Sabtu, 29 Maret 2014

Whatsoever Journal at 65 Senior High School (#1: March 28th, 2014).

Hai, di sini Ranku Kurogane!
Bisa dibilang ini adalah lanjutan dari 'Who Are You?'. Aww, seandainya pengalaman ini bisa dibuat novel–dasar otak sastra. Penyakit Ranku Kurogane yang manis nan cerdas ini kambuh lagi. Hahaha, kuselesaikan dulu Tell Me. Oke, sebenarnya ada apa dengan tanggal 28 Maret? Alias 20 hari setelah tragedi 'Who Are You?' itu? Rahasia Ilahi. Nothing much to say, check it out!
.
.
.
"Mimpi itu adalah kebalikan dari kenyataan yang akan terjadi."
– Alifia Arrahmani, alias Riri Hizaki, my only soulmate.
.
.
.
28 Maret 2014.
Oke, awal-awalnya aku bangun pagi. Bukan, ini bukan pagi banget–udah menjelang siang. Jam 11 pagi. Hebat, aku udah bengong aja. Benar-benar bengong. Bagaimana nggak bengong? Mimpiku jelek banget. Nggak ingat sebagian besar isinya apa, tapi aku ingat intinya. Aku berantem sama seorang cowok yang bahkan aku nggak mau sampai punya masalah sama dia.
Siapa lagi kalau bukan Kak Terry?
Err, aku bahkan nggak mau punya masalah sama siapapun, sih. Cuma, mulutku jagonya berdebat dan aku paling takut bikin Kak Terry marah gegaranya. Oke, mimpi macam apa, nih?
.
.
.
Beberapa jam kemudian.
Bisa dibilang, kalau Kak Terry sering banget BBM aku. Entah apa maksudnya–yang sekarang aku tahu maksudnya apa. Sesuai dengan pernyataanku di 'Who Are You?', topik kita itu aneh-aneh. Kali ini, habis ngebahas Fur Elise-nya Beethoven, tiba-tiba dia nanya begini.
"Waktu itu... Kamu pernah bilang kalau kamu suka sama anak kelas 12. Kalau boleh tahu, siapa sih, orangnya?".
Oh. Sekarang aku paham maksud mimpiku.
Buset, nanya lagi?
Jadi, pernah sekali gitu, aku tulis di status BBM, 'daisuki' alias 'aku suka kamu'. Tentunya, itu buat Kak Terry. Kecenya, dia nanya. Dan, sekarang dia nggak ujuk-ujuk nanya lagi? Shit just got real. Waktu itu, aku lagi bad mood. Jadi, reaksiku nggak seperti biasanya–kiranya, aku mengintimidasi Kak Terry.
"Kubalik pertanyaannya dulu, kenapa kakak mau tahu?".
"Mau tahu aja, Ran.".
Argh, sudah cukup dengan aksi cukstaw.
Aku benar-benar naik darah–kalau mau jujur. Bukannya aku berprangsaka buruk duluan, tapi aku nggak suka kalau orang campur tangan dengan urusanku. Meskipun ini bodohnya kuadrat dikuadratin lagi. Yang dia tanya, bahkan jawabannya dia sendiri! Aduh.
Terlanjur marah, aku langsung meresponnya dengan dingin. Nggak ketara karena itu lewat BBM? Bagus, karena sisi dinginku benar-benar menyeramkan.
"Di balik alasan mau tahu itu pasti ada alasan lagi. Ada alasan dibalik mau tahunya itu.".
Seketika, pikiranku kosong. Seperti biasanya. Kalau aku marah, aku berbicara sesuai dengan emosiku, bukan pikiran lagi. Aku nggak perduli lagi kalau akhirnya Kak Terry tahu aku suka sama dia. Terlalu cepat, karena niatku mau ngekode habis dia UN. Tapi, serius.
Aku. Nggak. Kuat. Lagi.
Berimbang dengan rasa gundah yang sampai-sampai membuatku merinding nggak karuan–serius. Aku merinding. Adrenalinku seakan-akan terpancing. Tapi, secara aku suka menantang adrenalinku, aku nggak merasa khawatir sama sekali. Dan, ketakutan itu menghilang seketika. Ketegangan kuperlakukan seperti makanan sehari-hari–aku begitu menikmatinya.
Masa laluku sama Ilham terulang lagi? Bring it on.
Oke, deh. Sekarang nggak mau aku pakai istilah-istilahan.
"Jadi, alasan spesifik, nih?".
"Ya." My God, aku benar-benar ketus. Itu jawabannya dengan nada rendah, lho.
"Kalau aku kasih tahu, kamu mau ngasih tahu siapa orangnya?".
Ah, justru aku yang harusnya nanya. Kamu siap kutembak, kah?
"Iya.".
"Oke, saya siap. Alasannya yah, jujur, saya cemburu.".
Swear, aku langsung terbelalak. Satu kata dalam pikiranku.
Bodoh.
Satu reaksi setelahnya. Aku langsung tertawa a la psikopat.
"HAHAHAHA!".
Berimbang pernyataanku dalam hati: "AHAHAHAHA, PERASAAN GUE TERBALAS GITU? ANJRIT, GILA BANGET! AHAHAHAHA!". Sumpah, coret. C-O-R-E-T. Aku benar-benar tolol.
Yang seharusnya didefinisi gila itu aku.
Aneh, 'kan aku? Untung nggak ada orang tuaku di kamar. Kalau ada, mereka pasti menoleh ke arahku dengan tatapan heran seakan-akan anaknya sudah sakit jiwa. Well, psikopat sendiri artinya sakit jiwa, 'kan.
Dear my ally, you'll have a psychopath girlfriend.
Tapi, pura-pura jaim di depan dia–atau bisa dibilang itu sifat 'tameng', jadi nggak bisa kubilang pura-pura–aku balas saja seadanya.
"Tunggu dulu. Jadi, kakak suka sama saya?".
"Jangan shock, Ran. Ah, maunya sih habis UN. Yah, kecepetan, deh.".
Ngapain? Itu sama saja aku nggak bisa melihatmu lagi.
"Hahaha, jadi sekarang aku nggak perlu takut untuk kehilangan lagi, begitu? Yang kusukai itu kakak.".
Aku mau tahu apa reaksi mukanya waktu membacanya. Gyahahaha.
Oh, jadi, semuanya terjawab.
.
.
.
.
.
10 hari sebelumnya.
Selasa, 18 Maret 2014.
"Hah? Gimana bisa? Aku kok jadi kepo, sih?".
Buset. Sebegitunya, kah? Aku jarang ngobrol soal cinta, sih. Ngeliat Yasmin antusias tingkat dewa waktu kuceritain tragedi 8 Maret (ini tolol. 10 hari setelah kejadiannya, dan 10 hari sebelum–oke, aku tutup mulut dulu), aku langsung berubah menjadi cewek extrovert yang dengan gamblang menceritakan semuanya.
Sesi paling heboh itu, waktu aku ngasih tahu kata-katanya Kak Terry.
"Sialan yek, itu orang.".
Jujur saja, aku ada penafsiran lain sama kalimat itu. Tapi, please, don't be overconfident.
"DEMI APA DIA NGOMONG GITU, RAN?" Yasmin, ekspresimu benar-benar... Wew.
"Demi Allah," aku langsung bersumpah.
Mukanya Yasmin sama Fida. Ya ampun, bikin ketawa. Shock gimanaaaa ... Gitu.
"Gila, itu sih dia suka sama lu, Ran!" Timpal Yasmin seenak jidatto be very honest, that's what I think. Tapi, sekali lagi. Jangan buat aku ge-er duluan, Yas. Jangaaaann.
"Nggak mungkin, nggak mungkiiinn," bantahku enteng. "Aku udah nanya sialan kenapa, terus dia jawab 'sialan aja, ngapain dia nembak pakai ask.fm, kocak aja', gitu.".
"Bohong. ALIBI ITU!" Demi apapun, si Fida dalem banget. "Dia tuh pasti mikir, 'sialan, gue keduluan nembak! Sama adik kelas gue lagi, haduh!' Hahahaha!".
Kocaknya, Fida benar-benar mengekspresikan wajahnya seakan-akan dia itu Kak Terry.
Mufidah, that's what I PERFECTLY think. Dasar otak bisnis.
Hebatnya, aku sama sekali nggak menyangka kalau dugaan Fida itu benar adanya.
Mungkin karena Yasmin selalu ngomong tiada henti. "Kalian pacaran aja," atau "pacaran aja kenapa?!" Dengan nada gue-nunggu-banget-lo-pacaran-Ran. Aduh, dido'ain.
.
.
.
.
.
Kembali ke 28 Maret 2014.
"... Serius kamu?".
Serius banget. Setelah apa yang kualami di SMP, kamu pikir aku nggak serius memilihmu?
Kamu adalah orang yang bisa mengganti posisi seorang Ilham Nugraha, bahkan lebih. Hah, cowok perfect yang selalu kupanggil Len Kagamine dan aku sebagai Rin Kagamine. Aku selalu memperhatikan sosok 'raja Laven' itu dari belakang. Ngestalk dia meskipun aku sudah lulus dari 89. Aku masih simpan penggaris yang patah gara-gara aku cemburu. Aku kesal.
Bodohnya, kamu benar-benar membuatku berpaling dari masa lalu. Aku yang awalnya nggak mau percaya lagi sama yang namanya kasih sayang itu–bisa-bisanya aku takluk.
Nggak bisa diampuni. Hukumannya, kau harus jadi pacarku.
Err, posesif.
Ah, rasanya aku mau nangis. Tapi, nggak bisa. Saking senangnya.
"Saya serius! Makanya, aku nggak mau kalau kakak sampai baca 'Who Are You?'... Di situ jelas-jelas tertulis, kalau saya suka sama kakak...".
Yeah, you're as Terry Bogard and I'm as Rock Howard.
"What the... Nggak heran kamu larang saya baca itu.".
"Ah... Aku nggak mimpi, 'kan?".
"Nggak, kamu nggak mimpi, Ran.".
Blablabla. Nggak akan kuceritakan semuanya secara rinci. Intinya, aku benar-benar ... Bahagia. Ya.
.
.
.
Hey, my ally. We're sort of reflections, aren't we?
I always wish you won't disappear from my sight.
Because I want to see you in my mirror, forever.
Although this mirror is totally broken,
describing myself as a psycho who lived in the nightmare.
You'll always be my ally of justice.
Thanks for everything at our past, now, and our future.
.
.
.
Didedikasikan untuk penghuni kelas XII IPA 1, Irfan Pratomo Putra.
.
.
.
(( Ranku Kurogane ))

Jumat, 28 Maret 2014

Whatsoever Journal at 89 Junior High School (#1: November 27th, 2012).

Hai, di sini Ranku Kurogane! Lama enggak update di sini, ya? Maaf, soalnya SMA itu bikin stress banget, sih. Bener-bener merasa seperti orang bodoh di sekolah  tapi kalau kata guru saya sih wajar, karena kita sebagai siswa masih belajar. Dan, kalau merasa pintar di sekolah itu pertanda orang sombong. Okey, skip. Akhir-akhir ini saya sering flashback kenangan saya waktu SMP. Jadi, saya sengaja menuliskan beberapa kenangan saya selama di SMP. .w.
Ini kisah saya waktu masih menduduki kelas yang benarnya akan menghadapi Ujian Nasional. Yep, kelas 9. Okelah, kita mulai nostalgiaku.
.
.
.
.
.
Now playing: Karakuri Pierrot – Hatsune Miku.
Yep, lagunya Miku-chan yang selalu saya setel setiap galau. Walau begitu, sekarang saya bukan pundung karena cinta – seperti makna lagunya, sih. Ya, alasannya sungguh jauh berbeda.
Hari ini, praktek Seni Musik. BCL (Bu Can Lady) ngasih tugas yang gampang: main alat musik atau nyanyi per individu. Yang nyanyi boleh diiringi alat musik harmonis milik teman. Jujur aja nih, tugas ini gampang. GAMPANG. Emang gampang, kok. Orang-orang yang bisa main alat musik melodis (suling dan pianika) saja boleh unjuk keahlian. Memang memberikan kesan pas-pasan dan melarat sekali, sih. Hiks ...
Kenapa "hiks"? Iyalah. Andaikata dari lubuk hati yang paling dalam kalian ingin memainkan lagu yang wajib dimainkan dengan alat musik harmonis, tapi kalian hanya bisa menampilkan alat musik KKM itu ... Nyeseknya bagaimana, sih? BANGET. TINGKAT DEWA SETELAH DEWA/manaada.
Dan, itu terjadi pada saya dan jelmaan Lucifer (bukan saya yang ngomong! Dia sendiri yang suka bilang kalau dia itu "Lucifer". Ketahuan SHAWOL, wakakakaka!) di sebelah saya, perwakilan kata 'black' dari Black Rose Hime, Ny. Maitsa Luthfiyyah. Dia ngomongnya sih, mau main Replay (tuh, 'kan. Kita ini duo SHAWOL). Entah lagu ini dan lagu itu, emang dasar anak SMP, masih labil! Intinya, dia mau main piano atau gitar.
Begitu juga dengan saya, saya mupengnya main piano. Kenapa? Ayolah, ini sesuatu yang patutnya kalian ketahui, ini ada di samping layar komputer Anda.
Saya. Ini. Fans. Beethoven.
Serius, rasanya jadi mayat di kasur, deh. /nggak.
Jujur banget nih, ya. Saya dari dulu aja merasa "nggak level" buat suka sama Beethoven. Eits, ini bukan salahku sepenuhnya! Itu kecelakaan. Niatnya cuma buat bahan novel doang, ternyata bisa sampai merasuki jiwa. Beethoven sih, kenapa jadi musisi keren banget?! /nggak. Itu salah lu sendiri.
Dan, faktor ini adalah penyesalan SEUMUR HIDUP. Penyesalan apa? Nanti kujelaskan.
Nah, kalau bukan lagu Beethoven – by the way, aku mau banget main The Tempest Sonata. Big recommended, guys – lagu apa yang saya mainkan?
Oke, ini juga menjadi tradisi sejak 6 SD.
Waktu itu 'kan mau ujian praktek Seni Musik. 1 lagu wajib, 1 lagu pop. Tapi, aku enggak ada perbekalan lagu pop sama sekali. Aku udah transcription satu lagu Jepang kesukaanku, tapi ... Plis. Itu lagu Jepang. Baiknya main lagu yang dikenal, 'kan? Oke, menjelang deadline, kuandalkan lagunya Vierra  Perih, secara notnya diobral sama temen-temen.
Tapi, aku nggak ada pegangan lagu lain lagi. Makanya, aku selalu memainkannya kalau disuruh "lagu pop Indonesia". Udah khatam, toh?
Oke, kembali ke saat ini. Nilaiku berani taruhaaaann ... Tidak memuaskan! 83, kalau enggak salah.
By the way, siapa yang maju ditunjuk secara acak sama BCL. Normal saja kalau tawaran bertaruh nyawa itu langsung melesat ke temanku yang masih berada di wilayah absen awal.
Wajarnya, sebagai teman-teman yang setia kawan, dengan khidmat menyimak pentas kecil temannya yang maju ke depan, 'kan? Keadaan sebaliknya dicontohkan oleh Laven. Well, aku sudah beradaptasi dari kelas 7, kok.
Malahan, aku juga termasuk yang tidak berbakti – berani-beraninya memasang earphone dan mendengarkan lagu sendirian. Aku memang duduk di pojokan saat itu, dan posisiku bisa dikategorikan jauh dari jangkauan mata Bu Can Lady.
Sudah disediakan satu keyboard di tengah-tengah kelas bilamana ada yang ingin – dan bisa memainkannya. Yep, hampir semua orang ingin bermain alat musik sebangsa piano itu, termasuk aku.
Bisa kulihat Siska – panggilannya memang berawalan 'S', tapi nama aslinya berawalan 'F' – yang bersiap-siap untuk menjentikkan jari-jarinya di atas tuts piano.
Aku hanya menatapnya lurus. Tanpa mengetahui jelas apa yang terjadi sebenarnya.
.
.
.
Tanpa komat-kamit, Ica langsung melepas satu earphoneku.
Oke. Sedetik kemudian, aku langsung shock.
Fur Elise?!
Alunan nada yang memasuki gendang telinga itu sukses membuat mulutku menganga sebesar 4 cm – yep, gerombolan lalat beserta kawan-kawannya bisa masuk, nih. Begitu pula si rambut mi burung dara alami satu ini, dia menatapku dengan tatapan orang shock yang berkata 'gila-ini-orang-mainnya-lancar-pake-banget'.
Aku membalas tatapannya seraya berkata lewat tatapanku. 'Woi-ini-mainnya-full-version-lagi-bukan-yang-pendek-seperti-anak-anak-kalau-pakai-pianika'.
Dalam benakku.
YA ALLAH. DEMI APA, DI KELAS GUE SENDIRI ADA YANG BISA MAIN SELANCAR ITU? FUR ELISE? SELAMA DUA TAHUN LEBIH DI SINI, GUE NGGAK TAHU?! MENDING KALAU CUMA SETENGAH BAGIAN, INI FULL! F-U-L-L! WHATDAFAK?!


.
.
.
"Ini Beethoven, ya?".
Ca, jangan memandangku dengan tatapan 'eh-disebut-tuh-namanya'.
Aku refleks menepuk dahi. Padahal boro-boro aku yang ditanya.
Ah, setan alas. Nggak usah frontal kayak gitu di saat-saat jiwa raga saya lagi shock, Refsa.
Dalam hati, aku berterima kasih pada Satia yang menjawab pertanyaan seatmatenya dengan benar. Padahal, kalau nggak ada yang tahu, aku berencana untuk menjeritkan kata ya.
.
.
.
Usai permainan Siska yang mencengangkan, penghuni Laven pun bertepuk tangan. Termasuk aku dan Ica. Pascanya, penghuni Laven pun kembali beradu mulut, yang tentunya membuat Bu Can Lady sesekali terjangkit hipertensi. Yep, guru beautiful and unique satu ini, kalau marah, sebangsa Bu Annah yang menjabat sebagai guru IPA dalam dua periode Laven berjalan.
Berani taruhan, gue enggak bisa jaim lagi.
"ASTAGFIRULLAHALADZIIMM!!!" Aku langsung istighfar selantang yang dapat dicapai suaraku – walau aku bermetafora begitu, tentu masih menang telak obrolan penghuni Laven alias pasar pagi 89 itu. "Apa salah hambaMu, Ya Allaaahhh?!".
Oke, sumpah itu ngawur banget. Tapi, rasanya perih, pakai ekstra keju di dalam pizza jumbo, seakan gue barusan kayak dijatuhi beban seberat 10 ton. Karma. Ini KARMA. Mengingat aku pernah sekali durhaka pada orang tua – entahlah. Peristiwa itu bisa dikategorikan durhaka atau bukan, sih?
"Ya ampuuunn, Icaaa, apa salah gueee?".
Sampai akhirnya Ica menyerbu saya dengan pertanyaan retorik – pertanyaan tak bertanya.
"Kesalahannya ada pada SATU! Kenapa lo tolak waktu lo diajak les piano?!".
Jleb.
"DUA! Kenapa lo mau main Fur Elise?!".
Jleb.
"TIGA! Kenapa lo baru mau belajar piano sekarang?!".
Jleb kuadrat.
"EMPAT! Kenapa lo ngidolain Beethoven–".
ASTAGA NAGA! Berani taruhan, Ica melafalkan nama itu dengan volume maksimum.
"Ssssssssstttttt!" Aku langsung nimpuk-nimpuk si mungil satu ini. Beneran, deh. JANGAN DISEBUT SEKENCANG ITU!
"Sori, sori!" Yang ditimpuk pun langsung melindungi dirinya sendiri – dan kemudian melanjutkan khotbahnya sesaat kemudian. Dikira gue udah mau tamat?! "LIMA! KENAPA PIANO ITU HARUS ADA?!".
Sepertinya pertanyaan retorik itu bukan hanya ditujukan untukku seorang – tapi juga kepada dirinya sendiri. Sesuai dengan ekspresi wajah sang juru bicara yang begitu meratapi nasib sengsaranya.
"RT! Kenapa piano itu harus dipelajariiii?!" Oke, ini sesi bergalau ria.
"NAH, ENAM!" Aduh, Ca. Sampai kapan lo mau bawa-bawa panah dan membidiknya tepat ke arah hati gue yang lagi hancur banget ini? Oke, ini terlalu dramatis. "SOAL UASNYA ITU! Kenapa harus ada soal itu?! Kalau gitu, lo enggak bakalan bikin Requiem dan nggak bakalan tahu Fur Elise!".
Oke, kalimat itu. Sejarahnya panjang.
By the way, ada yang salah kaprah, tuh.
"GUE TAHU FUR ELISE DARI KELAS TUJUH!" Seruku membenarkan kesalahan.
"ANYING LAAAAHHH!" Sip, ada sesuatu yang patutnya disensor. Tapi, kebenaran hendaknya tidak disembunyikan. Dan, Ica memang menjerit apa adanya seperti itu. Untung pakai Y, bukan J.
"INTINYA!" Aku langsung mengakhiri kerusuhan antar kami berdua ini. "KENAPA GUE BARU NGIDOLAIN SEKARANG, SIH?! Huweeeeeeee!".
Oke. Ica langsung menenangkanku yang sangat sangat sangat sangaaaattt pundung ketika itu.
.
.
.
.
.
Kenapa harus "karma", "karma", dan "karma"?
Jadi, waktu aku masih kelas 7, aku pernah ditawarin mama papa buat les piano. PINTARNYA, kutolak. Nggak tahu kenapa. Lupa. Atau, aku yang masih berjiwa anak SD itu terlalu berpikir pendek. Sejak aku suka Beethoven, aku justru benar-benar kepingin. Sampai sekarang. Siapa sih, yang nggak senasib sama aku? Siapapun yang mengidolakan seseorang, pasti ingin menjadi seperti dia!
Yah, aku nggak berharap menjadi seseorang yang mengukir namanya di bidang musik, sih. Karena faktor menyedihkan inilah, aku buat Requiem Series.
Requiem Series. Itu novelku. Sedikit spoiler, ceritanya terinspirasi dari diri sendiri, musik klasik, Omen Series, dan insiden tersendiri. Itu dia yang disebut-sebut Ica "soal UAS".
Singkatnya, di soal UAS Bahasa Inggris 'kan pasti ada Recount Text. Nah, salah satu Recountnya itu KEREN BANGET. Tokoh protagonisnya kenalan sama seseorang di Facebook. Eh, ternyata, seseorang itu sudah meninggal setahun sebelum mereka bertemu. Nah, lho?!
Yep, sejenis itulah. Tentunya, Requiem Series enggak dibuat segampang itu, tapi ringkasnya begitu. /?
Tokoh utama Requiem itu "aku". Lebih tepatnya, refleksi keinginanku selama ini. Seorang pianis yang lihai memainkan lagu Beethoven.
Oke, kusudahi spoilernya, dan inilah akhir dari nostalgiaku.
Ah ... Semua tragedi yang berkesinambungan ini, entah mau ketawa, entah mau kangen, entah mau meratapi nasib di pojokan kamar ... /daging dendeeengg.
Yang jelas, pilihanku adalah pilihan ketiga. :")
Thanks for reading!
.
.
.
.
.
(( Ranku Kurogane ))

Sabtu, 22 Maret 2014

Tell Me (File 3.5: After Bloody).

Hai, di sini Mikaeru-Kiddo! Akhirnya, aku punya kesempatan lagi, hehehe. Oke, oke. Aku terlalu sering vacuum. Akan kuusahakan untuk menyelesaikan cerita-ceritaku secepat mungkin. Nothing much to say, check it out.
.
.
.
.
.
File 3.5: After Bloody.
.
.
.
.
.
“I’m trapped in a dream that doesn’t show its shape.
As this world get more and more suspicious.
Again, someone becomes aware of it.”
.
.
.
                Kembali ke Tempat Kejadian Perkara.
                Kuulang perkataanku sekali lagi. Aku tidak mau peduli. Boleh kuperlengkap? Tidak akan mau peduli. Aku sudah tidak mau tahu. Serba tidak, bukan? Tidak ada reaksi lain selain penolakan dalam hatiku yang panasnya setara dengan air mendidih ini. Angkanya boleh besar, 313 Kelvin. Padahal itu dalam satuan standar internasional. Kalau dinyatakan dengan Celcius, yang pertama kali melintas di benakmu pasti kekecewaan karena ternyata angkanya masih bisa dijangkau oleh otak normal.
                Tapi, dapatkah kalian memperkirakan seberapa besar luka hatiku?
                Tidak ada orang yang bisa mempercayai fantasi gilaku. Berani sumpah, imajinasimu harus bermain untuk menghadapiku yang berkepribadian ganda ini. Gasp, aku tidak punya alter-ego, lho. Aku bukan pengidap gangguan identitas disasosiatif. Aku sadar penuh atas perbuatanku. Semuanya.
                Maksudku, kepribadianku bisa disetarakan dengan bunglon.
                “Ja-jangan main-main! Ma-mau apa kamu dengan api ungu itu?!”.
                Menghukum kalian. Apa yang sudah kalian perbuat dengan kaki kananku? Rasanya, bagaikan melihat hewan yang hendaknya dikuliti. Bedanya, itu bagian alat gerakku. Normal saja, bukan? Kalau aku sempat menduga kalian akan mempraktekan kanibalisme.
                “Itu sulap, ya? Trik yang menakjubkan, Chris.”.
                Bukan. Rasakan saja kebenarannya.
Sudah cukup dengan gurauan kadaluarsa kalian. Aku mau muntah. Membuatku overdosis saja.
Awalnya, sama sekali TIDAK terlintas niat keji di dalam benakku, lho. Percaya, deh. Dengan perencanaan yang benar-benar matang, kulangkahkan kakiku kemari. Ini keinginanku sepenuhnya. Walaupun naif, aku tidak perduli. Obsesiku selalu mengalahkan logikaku.
Inginnya, meraih kembali kebahagiaan yang pernah kuperoleh bersama mereka.
Dan kali ini, menghentikan nafas mereka.
Apa-apa selalu ingin kulakukan saat itu juga.
Apa iya aku pengidap syaraf obsesional yang belum terbangun? Ah, sedikit berbeda dengan psikopati, sih. Tapi, aku bukan wanita yang selalu merasa kurang dalam hatinya setiap melewatkan sesuatu. Secara, kebanyakan pasien OCD itu wanita. So, anggap saja aku psikopat. Dimana orang lain takut dengannya, aku bangga dengan sebutan itu.
“Sayangnya, aku tidak memakai topi sulap,” candaku datar. Senyum sumringah tampak lebar di wajahku yang masih mulus. Sebentar lagi, aku akan menerima make up gratis yang sangat langka. “Tapi, tidak apa-apa, kok. Kalian itu tamu yang sangat spesial. Makanya, aku sengaja kembali ...”.
Epilognya berlawanan dengan prolognya sendiri. Waw, aku hebat, ‘kan?
“... Untuk menjadikan kalian kelinci percobaan. HAHAHA!”.
Berimbang dengan siulan – melambangkan sifatku yang easy-going, bukan begitu?
Tak kalah santainya, tanganku langsung bermain dengan girang, memanipulasi api ungu yang masih tidak terdefinisi asal muasalnya. Yang jelas, pekerjaanku sekarang benar-benar memuaskanku.
Membakar mereka hidup-hidup.
.
.
.
.
.
                Usai bersenang-senang dengan kelinci-kelinci malang itu, aku langsung pergi tanpa merasa berdosa. Baru luka bakar, sih. Tapi, itu sudah cukup parah. Alih-alih, pihak yang berwajib akan sibuk mengurus mereka mulai dari sekarang. Akankah luka mereka itu berbekas, atau bisa disembunyikan dengan plastik? Huh, asal mereka berani mengeluarkan uang yang lumayan besar jumlahnya hanya untuk kebahagiaan sang anak. Boleh-boleh saja kucuri dengan alasan menikmati hasil jerih payah – sekalian tindak pidana – tapi, menghadapi aparat yang berdarah dingin itu setara definisinya dengan bunuh diri.
                Atau mereka yang mengadakan perhitungan denganku.
Oh, ya. Soal teman-temanku. Mengadukan perbuatanku ke pihak dewasa? Ah, mereka tidak sampai nyali. Mereka memang cengeng, kekanakan, dan larinya pasti ke orang tua terus. Tapi, salah satu dari mereka pasti bisa menduga, dong.
Kalau aku bisa melakukan hal yang lebih kejam lagi.
Lewatkan itu.
Nah. Entahlah manusia terlalu memperhatikan yang ada di sekitar mereka atau bagaimana, semua sorot mata manusia yang kutemui tertuju ke satu arah.
Ke arahku.
Satu kata. Apes.
Nyaris disetarakan dengan pengemis berkaki pincang, beberapa  anonymous menawarkan jasanya padaku. Tapi, aku menolak mereka dengan alasan sempurna – hanya terkilir ketika bermain ice hockey dan jatuh ke dalam sungai. Jaket hitam yang senantiasa kulingkarkan di leher kini berganti profesi – menutupi lukaku yang kalau aku boleh komentar, mengerikan.
Bisa-bisa aku dikira pengemis jalanan betulan.
Perlu kuralat, korban bully.
Uh, akhirnya sampai juga. Setidaknya, aku tidak akan pingsan di jalan gegara anemia. Hebat. Sudah tahu terluka parah, berani-beraninya aku menggunakan kekuatan misterius itu. Lagipula, aku benar-benar dibakar emosi. Tidak perduli dengan faktor apapun. Shit just got real.
Ah, abaikan sifat impulsifku. Sekarang, aku ini Chris yang berjiwa melankolis. Bisa kalian lihat dari manik cerulean yang melekat di wajahku. Warna iris asliku sejak lahir.
Kulirik lantai tiga. Aku tahu balkon kamarku yang mana.
Dua orang itu sudah ada di sana belum, ya?
.
.
.
                “Buka jaketmu!”.
                Sialan. Dia langsung menunjuk kakiku.
                Alih-alih disapa balik. Aku malah langsung didamprat Kak Yashiro. Kak Shermie sempat ingin membalas – tetapi Kak Yashiro memotongnya secepat badai. Kurasa dia sengaja. Daripada melawan senior, kuturuti saja dengan setengah ikhlas. Well, aku mempunyai alasan kuat kenapa aku setengah keberatan dengan permintaan si musuh Matematika satu itu.
“Brengsek,” what the hell. Dia mendelik ke arahku, ekspresinya benar-benar sangar. Tapi, kurasa, maksud tatapan itu bukan ditujukan padaku. “Siapa yang berbuat begini padamu?!”.
Sesuai prediksi. Pemuda bermanik maroon itu langsung naik darah. Makanya aku tidak mau. Habisnya, aku hanya akan membuang waktu untuk menghujat manusia-manusia tidak bertanggung jawab tersebut. Itu namanya mencemooh keburukan orang lain, dan itu samanya dengan memakan daging saudaramu sendiri. Tapi, kalau boleh jujur, aku tidak perduli.
“Teman-temanku,” jawabku dingin – dan sedetik kemudian, mataku refleks membulat lebar.
Kenapa aku masih mengakui mereka sebagai teman? Mulutku bicara apa, sih.
Salah bicara. Sudah biasa memperlakukan mereka demikian selama beberapa tahun, jadilah kebiasaan setiap kali ada yang bertanya soal mereka. Mereka bukan temanku lagi.
“I-ini keterlaluan!” Damprat Kak Shermie kencang. Mata abu-abunya mengilat. Mengamati setiap sudut luka-lukaku yang baru beberapa menit berkontak dengan udara air conditioner. To be honest, rasanya ngilu. Darahnya sudah membeku walaupun masih berbekas. Sekilas cuplikan, bisa kalian lihat daging manusia dengan mata jikalau bertukar pandangan dengannya. Dan tentu saja, itu akan membuatmu nyaris muntah. Seperti ekspresi pucat Kak Shermie saat ini.
“Se-segera kuambilkan kotak P3K!” Ujarnya panik sambil berlari ke dalam kamarnya.
Aku mengangguk.
“Benar-benar tidak tahu aturan, manusia ganas,” geram Kak Yashiro. “Masa’ sampai separah ini melukai orang?!” Tangan kekarnya mengepal kencang. Matanya mendelik ke setiap arah yang dia lihat, mencari-cari target utama untuk menghujamkan tinju knock out. Sayangnya, tidak ada. Manik maroonnya memandangku – pandangan a la belas kasihan. “Chris, jalanmu jadi pincang, ‘kan?”.
“Yah,” aku mengangkat bahu. Memang, aku tidak bisa berjalan dengan sempurna gara-gara luka keparat ini. “Itu hanya karena terasa sakit saja. Kalau sudah sembuh, aku masih bisa jalan, kok. Mungkin.” Sengaja kutambahkan kata yang tidak meyakinkan. Secara, aku memang tidak yakin kalau keadaanku bisa pulih secepat perkembangbiakan cacing planaria.
Manik ceruleanku bertukar pandang dengan manik maroon Kak Yashiro. Kosong. Aku sadar dia tidak percaya padaku.
“Yashirooooooo!” Ah, suara itu benar-benar sempurna untuk memecahkan suasana hening. “Tolong ambilkan air panas! Pakai baskom, ya!”.
“Iya, iya,” respon yang disuruh acuh tak acuh. Menjadi pembokat dadakan, siapa yang mau? Tidak ada. Lumrah-lumrah saja Kak Yashiro menjawabnya dengan nada malas. Gerak malas. Benar-benar seperti siput yang enggan keluar dari cangkangnya.
Eits, sempat-sempatnya dia menghujamkan tatapan tajam ke arahku. Caranya memandang persis dengan cara ayah memandangku ketika dia sedang serius – berkehendak menasehatiku yang seringkali melanggar peraturan rumah.
“Kamu jangan bergerak, lho. Lukamu itu parah.”.
.
.
.
.
.
                “Nah, sudah diperban,” senyum Kak Shermie lega. Akhirnya, ada benda yang dapat menutup lukaku secara efisien. Tidak perlu menggunakan jaketku yang malang lagi. “Eh, haruskah sekarang?” Gadis sanguinis itu menoleh ke arah pemuda yang berjongkok di sebelahnya –  mengamatinya sedari tadi, ketika kekasihnya menjelma menjadi sosok relawan untukku: membungkus lukaku yang cocok menjadi objek penantang adrenalin.
                Lewatkan itu. Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya.
                “Tentu saja,” Kak Yashiro mengangguk. “Yang penting, bukan suaranya yang rusak.”.
                Sekarang aku mengerti.
                Aku berniat untuk berdiri – tetapi belum juga apa-apa, gerakanku langsung ditahan pemuda albino satu itu. Siapa lagi kalau bukan Yashiro Nanakase? Sudah keberapa kali dia menyulutkan api di depanku? Maksudku, yang pertama. Dengan sengaja dia membelaiku, padahal sudah kubilang kalau aku tidak suka dibelai. Hebatnya, alasannya benar-benar masuk akal. Benar-benar membuatku yang lihai dalam komunikasi verbal ini langsung skat mat.
                Dia rasional, dan aku irasional.
                Pasangan yang cocok, bukan begitu?
                “Kak,” semburku jengkel. “Atas dasar apa kakak menahanku, deh?”.
                “Tidak seharusnya kau berjalan, bocah sok dewasa,” paparnya singkat – untuk yang kedua kalinya, dia membuat lidahku kelu. “Kau duduk saja, pasien kecil. Tunggu kami sebentar,” pesannya sambil nyengir lebar. Tidak lupa membelai-belai rambut coklat kayuku. Dalam hati, aku ingin sesekali mencekiknya sebagai respon simbolis kalau aku tidak suka. Tapi, dia membuatku mati kutu.
                Dia pegang kelemahanku.
                Sehebat inikah mahasiswa jurusan Sosiologi? Wah, kacau.
                Kalau aku sudah lulus SMA, akan kupilih jurusan Matematika.
.
.
.
                “... Siapa yang membuat lagu ini?”.
                Tatapan mengintimidasi a la Chris. Julukan yang lumayan keren, bukan? Eits, mataku bukan kerabatnya mata Medusa, lho. Kesaksian orang-orang terdekatku dulu, tatapanku kadangkala penuh dengan makna. Yep, opini mereka memang mendekati kebenaran. Entah itu bertanya, menyelidiki, atau bahkan menghujat orang lain.
                “Aku,” seseorang menjawab pertanyaanku – dan sedetik kemudian, aku langsung melongo bak keledai.
Holy crap! Believe it or not!
Mahasiswa jurusan Sosiologi satu itu. Oke, ini ketiga kalinya aku dibuat facepalm. Err, kali ini dia tidak membawa-bawa obor di depanku, kok. Maksudku, please. Dari kekekarannya saja sudah mendukung. Kalau genre kesukaan pemuda ini adalah rock. Yang membuatku terkejut, semua yang tertulis di secarik kertas dalam genggamanku ini.
                I shall be singing for you through the night. I shall be turning on the broken light.
                Jangan-jangan, lagu ini ditujukan untuk kekasihnya.
                Kurasa tidak.
                “Err, kak,” tanyaku ragu – berpura-pura untuk ragu. “Liriknya memang begini, ya?”.
                “Iya,” jawabnya sambil mengangguk. “Memangnya kenapa?”.
                Aku menggeleng. “Bukan apa-apa, kok. Hanya saja, liriknya agak ...” Aku langsung menelan ludah. Ragu sih, tidak. Merasa awkward, iya. Sebagai seorang vokalis. “... Enggak cocok dinyanyikan anak sepertiku.” Akhirku tangkas.
                “Perasaanmu saja,” cengirnya lebar – menampakkan gigi-giginya yang ternyata mengenakan behel berwarna silver. Benar-benar dekorasi yang pantas dengan rocker. “Penyanyi itu nggak dinilai dari penampilannya saja. Tapi, dari caramu mengerti arti lagu yang akan dibawakan.”.
                Tunggu dulu, artinya saja sudah tidak terlalu meyakinkan, batinku sambil menghela napas panjang. Sepanjang yang kubisa. Tapi, ini bukan mewakilkan kata menyerah ataupun putus asa.
                Aku langsung tersenyum lebar.
                Challenge accepted.
.
.
.
.
.
“To lie, I shall be here
To lie, I shall be here.
.
You’re the only one I love.
That feeling won’t change, oh.
Although we built beautiful memories together.
I must be off right now.
I can’t keep living on as today.
Just to make this big lie.
.
I shall be singing for you through the night.
I shall be turning on the broken light.
Similar to piercing the night sky.
Once I prepare the depth of me in full guilt.
Going to lie.
.
Because you’re not dull at all.
It’s possible you’d see through but we have no choice.
By staying this way, we’re falling down.
Then you say what?
A cruel wall we can’t pass exists for us.
We must be separated.
I’ll make even the dumbest lie for you, I’m gonna lie.
.
It burdens me to separate my kind excuse.
End it with a lie, that’s my pride.
Fooling you who are still unaware,
who knows nothing about liar."
.
.
.
.
.
                Jujur saja, aku tidak terlalu suka lagu romantis.
                Tapi, lagu itu terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku suka liriknya. Menggambarkanku yang mahir memanipulasi orang ini. Haruskah kuhaturkan rasa terima kasih padamu, Yashiro Nanakase? By the way, instrumental lagunya juga lumayan unik, lho. Kak Shermie yang merancangnya. Mereka berdua benar-benar jenius di bidang ini. Membuatku merasa tertinggal jauh.
                Sepertinya, aku benar-benar junior, deh.
                Eits, sebodo. Seperti yang ada di dalam lagunya, that’s my pride. Aku memang seorang yang jaim – alias jaga image. Tapi urusan membanggakan diri, aku juga termasuk di dalamnya. Yep, aku ini narsis. Kepercayaan diriku memang melampaui batas. Tapi, siapa yang perduli tentangnya?
                Karena, yang mereka perdulikan adalah sisi negatifku.
                Lewatkan itu.
                “Hei, kalian ada di sana, ya?”.
                Lagi-lagi, tatapanku mengintimidasi mereka. Berani taruhan. Asyik-asyik latihan bernyanyi, malah dipergoki. Bagaimanapun juga, aku tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian.
                “Maaf, maaf,” gadis sanguinis itu tersenyum sumringah. “Tidak sengaja.”.
                “Bohong,” aku langsung membantahnya. “Bilang saja kalau kalian mendengarnya.”.
                “Ups, sorry,” cengirnya lebar – dan entah mengapa, bulu kudukku langsung berdiri. Bibirnya yang berpoles lipstik merah terang itu benar-benar membuatnya terlihat sedikit ... Seram.
                Well, you know what did I mean, didn’t you?
                “By the way,” aku langsung menunjuk apa yang dijinjing Kak Yashiro. Sebungkus plastik putih berlogo – tapi, aku tidak bisa melihat apa logonya karena plastiknya menghadap ke belakang. “Itu ... Apa, deh?”.
                “Oh,” pemuda albino itu langsung nyengir kuda. “Kalau kamu bertanya-tanya kenapa kami menghilang di pagi hari, ini bisa menjadi bukti simbolis.”.
                Masuk akal. Aku memang mencari kalian. Kemana kalian tadi pagi, hah?
                Tanpa bicara lagi, Kak Yashiro langsung memberikan bungkusan plastik itu padaku. Dengan tatapan menyelidik, aku langsung memperlakukannya seperti bom – dengan brutal mengusir plastik itu agar bisa melihat apa isinya – err, perumpamaanku terlalu hiperbola.
Dan, mata ceruleanku terbelalak.
Bohong.
“Handphone ...?”.
“Habis, kamu enggak punya handphone,” papar Kak Yashiro sambil tersenyum hangat. “Jadi, kami patungan saja untuk membelikanmu. Maaf, modelnya yang biasa-biasa saja. Lain kali, kita beli handphone baru di Osaka, ya?”.
“Bagaimana, Chris?” Kak Shermie langsung menghampiriku – berbekal senyuman ceria a la dirinya yang begitu khas. “Kamu suka, tidak?”.
Ah, dasar orang-orang bodoh.
Pikiranku benar-benar menghujat mereka. Tapi, itu tidak sama dengan perasaanku saat ini. Seperti akar-akar dari pertidaksamaan dua variabel, hasilnya benar-benar membingungkan. Berbagai macam perasaan berkecambuk dalam hatiku.
Ada empat. Senang. Kesal. Sedih ...
... Takut.
Tanpa sadar, air mataku sudah menetes dan bergulir menuruni pipi.
Terserah dengan semua ini. Terserah dengan kelainanku.
“... Terima kasih.”.
Aku memang seorang yang tidak pernah berempati. Tetap saja, orang tidak akan pernah bisa hidup tanpa cinta. Aku kehilangan semua itu, dan aku memperolehnya kembali sekarang. Oh, Tuhan. Apakah aku harus siap kehilangan lagi? Adakah yang abadi di dalam dunia fana ini?
Aku tahu. Aku akan berubah menjadi seseorang yang jahat dan berdarah dingin, bilamana aku berhadapan dengan seorang pengkhianat. Siapapun bisa menjadi pengkhianat, tahukah kalian? Yep, hati seseorang itu bisa berubah-ubah.
Tapi, di antara seluruh temanmu, ada yang akan benar-benar setia padamu.
Tidak tahu siapakah itu.
Prioritas utamaku, aku tidak mau menyakiti siapapun kecuali atas dasar dendam.
.
.
.
.
.
“He’s rational and I’m irrational. Fair enough?”.
.
.
.
To be Continued.
.
.
.


Author's Note:
Oke, soal lagunya. Itu sebenarnya U-KISS - Tick Tack. Karena lagi suka sama lagu itu, jadi aku pasang saja jadi setting. Sesuai dengan pernyataan Chris di sini, lagu itu cocok dengan dirinya yang manipulatif dan hipokrit. Nothing much to say, see you later, guys. Keep reading!

Rabu, 12 Maret 2014

Ketika Menginjak Dunia Masa Lalu ...

Hai, di sini Ranku Kurogane. Err, judul entrinya udah kayak apaan aja, ya? Tapi, percayalah. Ini 100% akurat. Saya berani sumpah. Demi Allah. Okelah, nothing much to say anymore, langsung ke inti cerita aja, ya? Kenapa seorang Ranku Kurogane yang manis nan cerdas err, biasanya cerewet ini tiba-tiba ingin mempercepat argumentasi, ini bukan teks eksposisi. Maksud saya, sesi event dalam sebuah Recount? Saking saya takutnya. Saya tekankan, dengan bold and underline. TAKUT. Iya, yang harusnya saya takuti itu hanya Allah. Mungkin, takut akan kekuasaan Allah? Hehehe, yang itu boleh, 'kan?

To the point.

Sepulangnya dari Mall Taman Anggrek. Jujur aja, nggak ada yang aneh. Yang aneh itu waktu saya sampai di rumah. Demi Allah. Badan saya serasa panas—panas banget. Kayak demam. Tapi, saya nggak pusing. Dan, tangan dan kaki saya dingin-dingin aja. Apa karena kedinginan? Saya nggak menggigil. Entah mengapa, tubuh saya mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan suhu tubuh dengan lingkungan. BUKAN SAYA ITU REPTILIA ATAU AMPHIBIA, LHO. Menyesuaikan. Bukan mengikuti. Kalau di sana terlalu dingin, tubuh saya pasti panas. Gitu. Oke, kembali ke situasi saat itu. Karena saya sudah biasa mengalaminya, dan yakin ini bukan demam, saya langsung take it easy. Bukannya apa-apa, saya malas kalau apa-apa sudah didiagnosa sakit.

Apa ada manusia yang sama seperti saya? Setidaknya, ini bukan kelainan.

Kembali ke topik, pik.

Kira-kira 3 jam lebih keadaan saya begitu. Lama-lama saya ngerasa kalau saya sakit, 'kan. Sudahlah, saya tiduran sambil selimutan. Dan, berani taruhan. Rasanya makin panas. Saya bukannya mendramatisir ataupun sejenisnya, tapi saya waktu itu udah kayak setengah sadar. Saking kepanasan, mata saya sampai setengah terkatup, seakan-akan sinar matahari menerpa saya, padahal boro-boro masih siang. Saya lepas selimutnya, masih kepanasan juga. Tangan saya sempat hangat setelah saya gosok-gosokin, tapi lambat laun dingin lagi. Kaki saya sih, dinginnya udah kayak di Kutub Utara, nggak, sedingin es.

Sesi terburuknya bermula dari sini.

Tiba-tiba, saya ngerasa ada yang mau masuk ke dalam tubuh saya. Langsung aja, saya refleks pegang kepala. Mau teriak, tapi suara nggak bisa keluar—nggak tahu kenapa. Akhirnya, saya cuma merengah-rengah, niatnya sih, mau minta tolong ke seseorang yang bermurah hati untuk memberikannya tapi suara aja pelit sama saya. Dan, akhirnya ada saat dimana saya benar-benar kehilangan kesadaran.

Anehnya, itu saya kayak yang masih bangun. Inikah yang dinamakan sleep paralysis? Yang mana tubuh sampai nggak bisa digerakin. Itu yang saya alamin. Saya sama sekali nggak bisa berpindah dari posisi terakhir—memegang kepala. Dan, di dalam benak saya, ada berbagai peristiwa yang pertama, saya nggak pernah mengalaminya. Kedua, saya nggak pernah memikirkannya. Ketiga, saya bahkan nggak tahu itu berlatar dimana.

Pertama-tama, ada tangan. Pas saya sadar—itu tangan dilayangkan ke wajah seseorang. Saya nggak bisa lihat wajah duo protagonis dalam peristiwa itu. Tapi, dari postur tubuh mereka masing-masing, itu cowok sama cewek. Yang cewek sih, benar-benar jelas. Soalnya (maaf), cewek itu lagi nggak pakai apa-apa. Cowoknya nggak jelas pakai baju apaan. Entahlah itu baju kerja, atau kerajaan, atau tentara, saya nggak ngerti. Cowoknya kayak yang marah-marah sama cewek itu, dan cewek itu cuma bisa nangis. Sempat terlintas di benak saya kalau cewek itu (maaf) pelacur. Dan sekilas, semua itu menghilang.

Kedua, ada wajah anak kecil. Entah cewek, entah cowok. Matanya nggak kelihatan. Tapi, mulutnya setengah terbuka. Ekspresinya seperti orang kaget. Di pipi dan sekitar dagunya, bahkan telinganya, itu banyak banget cipratan darah. Tidak tahu menahu itu darah dari dia sendiri, atau darah dari orang lain. Sekilas, semuanya hilang lagi.

Ketiga, berlatar di suatu taman di belakang rumah. Rumah orang kaya kayaknya. Ada anak kecil cewek—yang ini jelas-jelas berwarna. Rambutnya kriwel-kriwel—a la anak Eropa. Pakai dress goth lolita pink. Eh, dia 'kan kayak megang boneka. Entahlah boneka apa. Tapi, bonekanya punya rambut. Anak itu pegang gunting silver, lalu rambutnya boneka itu digunting-gunting. Nggak sampai situ. Wajahnya boneka itu juga ditusuk-tusuk, dan saya bisa lihat dengan jelas—anak itu menyeringai. Lebar. Giginya yang seputih susu itu terlihat dengan jelas. Laksana raja di laut, salah. Laksana ekspresi Joker di kartu truf.

Dan, dia menoleh ke arah saya. Matanya seperti biasanya kalau setan, nggak terlihat. Tapi, gestur tubuhnya benar-benar jelas kalau sayalah yang akan menjadi target keduanya. Setelah bonekanya yang malang itu jatuh secara tidak terhormat di atas lantai. Anehnya, bukannya lari dari situ, saya cuma bisa bengong. Dan, tiba-tiba saja, semuanya jadi gelap lagi.

Sampai akhirnya saya benar-benar sadar kalau saya lagi tiduran di kamar.

Alhamdulillah, tangan dan kaki saya bisa bergerak juga. Saya langsung cepat-cepat ke kamar mandi. Bukan cuma karena kebelet pipis, tapi benar-benar. Saya harus lari dari TKP.

Sampai di sana, saya langsung istighfar. Saya ribut-ribut di kamar mandi. "Apaan sih, itu?! Gue ngebayangin apaan, coba?! Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah... Ya Allah, itu halusinasi apa? Dimana itu? Kenapa?". Masih banyak lagi, tapi saya keburu lupa saya ngomong apa aja. Sampai, tiba-tiba, ada suara gabrukan di atas alat pemanas air. Saya cek 'kan otomatis. Nggak ada apa-apa. Mungkin aja tikus, 'kan. Tapi, beneran. Nothing's there. Saya yakin, itu bukan suara kucing lari-lari di atas atap. ITU GABRUKAN.

Untuk kedua kalinya, saya lari dari TKP. Tentunya, sambil istighfar sekaligus menghujat diri sendiri. Sumpah. Pintar banget. Harusnya, saya nggak boleh ngomongin 'mereka'.

... Saya boleh ngomong sesuatu? Saya itu indigo.
Sejak kecil, saya sudah sering berkomunikasi dengan makhluk astral. Sayangnya, saya tidak melatih kemampuan itu, jadilah jarang keluar. Tapi, saya sering merasakannya. Bahkan, di rumah saya sendiri. Saya juga bisa menerawang banyak hal. Entah masa depan, bahkan masa lalu. Seperti berbagai halusinasi yang saya ceritakan di atas. Tapi, saya bukan anak indigo yang benar-benar terampil, lho ...

Oke, saya rasa cukup sekian. Thanks for reading.


(( Ranku Kurogane. ))