Rabu, 12 Maret 2014

Ketika Menginjak Dunia Masa Lalu ...

Hai, di sini Ranku Kurogane. Err, judul entrinya udah kayak apaan aja, ya? Tapi, percayalah. Ini 100% akurat. Saya berani sumpah. Demi Allah. Okelah, nothing much to say anymore, langsung ke inti cerita aja, ya? Kenapa seorang Ranku Kurogane yang manis nan cerdas err, biasanya cerewet ini tiba-tiba ingin mempercepat argumentasi, ini bukan teks eksposisi. Maksud saya, sesi event dalam sebuah Recount? Saking saya takutnya. Saya tekankan, dengan bold and underline. TAKUT. Iya, yang harusnya saya takuti itu hanya Allah. Mungkin, takut akan kekuasaan Allah? Hehehe, yang itu boleh, 'kan?

To the point.

Sepulangnya dari Mall Taman Anggrek. Jujur aja, nggak ada yang aneh. Yang aneh itu waktu saya sampai di rumah. Demi Allah. Badan saya serasa panas—panas banget. Kayak demam. Tapi, saya nggak pusing. Dan, tangan dan kaki saya dingin-dingin aja. Apa karena kedinginan? Saya nggak menggigil. Entah mengapa, tubuh saya mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan suhu tubuh dengan lingkungan. BUKAN SAYA ITU REPTILIA ATAU AMPHIBIA, LHO. Menyesuaikan. Bukan mengikuti. Kalau di sana terlalu dingin, tubuh saya pasti panas. Gitu. Oke, kembali ke situasi saat itu. Karena saya sudah biasa mengalaminya, dan yakin ini bukan demam, saya langsung take it easy. Bukannya apa-apa, saya malas kalau apa-apa sudah didiagnosa sakit.

Apa ada manusia yang sama seperti saya? Setidaknya, ini bukan kelainan.

Kembali ke topik, pik.

Kira-kira 3 jam lebih keadaan saya begitu. Lama-lama saya ngerasa kalau saya sakit, 'kan. Sudahlah, saya tiduran sambil selimutan. Dan, berani taruhan. Rasanya makin panas. Saya bukannya mendramatisir ataupun sejenisnya, tapi saya waktu itu udah kayak setengah sadar. Saking kepanasan, mata saya sampai setengah terkatup, seakan-akan sinar matahari menerpa saya, padahal boro-boro masih siang. Saya lepas selimutnya, masih kepanasan juga. Tangan saya sempat hangat setelah saya gosok-gosokin, tapi lambat laun dingin lagi. Kaki saya sih, dinginnya udah kayak di Kutub Utara, nggak, sedingin es.

Sesi terburuknya bermula dari sini.

Tiba-tiba, saya ngerasa ada yang mau masuk ke dalam tubuh saya. Langsung aja, saya refleks pegang kepala. Mau teriak, tapi suara nggak bisa keluar—nggak tahu kenapa. Akhirnya, saya cuma merengah-rengah, niatnya sih, mau minta tolong ke seseorang yang bermurah hati untuk memberikannya tapi suara aja pelit sama saya. Dan, akhirnya ada saat dimana saya benar-benar kehilangan kesadaran.

Anehnya, itu saya kayak yang masih bangun. Inikah yang dinamakan sleep paralysis? Yang mana tubuh sampai nggak bisa digerakin. Itu yang saya alamin. Saya sama sekali nggak bisa berpindah dari posisi terakhir—memegang kepala. Dan, di dalam benak saya, ada berbagai peristiwa yang pertama, saya nggak pernah mengalaminya. Kedua, saya nggak pernah memikirkannya. Ketiga, saya bahkan nggak tahu itu berlatar dimana.

Pertama-tama, ada tangan. Pas saya sadar—itu tangan dilayangkan ke wajah seseorang. Saya nggak bisa lihat wajah duo protagonis dalam peristiwa itu. Tapi, dari postur tubuh mereka masing-masing, itu cowok sama cewek. Yang cewek sih, benar-benar jelas. Soalnya (maaf), cewek itu lagi nggak pakai apa-apa. Cowoknya nggak jelas pakai baju apaan. Entahlah itu baju kerja, atau kerajaan, atau tentara, saya nggak ngerti. Cowoknya kayak yang marah-marah sama cewek itu, dan cewek itu cuma bisa nangis. Sempat terlintas di benak saya kalau cewek itu (maaf) pelacur. Dan sekilas, semua itu menghilang.

Kedua, ada wajah anak kecil. Entah cewek, entah cowok. Matanya nggak kelihatan. Tapi, mulutnya setengah terbuka. Ekspresinya seperti orang kaget. Di pipi dan sekitar dagunya, bahkan telinganya, itu banyak banget cipratan darah. Tidak tahu menahu itu darah dari dia sendiri, atau darah dari orang lain. Sekilas, semuanya hilang lagi.

Ketiga, berlatar di suatu taman di belakang rumah. Rumah orang kaya kayaknya. Ada anak kecil cewek—yang ini jelas-jelas berwarna. Rambutnya kriwel-kriwel—a la anak Eropa. Pakai dress goth lolita pink. Eh, dia 'kan kayak megang boneka. Entahlah boneka apa. Tapi, bonekanya punya rambut. Anak itu pegang gunting silver, lalu rambutnya boneka itu digunting-gunting. Nggak sampai situ. Wajahnya boneka itu juga ditusuk-tusuk, dan saya bisa lihat dengan jelas—anak itu menyeringai. Lebar. Giginya yang seputih susu itu terlihat dengan jelas. Laksana raja di laut, salah. Laksana ekspresi Joker di kartu truf.

Dan, dia menoleh ke arah saya. Matanya seperti biasanya kalau setan, nggak terlihat. Tapi, gestur tubuhnya benar-benar jelas kalau sayalah yang akan menjadi target keduanya. Setelah bonekanya yang malang itu jatuh secara tidak terhormat di atas lantai. Anehnya, bukannya lari dari situ, saya cuma bisa bengong. Dan, tiba-tiba saja, semuanya jadi gelap lagi.

Sampai akhirnya saya benar-benar sadar kalau saya lagi tiduran di kamar.

Alhamdulillah, tangan dan kaki saya bisa bergerak juga. Saya langsung cepat-cepat ke kamar mandi. Bukan cuma karena kebelet pipis, tapi benar-benar. Saya harus lari dari TKP.

Sampai di sana, saya langsung istighfar. Saya ribut-ribut di kamar mandi. "Apaan sih, itu?! Gue ngebayangin apaan, coba?! Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah... Ya Allah, itu halusinasi apa? Dimana itu? Kenapa?". Masih banyak lagi, tapi saya keburu lupa saya ngomong apa aja. Sampai, tiba-tiba, ada suara gabrukan di atas alat pemanas air. Saya cek 'kan otomatis. Nggak ada apa-apa. Mungkin aja tikus, 'kan. Tapi, beneran. Nothing's there. Saya yakin, itu bukan suara kucing lari-lari di atas atap. ITU GABRUKAN.

Untuk kedua kalinya, saya lari dari TKP. Tentunya, sambil istighfar sekaligus menghujat diri sendiri. Sumpah. Pintar banget. Harusnya, saya nggak boleh ngomongin 'mereka'.

... Saya boleh ngomong sesuatu? Saya itu indigo.
Sejak kecil, saya sudah sering berkomunikasi dengan makhluk astral. Sayangnya, saya tidak melatih kemampuan itu, jadilah jarang keluar. Tapi, saya sering merasakannya. Bahkan, di rumah saya sendiri. Saya juga bisa menerawang banyak hal. Entah masa depan, bahkan masa lalu. Seperti berbagai halusinasi yang saya ceritakan di atas. Tapi, saya bukan anak indigo yang benar-benar terampil, lho ...

Oke, saya rasa cukup sekian. Thanks for reading.


(( Ranku Kurogane. ))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar