak dendam? Bahkan, aku masih dapat mengenali kedua mayat rumpang itu.
Jelas aku kenal. Mereka adalah dua orang yang berperan besar dalam kemunculan diriku di muka bumi. Hebatnya, aku justru membantu mereka untuk meninggalkan dunia fana ini dengan sukarela.
                Eit, bukannya dengan sukarela, sih. Lebih tepatnya, aku telah memberikan sekilas cuplikan penyiksaan yang sekarang mereka terima di neraka. Sayang sekali, aku harus melewatkan momen-momen terpenting itu. Lagipula, aku enggan melihatnya – itu berarti aku harus masuk neraka dulu, ‘kan? – siapa juga yang mau menjadi sehina kedua orang tuaku? Itu termasuk aku.
Aku sadar kalau membunuh mereka sama artinya aku menjadi lebih hina daripada mereka, sehina noda darah yang dengan setia mewarnai nyaris sekujur badanku. Aku bukan orang munafik seperti mereka. Tidak terlintas di pikiranku sama sekali untuk memikirkan apa yang akan kulakukan untuk menyembunyikan dosaku.
Singkat saja, aku tidak mau peduli lagi.
.
.
.
                Make it short, aku hanya bisa menyembunyikan kekagetanku di dalam hati.
                Pertama, aku bahkan tidak tahu kenapa aku bisa berada di tempat yang serba hitam seperti ini. Apakah ini yang dinamakan tidak dimana-mana? Kedua, tangan kananku sedang mencekik leher seseorang yang bahkan aku tidak tahu siapa dia dengan sangat kuat.
Ciri-ciri manusia misterius ini persis Kak Yashiro – karena dada mereka sama-sama berotot, walaupun di dada orang ini tertera tattoo aneh yang aku tidak paham artinya – tapi, bisa dipastikan kalau dia ini bukan Kak Yashiro. Pasalnya, walau rambut mereka sama-sama putih pucat, tapi bola mata orang ini persis dengan kepunyaanku. Biru laut.
                “Akan kubunuh kau dengan senang hati.”.
                Oke. Sekarang, aku kaget terhadap dua hal.
                Pertama, jelas-jelas yang barusan itu adalah suaraku. Suara yang mereka bilang adalah suara bocah yang jika sudah matang dapat digunakan sebagai bahan komersil. Faktanya, nihil sama sekali niat dalam otakku untuk mengatakan hal semacam itu – dengan nada yang benar-benar santai, pula. Kedua, apa yang kulihat ketika mataku bertatapan dengan mata orang ini.
                Irisku berubah warna menjadi merah darah. Tapi, bukan darah bersih yang masih kaya akan oksigen itu. Melainkan darah kotor yang bergabung dengan karbondioksida sehingga bercampur rata dengan warna hitam. Sangat mewakilkan segelap apa sorot mataku saat ini.
.
.
.
.
.
                Argh, kenapa suaranya mesti sama persis, sih? Oke, ini ‘kan jamku.
                Tanpa mengubah posisi selimut – yang menutupi seluruh badanku – kukeluarkan tangan kiri untuk meraih sumber bunyi yang sukses mengantarku kembali ke dunia fana. Langsung saja kutekan tombol yang berfungsi untuk menghentikan suara bising tersebut secara permanen – untuk saat ini saja. Besok pagi, benda itu pasti akan menunaikan tugasnya lagi. Seraya kepalaku muncul dari balik selimut dengan rambut acak-acakan, sorot mata kosong, dan kedua tanganku sedang mengenggam alarm kesayanganku, begitulah yang kulihat lewat cermin.
                Jam delapan pagi. Tadi itu mimpi, ya?
                Benar-benar, deh. Itu adalah mimpi terburuk. Aku berterima kasih kepada alarm yang sudah kupakai sejak kecil ini. Walau suara yang dia hasilkan selalu siap mengganggu tidur nyenyakku, untuk kali ini saja, aku merasa lega karenanya. Aku tidak terlalu keberatan pada adegan pertama – yang mana aku telah durhaka kepada orang tuaku sendiri – malah adegan terakhir yang ditebarkan bunga tidur itu membuatku nyaris terserang jantung koroner.
                Siapa dia? Kenapa warna matanya sama denganku? Kenapa warna mataku berubah?
                Argh, membuatku kegerahan saja. Kurasa ini saat yang tepat untuk menyiram seluruh ragaku dengan air panas untuk menyegarkan pikiran. Bayang-bayang mimpi itu masih terpampang jelas di dalam benakku, dan itu membuatku mual. Pasalnya, walaupun aku tega-tega saja membunuh orang tuaku, aku tidak mau berperan sebagai psikopat yang dengan girangnya memutilasi mereka.
                Lewatkan itu. Suasana pagi ini juga benar-benar sunyi, sangat berlawanan dengan kemarin. Ini membuatku semakin stres – karena tidak ada yang mengajakku bicara. Tambah lagi, cacing-cacing di dalam perutku meraung-raung minta makan.
Sialan, perasaanku semakin tidak karuan.
Kemana mereka? Apa mereka sarapan tanpa aku? Ah, biarlah.
Aku langsung beranjak ke kamar mandi tanpa memikirkan mereka lagi. Prioritas utamaku, menghilangkan semua scene yang ada di dalam pikiranku sebelum aku menyantap sesuatu.
.
.
.
                Benar-benar, deh. Mereka ingin bermain petak umpet denganku atau bagaimana, sih?
                Aku langsung menyibakkan jaketku ke arah belakang – melingkarkan lengan jaketku ke leher – dengan kasar. Adakah unsur kesengajaan dalam kejadian ini? Hanya Tuhan yang tahu. Aku benar-benar jengkel. Orang-orang yang kucari sama sekali tidak tampak batang hidungnya, dan itu sungguh menyebalkan.
Lebih baik aku makan sendirian, batinku kesal sambil menikmati suapan pertama.
Iris biruku memandang lurus ke arah kolam renang yang berada tepat di sebelah utara ruang makan. Karena jam masih menunjukkan pukul pagi, nyaris tidak tampak tanda-tanda kehidupan di sana. Siapa juga yang mau menyeburkan diri ke dalam air sambil bergulat dengan udara pagi? Pilihan terwajar adalah salah satu dari kedua itu, kecuali yang sudah mahir dalam urusan berenang.
“Chris, kamu bisa berenang, tidak? Mau adu cepat?”.
Ah, mengingatkanku pada Kak Yashiro yang sempat mengajakku berenang di kolam sedalam dua meter saja. Demi keselamatan jiwa, aku langsung menolaknya dengan tegas. Bagaimana tidak? Aku tidak begitu mahir berenang. Aku hanya bisa mengambang di kolam sedalam satu meter – dan kecelakaan murni dimana aku pernah tenggelam sewaktu berenang membuatku sedikit trauma.
Aku menggeleng kuat-kuat – mengingat kenangan buruk itu sama saja dengan uji nyali – dan kembali melanjutkan sarapanku dengan khidmat. Sampai mataku menemukan sekumpulan manusia yang begitu kukenal gelagatnya. Segerombolan pengkhianat yang benarnya tidak ingin kutemui lagi selamanya.
“Nggak mungkin.” Begitulah. Aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku lagi.
Teman-teman?
.
.
.
                Jujur, aku sendiri juga tidak tahu pasalnya apa.
                Tapi, aku bukan orang gila. Sebut saja aku psikopat yang diam-diam mempunyai niat jahat untuk mengantarkan mereka serentak ke neraka Jahanam bersamaku. By the way, niatku menguntit mereka seperti sekarang ini tidak didasari nafsu keji, lho. Aku tidak memegang pisau atau apalah itu. Metaforanya, hati nuraniku masih berbesar hati untuk memaafkan dan menerima mereka sebagai temanku.
                Meskipun begitu, kecil kemungkinan aku akan memperoleh perlakuan setimpal.
                Jangan temui mereka secara langsung, aku paling tidak suka setiap kali otakku menentang kata hatiku. Itu benar-benar membuatku merasa tolol. Sekarang, mereka sama saja dengan bangkai tikus yang lebih baik dihindari. Lantas, kenapa kamu masih bernyali untuk melangkahkan kakimu bersama mereka, Chris?
                Sudah kubilang, aku sendiri juga tidak tahu maksudnya apa.
                Kamu ingin diterima?
                Dusta. Harapan palsu.
                “Lho, itu Chris, ‘kan?”.
                Ah. Skat mat.
                “Eh, iya!” Ternyata masih ada salah satu dari mereka yang sudi menyambut kepulanganku. Tanpa ragu-ragu, dia menghampiriku yang bersembunyi di balik pepohonan nan rindang. Tidak lupa mengikutsertakan senyuman hangat. “Hei, kawan. Apakah kau merindukan kami?”.
                “He-hei, kawan,” sapaku canggung. Benar saja. Skeptisme telah menjadi unsur abadi dalam prinsipku. Tapi, hati nuraniku ini benar-benar idiot. “Tentu saja rindu, kalian ‘kan temanku,” jawabku enteng.
Bagaimana mungkin aku berhenti menghujatnya?
Usainya mengacuhkan peringatan dari otakku sendiri bahwa ‘teman’ itu adalah kata tabu.
.
.
.
                “Aaaaaaahh!!”.
                Aku benar-benar salah langkah. Ternyata, di balik senyuman manusiawi itu, mereka adalah jelmaan setan terkutuk. Yang aku tidak habis pikir, sejak kapan mereka menyiapkan batu bata untuk menghancurkan sendi lututku, sih? Berikut juga sekujur tubuhku yang sudah diadoni oleh tepung, minyak, dan telur busuk. Mendadak terpikirkan olehku yang termakan ucapan najis mereka, masa’ mereka ingin memanggangku dan berpesta pora setelahnya?
                Pintarnya, aku tidak bisa menitikkan air mata di depan mereka.
                “Hahahahaha! Bisa-bisanya kamu bermulut manis seperti itu! Tidak tahu malu!”.
                Seringai itu. Cukupkah aku berani untuk membalas dendam dengan seringai a la setan itu?
                “Sudahlah, Chris. Ingat masa lalu. Dari dulu, kamu itu cengeng. Nggak usah sok tegar, deh!”.
                Pelanggaran hak asasi.
Memangnya aku pantas diperlakukan keji seperti ini?
                Akan kubunuh kalian dengan senang hati.
Hei, diriku sendiri di dalam mimpi burukku.
                Bisakah kau merasukiku dan berakting di dunia nyata?
.
.
.
                Aku sadar.
                Kuulang, aku sadar sepenuhnya.
                Aku tidak mau peduli lagi.
                Aku tahu. Mereka ketakutan melihatku yang kini sama buasnya dengan setan. Iris biru langit yang biasa mereka lihat kini berganti dengan warna merah. Nyali mereka ternyata kecil juga untuk bermain denganku.
                Kubalas kalian, pengkhianat.
                “Cih. Hak kalian apa, ya?” Tanyaku sinis. Walaupun aku menyadarinya, aku merasa kalau hal ini sudah biasa kulakukan. Menyalakan api berwarna ungu – lebih menjurus ke violet – secara alami dengan tanganku sendiri. Entahlah, unsur kimia seperti apa yang menetap di dalam tubuhku?
Oke. Sekarang giliranku untuk bersenang-senang.
                “Let’s have some fun, my flames.”.
                Seringaiku lebar hingga menampakkan gigiku.
Yang kiranya bisa disetarakan dengan senyuman seorang psikopat.
.
.
.
“There’s no hesitation, there is no tomorrow, not in the past, and not now.
The days I spent here alone, always alone.
That’s right, all with my own hands.
I do, kill someone. I’ve survived like this.
As if I’m trying to scatter the present.
I’ll just kill the future.”.
.
.
.
To be Continued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar