Minggu, 01 Juni 2014

Publikasi Bahasa Indonesia - Teks Negosiasi.

Hai, kembali lagi dengan Rania Hendradwiputri!
Oke, ini adalah entri pertama di bulan Juni. Sementara, entri-entri tentang Publikasi Bahasa Indonesia yang lain bisa diintip di bulan Mei, ya.
Akhirnya, kita sampai pada pengunjung acara err, maksudku entri terakhir dalam Publikasi Bahasa Indonesia. Ini dia, tentang Teks Negosiasi! Dalam bab ini, sempat ada tugas yang sangat mengejutkan dari Bu Siti Zulaeha, yaitu drama tentang bernegosiasi. Sebenarnya, aku termasuk orang yang kaku dan nggak pintar-pintar amat dalam akting (walaupun aku reaktif banget orangnya, apa-apa spontan bereaksi dengan reaksi yang aneh), jadi aku sempat... yah, bisa dibilang cemas-cemas harap. Kali ini, aku satu kelompok dengan Dita, Fira, Syifa, David, dan Reza. Dalam drama ini, aku jadi si pemilik motor. Walaupun jadi orang dewasa, lagakku nggak bisa dibilang sebagai karyawati beranak satu (Dita jadi anakku, hahaha) yang sudah punya motor, sih. Melainkan mahasiswi baru yang ingin mencari uang dengan cara berjualan. Yang parah, David jadi bapak, Fira jadi istrinya si David, anaknya Reza. Cocok nggak, ya? Pfffttt ... pacarnya Fira cemburu nggak, tuh? Kayaknya sih, iya.
Oke, kembali ke dramanya. Demi Allah, naskahnya lawak. Bukannya berniaga.com, malah bernaga.com. Sejak kapan ada kosakata 'bernaga', ya? Kacaunya lagi, saking banyak kendala dalam menentukan lokasi drama, akhirnya kita meminjam rumah Eva. Lucunya, Eva jadi figuran, anaknya Syifa yang bersekolah di SMA Harapan Palsu.
Sebenarnya banyak banget fail scene dalam pembuatan dramanya, sayangnya nggak ada di videonya.
Oke, ini dia drama yang kubicarakan (diupload di YouTube, lho! Bermodal kameranya Syifa dan salah satu scene ada yang pakai Xperia-ku), sekaligus presentasi tentang bab Teks Negosiasi dan 20 soal yang (sebenarnya) menyatu dengan 20 soal bab Teks Prosedur Kompleks yang kubicarakan, hanya saja ini tentang negosiasi.
Semoga bermanfaat, dan selamat menikmati. Akhir kata, terima kasih bagi yang sudah membaca entriku!





Minggu, 1 Juni 2014

Rania Hendradwiputri

Sabtu, 31 Mei 2014

Publikasi Bahasa Indonesia - Teks Prosedur Kompleks.

Hai, kembali lagi dengan Rania Hendradwiputri.
Oke, kalau dalam Bahasa Inggris, entri ini namanya penultimate. Artinya, yang satu sebelum terakhir. Sebelum akhir dari publikasiku yaitu Teks Negosiasi, kita bertemu dulu dengan Teks Prosedur Kompleks. Oke, soal bab ini, kelompokku lain dari yang sebelumnya. Di sini ada salah satu temanku yang ekstra rajin, panggil aja Nisa. Dia mahir dalam urusan mendesain PowerPoint agar tidak membosankan untuk dilihat, mungkin dia sudah terbiasa sejak SMP, ya? Dia juga pakarnya hias-menghias. Berani sumpah, baru kali ini aku bertemu anak sekreatif dia. Dia baik banget, lho!
Dalam proses pembuatan PowerPoint Teks Prosedur Kompleks, sempat terjadi banyak hambatan, gara-gara dua cowok terkutuk di kelompok kami malah ngobrol nggak jelas. Walhasil aku, Nisa, Citra, dan Dorothea selaku cewek-cewek perkasa bekerja sama untuk menyelesaikan PowerPoint itu secepat mungkin. Yah, pada akhirnya tidak secepat yang kami harapkan sebelumnya. Namun selama masih bisa selesai dan diterima, itu sudah berarti, kok. Terima kasih untuk kelompokku!
Oh, iya. Selain PowerPoint dan Teks Prosedur Kompleks yang kubuat, aku juga membuat 20 soal tentang Teks Prosedur Kompleks. Sebenarnya, 20 soal ini digabung dengan 20 soal tentang Teks Negosiasi. Agar tidak berantakan dan membingungkan, kupisah saja perbab. Hehehehe.
Tidak perlu berbasa-basi lagi, ini dia tugas-tugasku selama mempelajari tentang Teks Prosedur Kompleks. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran yang membangun, ya. Barangkali, aku bisa membuat yang lebih baik lagi. Terima kasih sebelumnya.
Semoga bermanfaat untuk kita semua.




Publikasi Bahasa Indonesia - Teks Laporan Hasil Observasi.

Hai, kembali lagi dengan Rania Hendradwiputri.
Oke, sekarang kita berjalan selangkah lagi ke Teks Laporan Hasil Observasi. Seingatku, aku tidak masuk saat Bu Siti Zulaeha memberikan materi ini. Suaraku hilang, dan aku sama sekali tidak bisa berbicara. Berani taruhan, suaraku nggak keluar. Karma anak bersuara cempreng gini, nih. Jadi, aku meliburkan diri selama beberapa hari atas saran dokter langgananku.
Dan parahnya lagi, waktu ulangan tentang Teks Laporan Hasil Observasi, 'kan disuruh buat puisi dari teks observasi yang tertera di soal. Itu tentang makhluk hidup di bumi (yah, sebenarnya itu juga teks yang dikutip dari buku cetak). Serius, aku nggak mahir-mahir amat bikin puisi. Kalau seorang Silviana Eka (temanku di kelas X IPS 1) bikin, dijamin langsung dapat nilai 100, deh. Walhasil? Dengan modal kalimat yang sangaaaatttt... baku dan tidak bermutu, aku langsung membuatnya secepat kilat. Nggak tahu dapat berapa. Yang lucu, Fiqih Al-Aziz, salah satu temanku di X IPA 2, malah bikin macam gini.
"Benda di dunia ini, dapat dibagi menjadi dua. Ada benda hidup, dan ada benda mati."
Astagfirullah, dia berkoar a la pembaca puisi abal begitu dari belakang, aku yang duduk di depan langsung ngakak nyembur. Setidaknya, aku masih menguras otakku dalam membuat puisinya, nggak asal kutip dari teks.
Oke, kembali ke tugas, ini dia PowerPoint Teks Laporan Hasil Observasi yang kubuat. Terima kasih kepada pemilik sumber-sumber yang kuperoleh lewat internet dan buku cetak Bahasa Indonesiaku. Jangan ragu-ragu untuk memberikan kritik dan saran yang membangun, oke? Bisa saja itu membantuku dalam tugas-tugas berikutnya. Terima kasih sebelumnya.
Semoga bermanfaat untuk kita semua.


Jumat, 30 Mei 2014

Publikasi Bahasa Indonesia - Teks Eksposisi.

Hai, kembali lagi dengan Rania Hendradwiputri!
Oke, setelah Teks Anekdot, kita berjalan satu langkah ke Teks Eksposisi. Hmm, Teks Eksposisi, ya. Sebenarnya, aku tidak menemukan kesulitan yang berarti dalam mempelajari teks ini. Hanya saja, waktu Bu Zuzu menugaskan kami untuk membuat teks eksposisi sendiri, aku sempat dilema. Dia menyediakan dua tema, yaitu ekonomi dan politik. Aku suka politik... tapi waktu aku mencari informasi yang kuperlukan di internet, apa reaksi pertamaku?
"Apa ini? Gue nggak ngerti sama sekali."
Dengan ekspresiku yang sangat mendukung perasaanku ketika itu. Kaget bukan main. Politik itu lebih sulit dari yang kuduga.
Wuahahaha, ternyata pengetahuanku selaku ratu PKn waktu masih SMP belum bisa dibuktikan secara sempurna di lapangan. Kenyataannya, aku hanya tertarik pada politik, bukan mengetahuinya secara spesifik dan mendalam. Walhasil? Bisa kalian lihat sendiri, aku menulis teks eksposisi tentang ekonomi.
Meskipun begitu, ekonomi adalah sesuatu yang paling tidak kusenangi dengan berbagai alasan. Tapi, aku cukup menikmati tugas ini, dan hasil teks yang kubuat cukup memuaskan. Walaupun begitu, sepertinya pola kalimat dan kosakataku masih terlalu sederhana. Aku tidak begitu mahir dalam istilah ekonomi... hehehehe.
Sekali lagi, semoga membantu kalian semua yang membaca. Silahkan dilihat. Dan, jangan segan untuk memberikan kritik dan saran yang dapat membangun. Kiranya dapat membantuku untuk membuat yang lebih baik lagi. Terima kasih sebelumnya!





Publikasi Bahasa Indonesia - Teks Anekdot.

Hai, di sini Rania Hendradwiputri.
Sesuai dengan entriku sebelumnya, kali ini aku akan mempublikasikan beberapa tugas yang kuberikan dalam materi Teks Anekdot. Sekilas cerita, Teks Anekdot adalah materi yang pertama kali diajarkan oleh Bu Zuzu. Hal pertama yang terlintas di dalam otakku adalah kejadian nyataku waktu masih kelas 6 SD. Inti ceritanya, kalian tahu lagu Garuda Pancasila, 'kan? Tahu lirik akhirnya? Yang, ayo maju... maju! Ayo maju... maju! Ayo maju! Majuuuu... oke, suaraku memang sumbang, lagipula kalian tidak akan mendengar suaraku lewat ini, kecuali kalau aku mengupload nyanyianku ke Soundcloud. Hahahaha.
Singkatnya, ada suatu peristiwa di balik lagu kebangsaan kita itu, dan itu menjadi inspirasiku dalam memberi contoh teks anekdot dalam drama di dalam presentasi maupun makalah ini.
Yups, akulah yang membuat dramanya. Tidak lupa kuucapkan terima kasih untuk ketiga teman-temanku yang juga turut membantu dalam hal-hal lain, seperti mencari tentang pengertian anekdot, unsur-unsur dalam anekdot, dan sebagainya. Cynthia, Dita, Fida, makasih banyak, ya!
Tidak perlu berbasa-basi, silahkan dilihat. Semoga bermanfaat untuk kalian semua. Tidak perlu sungkan untuk memberikan berbagai kritik dan saran, siapa tahu berguna untukku ke depannya.
Terima kasih sebelumnya.




P. S: Mufidah tidak masuk pada saat pembuatan dan pementasan naskah drama.

Publikasi Bahasa Indonesia - PROLOG.

Hai, di sini Rania Hendradwiputri. Oke, baru kali ini aku menyebutkan nama asliku di blog tercintaku ini. Ehem, ehem. Berhubung ini adalah tugas sekolah, aku mencoba untuk sedikit lebih jaim santun, tidak apa-apa, ya? Yah, sedikit meleset dengan kesanku yang blak-blakan selama menulis entri di sini, sih.

Baiklah. Tidak perlu berbasa-basi lagi.
Kali ini, aku akan membagikan berbagai hasil pembelajaranku (dan teman-teman sekelas, X IPA 2) selama menjadi murid kelas 10 di SMAN 65 Jakarta Barat. Dalam rangka pelaksanaan Kurikulum 2013, ini adalah salah satu kewajiban kami sebagai murid untuk mempublikasikan hasil belajar kami dalam pelajaran Bahasa Indonesia selama kurang lebih setahun di SMA.
Bab-bab yang kupelajari diantaranya adalah Teks Anekdot, Teks Eksposisi, Teks Hasil Observasi, Teks Prosedur Kompleks, dan Teks Negosiasi.
Guru Bahasa Indonesiaku, Ibu Siti Zulaeha, atau boleh kita singkat Bu Zuzu (sebenarnya Bu Juju, tapi aku lebih suka memanggilnya Bu Zuzu), memilih blog sebagai sarana untuk mempublikasikan hasil pembelajaran kami. Ya, kuakui aku senang bukan kepalang (secara ini dia blogku, dan aku tidak perlu susah payah membuatnya lagi) dan merespon dengan tawa setan err, maksudku... tawa bangga yang terlalu bangga, sampai-sampai salah satu temanku bilang, "Sumpah, kaget banget gue, elu ketawa melengking banget!".
Yah, anggap saja itulah kelebihanku abaikan saja, itu sudah salah satu sifat aneh seorang Rania.

Aku sengaja menulis prolog ini supaya kalian tidak bosan. Aku akan berusaha menyajikan seluruh hasil pembelajaranku dengan penuh warna salah, maksudku dengan menyenangkan, supaya kalian bisa mengubah jalan pikir kalian kalau Bahasa Indonesia itu sebenarnya menyenangkan! Ya, aku adalah salah satu di antara 36 murid X IPA 2 yang menyukai pelajaran ini (atau malah satu-satunya?), dimana kedua sahabatku di kelas justru sangat berlawanan denganku. Oh, ayolah. Aku tidak suka Matematika. Dan mereka suka pelajaran yang selalu membuatku sekarat gara-gara levelnya yang terlalu susah itu?!
Eww, rasanya aku mau muntah. Bahasa Indonesia lebih menarik daripada Matematika, tahu! Ups, malah jadi sesi curhat.
Oke, aku bukannya ingin mendominasi kalian agar lebih menyukai Bahasa Indonesia daripada Matematika, lho. Aku ingin membuktikan kepada siapapun yang membaca blog ini, Bahasa Indonesia itu tidak selamanya membosankan seperti yang kalian deskripsikan selama ini.
Bahasa kita, bahasa Indonesia!



Jum'at, 30 Mei 2014.

Rania Hendradwiputri.

Selasa, 15 April 2014

Incognito.

Hai, di sini Ranku Kurogane. Sip, gara-gara nggak bisa tidur lagi setelah tertidur lebih awal—jam 10 kurang, kalau aku tidak salah—jadilah aku di sini, menulis kembali di blog untuk pertama kalinya di bulan April. Oke, judul entrinya emang nggak banget. Incognito? Hmm, itu hanya sekedar kata untuk mendeskripsikan apa yang akan dibahas di dalam entri ini. Topiknya aneh pakai banget emang, secara aku emang bikin blog ini cuma buat curhat. No offense. Tidak mengganggumu selaku pembaca juga, 'kan?

Langsung saja ke inti pembicaraan, tahu 'kan definisi incognito dalam bahasa Inggris? Secara garis besar, incognito artinya menyamar. Jadi, yang akan dibahas kali ini adalah asal-muasal nama samaranku yang demikian banyaknya, dalam rangka pekerjaanku di Facebook dan deviantArt sebagai editor Photoshop. Huehehehe. Sebenarnya, pakai nama asli saja aku bisa, sih. Tapi, ada kalanya seorang penulis atau pelukis punya nama panggung, 'kan? Nama yang kubuat itu sejenis nama panggung, dan sering gonta-ganti saking labilnya anak SMP waktu itu. Huahahahaha.

Pertama kalinya masuk ke dunia editor itu, waktu aku masih kelas 1 SMP. Awalnya cuma gara-gara teman SMP-ku yang tiba-tiba harus pindah ke SMPN 111—makanya Yasmin selaku alumni 111'13 bisa kenal sama dia. Oke, sebut saja anaknya Miikina—ngedit foto-foto selfie kami yang super duber aib di Photoscape. Kudet memang, aku yang masih berjiwa anak SD itu nggak tahu sama sekali apa itu Photoscape. Akhirnya dijelasin sama Miikina. Pulang-pulang, langsung kudownload software buat ngedit foto itu. Langsung saja kuedit banyak foto. Mulai dari foto asli sampai foto anime. Berlanjut hingga profesiku berubah menjadi editor sungguhan. Entah kenapa, waktu itu aku pakai nama "Serea Alice" sebagai nama panggungku. Kenapa 'Serea'? Nama aslinya Celia, tapi aku bacanya Serea. Itu nama tokoh game fighting yang pernah kumainin di PSP omku bareng si Atikah, namanya Destrega. Waktu itu si Atikah suka main tokoh cewek satu lagi yang namanya Anzeal, dan aku mainin Serea. Pokoknya, Serea itu tokoh kesukaanku. Seingatku, memang rambutnya pendek dan kekuatannya angin hijau, dan ternyata benar. Dan kenapa 'Alice'? Well, aku memang suka nama Alice dari dulu, kok. Entah kenapa. Dulu aku pernah baca buku dongeng Alice in Wonderland dan itu keren banget. Yah, nyebutnya juga enak, 'kan? Alice, Alice, Alice, Alice, Alice ... hahaha. Makanya, nama tokoh utama di novelku 'Alice'.

Beberapa waktu berselang, aku sering banget gonta-ganti nama panggungku. Mulai dari SherryYukina, SuzukaKid, AngeMilkMocha, Sherea Angelise, Sherea Trancy, dan akhirnya berhenti di terminal Lebak Bulus, ups salah. Berhenti sementara di Sylthfarn ft. Shun. Semua nama itu ada sejarahnya, aku jelasin satu persatu karena aku ini Ranku Kurogane yang manis nan cerdas, enggak deng, karena aku kurang kerjaan sekarang.

  • SherryYukiina. Sherry itu inisialnya Ai Haibara di Detektif Conan, 'kan? Oke, kalau Alice Harley kecanduan Sherlock Holmes, aku kecanduan Detektif Conan. Siapa 'Alice Harley'? Tokoh novelku. Skip, skip. Sementara Yukiina, itu plesetan dari Yukina Himeragi dari XX Me. Soalnya, temanku yang kupanggil Miikina itu sering pakai Miikina sebagai nama panggungnya, jadilah aku Yukiina dan dia Miikina, gituuu ...
  • SuzukaKid. Yang ini lebih bodoh lagi. Suzuka itu plesetan dari mamaku dari nama Shizuka. Believe it or not, itu sampai jadi password laptop lamaku supaya mamaku senantiasa ingat. BUJUBUNEENG! Mamaku itu memang lain dari yang lain, nggak heran anaknya jadi aneh semua. Ya, aku ini orang aneh dan aku tahu itu, untung cowokku nerima-nerima aja—dia juga sama anehnya, sih. Kalau Kid, itu masih ada hubungannya sama Doraemon. Dora the Kid, tokoh kesukaanku di The Doraemons, temannya Doraemon yang koboi Amerika, serigala dari barat itu. Yang takut ketinggian. Dorayaki pakai mustard. Pacarnya Dorami. Huehehehe. Sifatnya mirip aku, jadilah aku suka banget sama dia.
  • AngeMilkMocha, Milk dan Mocha-nya jangan diperdulikan. Itu hanya cantuman kalau aku suka susu dan rasa mocha. Selesai. Ange-nya, dari Ange Ushiromiya. Yep, aku lagi kecanduan Umineko no Naku Koro ni waktu itu.
  • Sherea Angelise. Itu plesetan dari 'Serea' dan 'Ange', dua tokoh kesukaanku. Hahaha, ternyata aku termasuk yang mahir memelesetkan nama.
  • Sherea Trancy, Sherea-nya masih kupakai. Karena memang, aku suka banget sama nama itu. Trancy? Yang ngebet banget sama Kuroshitsuji pasti tahu. BENAR! ITU MARGANYA ALOIS TRANCY! HUAHAHAHAHAHA. Oke, aku malah lebih suka Alois ketimbang Ciel Pantompife—salah, itu gara-gara si Adhia salah nyebut—maksudku, PHANTOMHIVE. Waktu itu, aku lagi jatuh cinta pakai banget sama Alois setelah nonton Kuroshitsuji OVA yang Spider Invention.
  • Daaannn ... Sylthfarn ft. Shun! Nama yang senantiasa kupakai sampai aku hiatus dari dunia editor selama liburan UN. Sylthfarn itu ... yang pernah baca manga Magical x Miracle pasti tahu. Sylthfarn itu Master Wizard yang menghilang itu lhooo ... yang mirip sama Merleawe, yang diperanin sama Mel! Sylth ganteng+manis banget, makanya aku suka. Dan, Shun. Yang tahu Bakugan Battle Brawlers pasti ngeh. SHUN KAZAMI, RIVALNYA DANMA KUSO! HUAHAHAHAHAHA. Oke, awal-awalnya aku juga suka sama Dan, lho. Tapi, gara-gara Shun potong rambut di New Vestroia, aku jadi berpindah hati ... oke, aku ini apa banget. Jadi ingat masa-masa lalu. Hehehehe.

Pemberhentian terakhirnya, nama panggung yang kupakai sampai sekarang. 'Shiro Sylthfarn'. Kenapa harus 'Shiro'? Shiro itu artinya putih. Yah, nama anjingnya Shinchan 'kan Shiro, warnanya putih, 'kan? Makanya, di komiknya kadang-kadang suka dipanggil 'si Putih'. Oke, sebenarnya nama itu bukan buatanku. Itu buatannya Dityaning Presvianti Putri—Ditaalias Aozora Aera. Dia dulu pernah masukin aku sebagai nama 'Shiro Sylthfarn' dalam ceritanya. Eh, sekarang malah aku pakai itu sebagai nama panggung. Lebih singkat, sih. Tapi, aku tetap nggak menghilangkan nama 'Sylthfarn' karena sebagian besar editor yang mengenalku selalu memanggilku 'Sylth'. Lagipula, 'Sylth' itu serasa menjadi nama keduaku. Shiro Sylthfarn, the Master Wizard of miracle, motto itu sudah melekat dalam diriku sebagai editor. Begitulaaah ...

Ada yang penasaran dengan editanku? Coba buka entriku yang "Desain Grafis: Pekerjaan Primer atau Sekunder?", disitu kutaruh 20 editanku. Memang, belum bagus-bagus banget, sih. Tapi, aku suka saja. Aku nggak terlalu serius dalam dunia Photoshop sih, mendesain bagiku hanya sekedar hobi. Tapi, ada kalanya aku ingin kemampuan ini berguna suatu saat nanti dan bisa menghasilkan sesuatu yang nyata. Selain minatku dalam menulis novel.

Dan, nama panggungku BUKAN cuma yang di atas saja. AHAHAHA, KELEWATAN BANGET! Ada empat buah lagi. Ranku Nakahara, Khairani Ramaditya, Ranku 'Ranran' Kurogane, dan yang paling sering kupakai setelah Ranku Kurogane, Aiiro Akikaze.

  • Kalau yang Ranku Nakahara, itu nama lama. Buktinya ada Ranku Kurogane. Jadi, awal-awalnya pakai 'Nakahara'. Karena demam Metal Fight Beyblade—dan aku suka pakai banget sama Ginga Hagane—biar namanya terdengar SAMA, langsung kuubah jadi 'Kurogane'. Oke, alasan yang amat sangat absurd.
  • Kalau Aiiro Akikaze, itu ... nama yang mencerminkan diri sendiri, kok. Aiiro dalam Kanji tulisannya "藍色". Dan itu artinya indigo. Iya, kalian tahu 'kan, bisa dibaca di entriku yang berjudul "Ketika Menginjak Dunia Masa Lalu ...". Aku ini anak indigo. Lalu, Akikaze. Dalam Kanji tulisannya "秋風". Dan kalau diartikan dalam bahasa Inggris, artinya autumn breeze. Angin musim gugur. Yah, itu cuma karena aku terobsesi Shun Kazami yang tributnya angin, dan aku suka musim gugur. Jadilah Aki-kaze. 'Aki' artinya musim gugur, dan 'kaze' artinya angin.
  • Oke, sekarang yang Khairani Ramaditya. Ini nama samaranku di ceritanya Ica—Maitsa Luthfiyyah—pada awalnya. Dengan namanya sendiri yang berubah menjadi Josephine Lutfia. Tahu-tahu, nama itu masih kupakai dalam novelku. Bukan yang Requiem Series. Ada satu lagi, adaptasi kisah nyata—adaptasi "Who Are You?"—judulnya Anonymous. Kayaknya itu bakal berseri lagi, jadi sebut saja Anon Series. Anon Series ceritanya lebih fantasi lagi daripada Requiem Series, kalau boleh ngomong. Dan, tokoh 'aku' di situ namanya Khairani Ramaditya, yang sering dipanggil 'Aria'. Oke, kapan-kapan, akan kuceritakan sinopsis Anon Series.

Aku rasa cukup sekian. Bujubuneng, aku masih belum ngantuk. Ah, nanti pasti bisa tidur sendiri.
Akhir kata, thanks for reading!

(( Ranku Kurogane ))

Sabtu, 29 Maret 2014

Whatsoever Journal at 65 Senior High School (#1: March 28th, 2014).

Hai, di sini Ranku Kurogane!
Bisa dibilang ini adalah lanjutan dari 'Who Are You?'. Aww, seandainya pengalaman ini bisa dibuat novel–dasar otak sastra. Penyakit Ranku Kurogane yang manis nan cerdas ini kambuh lagi. Hahaha, kuselesaikan dulu Tell Me. Oke, sebenarnya ada apa dengan tanggal 28 Maret? Alias 20 hari setelah tragedi 'Who Are You?' itu? Rahasia Ilahi. Nothing much to say, check it out!
.
.
.
"Mimpi itu adalah kebalikan dari kenyataan yang akan terjadi."
– Alifia Arrahmani, alias Riri Hizaki, my only soulmate.
.
.
.
28 Maret 2014.
Oke, awal-awalnya aku bangun pagi. Bukan, ini bukan pagi banget–udah menjelang siang. Jam 11 pagi. Hebat, aku udah bengong aja. Benar-benar bengong. Bagaimana nggak bengong? Mimpiku jelek banget. Nggak ingat sebagian besar isinya apa, tapi aku ingat intinya. Aku berantem sama seorang cowok yang bahkan aku nggak mau sampai punya masalah sama dia.
Siapa lagi kalau bukan Kak Terry?
Err, aku bahkan nggak mau punya masalah sama siapapun, sih. Cuma, mulutku jagonya berdebat dan aku paling takut bikin Kak Terry marah gegaranya. Oke, mimpi macam apa, nih?
.
.
.
Beberapa jam kemudian.
Bisa dibilang, kalau Kak Terry sering banget BBM aku. Entah apa maksudnya–yang sekarang aku tahu maksudnya apa. Sesuai dengan pernyataanku di 'Who Are You?', topik kita itu aneh-aneh. Kali ini, habis ngebahas Fur Elise-nya Beethoven, tiba-tiba dia nanya begini.
"Waktu itu... Kamu pernah bilang kalau kamu suka sama anak kelas 12. Kalau boleh tahu, siapa sih, orangnya?".
Oh. Sekarang aku paham maksud mimpiku.
Buset, nanya lagi?
Jadi, pernah sekali gitu, aku tulis di status BBM, 'daisuki' alias 'aku suka kamu'. Tentunya, itu buat Kak Terry. Kecenya, dia nanya. Dan, sekarang dia nggak ujuk-ujuk nanya lagi? Shit just got real. Waktu itu, aku lagi bad mood. Jadi, reaksiku nggak seperti biasanya–kiranya, aku mengintimidasi Kak Terry.
"Kubalik pertanyaannya dulu, kenapa kakak mau tahu?".
"Mau tahu aja, Ran.".
Argh, sudah cukup dengan aksi cukstaw.
Aku benar-benar naik darah–kalau mau jujur. Bukannya aku berprangsaka buruk duluan, tapi aku nggak suka kalau orang campur tangan dengan urusanku. Meskipun ini bodohnya kuadrat dikuadratin lagi. Yang dia tanya, bahkan jawabannya dia sendiri! Aduh.
Terlanjur marah, aku langsung meresponnya dengan dingin. Nggak ketara karena itu lewat BBM? Bagus, karena sisi dinginku benar-benar menyeramkan.
"Di balik alasan mau tahu itu pasti ada alasan lagi. Ada alasan dibalik mau tahunya itu.".
Seketika, pikiranku kosong. Seperti biasanya. Kalau aku marah, aku berbicara sesuai dengan emosiku, bukan pikiran lagi. Aku nggak perduli lagi kalau akhirnya Kak Terry tahu aku suka sama dia. Terlalu cepat, karena niatku mau ngekode habis dia UN. Tapi, serius.
Aku. Nggak. Kuat. Lagi.
Berimbang dengan rasa gundah yang sampai-sampai membuatku merinding nggak karuan–serius. Aku merinding. Adrenalinku seakan-akan terpancing. Tapi, secara aku suka menantang adrenalinku, aku nggak merasa khawatir sama sekali. Dan, ketakutan itu menghilang seketika. Ketegangan kuperlakukan seperti makanan sehari-hari–aku begitu menikmatinya.
Masa laluku sama Ilham terulang lagi? Bring it on.
Oke, deh. Sekarang nggak mau aku pakai istilah-istilahan.
"Jadi, alasan spesifik, nih?".
"Ya." My God, aku benar-benar ketus. Itu jawabannya dengan nada rendah, lho.
"Kalau aku kasih tahu, kamu mau ngasih tahu siapa orangnya?".
Ah, justru aku yang harusnya nanya. Kamu siap kutembak, kah?
"Iya.".
"Oke, saya siap. Alasannya yah, jujur, saya cemburu.".
Swear, aku langsung terbelalak. Satu kata dalam pikiranku.
Bodoh.
Satu reaksi setelahnya. Aku langsung tertawa a la psikopat.
"HAHAHAHA!".
Berimbang pernyataanku dalam hati: "AHAHAHAHA, PERASAAN GUE TERBALAS GITU? ANJRIT, GILA BANGET! AHAHAHAHA!". Sumpah, coret. C-O-R-E-T. Aku benar-benar tolol.
Yang seharusnya didefinisi gila itu aku.
Aneh, 'kan aku? Untung nggak ada orang tuaku di kamar. Kalau ada, mereka pasti menoleh ke arahku dengan tatapan heran seakan-akan anaknya sudah sakit jiwa. Well, psikopat sendiri artinya sakit jiwa, 'kan.
Dear my ally, you'll have a psychopath girlfriend.
Tapi, pura-pura jaim di depan dia–atau bisa dibilang itu sifat 'tameng', jadi nggak bisa kubilang pura-pura–aku balas saja seadanya.
"Tunggu dulu. Jadi, kakak suka sama saya?".
"Jangan shock, Ran. Ah, maunya sih habis UN. Yah, kecepetan, deh.".
Ngapain? Itu sama saja aku nggak bisa melihatmu lagi.
"Hahaha, jadi sekarang aku nggak perlu takut untuk kehilangan lagi, begitu? Yang kusukai itu kakak.".
Aku mau tahu apa reaksi mukanya waktu membacanya. Gyahahaha.
Oh, jadi, semuanya terjawab.
.
.
.
.
.
10 hari sebelumnya.
Selasa, 18 Maret 2014.
"Hah? Gimana bisa? Aku kok jadi kepo, sih?".
Buset. Sebegitunya, kah? Aku jarang ngobrol soal cinta, sih. Ngeliat Yasmin antusias tingkat dewa waktu kuceritain tragedi 8 Maret (ini tolol. 10 hari setelah kejadiannya, dan 10 hari sebelum–oke, aku tutup mulut dulu), aku langsung berubah menjadi cewek extrovert yang dengan gamblang menceritakan semuanya.
Sesi paling heboh itu, waktu aku ngasih tahu kata-katanya Kak Terry.
"Sialan yek, itu orang.".
Jujur saja, aku ada penafsiran lain sama kalimat itu. Tapi, please, don't be overconfident.
"DEMI APA DIA NGOMONG GITU, RAN?" Yasmin, ekspresimu benar-benar... Wew.
"Demi Allah," aku langsung bersumpah.
Mukanya Yasmin sama Fida. Ya ampun, bikin ketawa. Shock gimanaaaa ... Gitu.
"Gila, itu sih dia suka sama lu, Ran!" Timpal Yasmin seenak jidatto be very honest, that's what I think. Tapi, sekali lagi. Jangan buat aku ge-er duluan, Yas. Jangaaaann.
"Nggak mungkin, nggak mungkiiinn," bantahku enteng. "Aku udah nanya sialan kenapa, terus dia jawab 'sialan aja, ngapain dia nembak pakai ask.fm, kocak aja', gitu.".
"Bohong. ALIBI ITU!" Demi apapun, si Fida dalem banget. "Dia tuh pasti mikir, 'sialan, gue keduluan nembak! Sama adik kelas gue lagi, haduh!' Hahahaha!".
Kocaknya, Fida benar-benar mengekspresikan wajahnya seakan-akan dia itu Kak Terry.
Mufidah, that's what I PERFECTLY think. Dasar otak bisnis.
Hebatnya, aku sama sekali nggak menyangka kalau dugaan Fida itu benar adanya.
Mungkin karena Yasmin selalu ngomong tiada henti. "Kalian pacaran aja," atau "pacaran aja kenapa?!" Dengan nada gue-nunggu-banget-lo-pacaran-Ran. Aduh, dido'ain.
.
.
.
.
.
Kembali ke 28 Maret 2014.
"... Serius kamu?".
Serius banget. Setelah apa yang kualami di SMP, kamu pikir aku nggak serius memilihmu?
Kamu adalah orang yang bisa mengganti posisi seorang Ilham Nugraha, bahkan lebih. Hah, cowok perfect yang selalu kupanggil Len Kagamine dan aku sebagai Rin Kagamine. Aku selalu memperhatikan sosok 'raja Laven' itu dari belakang. Ngestalk dia meskipun aku sudah lulus dari 89. Aku masih simpan penggaris yang patah gara-gara aku cemburu. Aku kesal.
Bodohnya, kamu benar-benar membuatku berpaling dari masa lalu. Aku yang awalnya nggak mau percaya lagi sama yang namanya kasih sayang itu–bisa-bisanya aku takluk.
Nggak bisa diampuni. Hukumannya, kau harus jadi pacarku.
Err, posesif.
Ah, rasanya aku mau nangis. Tapi, nggak bisa. Saking senangnya.
"Saya serius! Makanya, aku nggak mau kalau kakak sampai baca 'Who Are You?'... Di situ jelas-jelas tertulis, kalau saya suka sama kakak...".
Yeah, you're as Terry Bogard and I'm as Rock Howard.
"What the... Nggak heran kamu larang saya baca itu.".
"Ah... Aku nggak mimpi, 'kan?".
"Nggak, kamu nggak mimpi, Ran.".
Blablabla. Nggak akan kuceritakan semuanya secara rinci. Intinya, aku benar-benar ... Bahagia. Ya.
.
.
.
Hey, my ally. We're sort of reflections, aren't we?
I always wish you won't disappear from my sight.
Because I want to see you in my mirror, forever.
Although this mirror is totally broken,
describing myself as a psycho who lived in the nightmare.
You'll always be my ally of justice.
Thanks for everything at our past, now, and our future.
.
.
.
Didedikasikan untuk penghuni kelas XII IPA 1, Irfan Pratomo Putra.
.
.
.
(( Ranku Kurogane ))

Jumat, 28 Maret 2014

Whatsoever Journal at 89 Junior High School (#1: November 27th, 2012).

Hai, di sini Ranku Kurogane! Lama enggak update di sini, ya? Maaf, soalnya SMA itu bikin stress banget, sih. Bener-bener merasa seperti orang bodoh di sekolah  tapi kalau kata guru saya sih wajar, karena kita sebagai siswa masih belajar. Dan, kalau merasa pintar di sekolah itu pertanda orang sombong. Okey, skip. Akhir-akhir ini saya sering flashback kenangan saya waktu SMP. Jadi, saya sengaja menuliskan beberapa kenangan saya selama di SMP. .w.
Ini kisah saya waktu masih menduduki kelas yang benarnya akan menghadapi Ujian Nasional. Yep, kelas 9. Okelah, kita mulai nostalgiaku.
.
.
.
.
.
Now playing: Karakuri Pierrot – Hatsune Miku.
Yep, lagunya Miku-chan yang selalu saya setel setiap galau. Walau begitu, sekarang saya bukan pundung karena cinta – seperti makna lagunya, sih. Ya, alasannya sungguh jauh berbeda.
Hari ini, praktek Seni Musik. BCL (Bu Can Lady) ngasih tugas yang gampang: main alat musik atau nyanyi per individu. Yang nyanyi boleh diiringi alat musik harmonis milik teman. Jujur aja nih, tugas ini gampang. GAMPANG. Emang gampang, kok. Orang-orang yang bisa main alat musik melodis (suling dan pianika) saja boleh unjuk keahlian. Memang memberikan kesan pas-pasan dan melarat sekali, sih. Hiks ...
Kenapa "hiks"? Iyalah. Andaikata dari lubuk hati yang paling dalam kalian ingin memainkan lagu yang wajib dimainkan dengan alat musik harmonis, tapi kalian hanya bisa menampilkan alat musik KKM itu ... Nyeseknya bagaimana, sih? BANGET. TINGKAT DEWA SETELAH DEWA/manaada.
Dan, itu terjadi pada saya dan jelmaan Lucifer (bukan saya yang ngomong! Dia sendiri yang suka bilang kalau dia itu "Lucifer". Ketahuan SHAWOL, wakakakaka!) di sebelah saya, perwakilan kata 'black' dari Black Rose Hime, Ny. Maitsa Luthfiyyah. Dia ngomongnya sih, mau main Replay (tuh, 'kan. Kita ini duo SHAWOL). Entah lagu ini dan lagu itu, emang dasar anak SMP, masih labil! Intinya, dia mau main piano atau gitar.
Begitu juga dengan saya, saya mupengnya main piano. Kenapa? Ayolah, ini sesuatu yang patutnya kalian ketahui, ini ada di samping layar komputer Anda.
Saya. Ini. Fans. Beethoven.
Serius, rasanya jadi mayat di kasur, deh. /nggak.
Jujur banget nih, ya. Saya dari dulu aja merasa "nggak level" buat suka sama Beethoven. Eits, ini bukan salahku sepenuhnya! Itu kecelakaan. Niatnya cuma buat bahan novel doang, ternyata bisa sampai merasuki jiwa. Beethoven sih, kenapa jadi musisi keren banget?! /nggak. Itu salah lu sendiri.
Dan, faktor ini adalah penyesalan SEUMUR HIDUP. Penyesalan apa? Nanti kujelaskan.
Nah, kalau bukan lagu Beethoven – by the way, aku mau banget main The Tempest Sonata. Big recommended, guys – lagu apa yang saya mainkan?
Oke, ini juga menjadi tradisi sejak 6 SD.
Waktu itu 'kan mau ujian praktek Seni Musik. 1 lagu wajib, 1 lagu pop. Tapi, aku enggak ada perbekalan lagu pop sama sekali. Aku udah transcription satu lagu Jepang kesukaanku, tapi ... Plis. Itu lagu Jepang. Baiknya main lagu yang dikenal, 'kan? Oke, menjelang deadline, kuandalkan lagunya Vierra  Perih, secara notnya diobral sama temen-temen.
Tapi, aku nggak ada pegangan lagu lain lagi. Makanya, aku selalu memainkannya kalau disuruh "lagu pop Indonesia". Udah khatam, toh?
Oke, kembali ke saat ini. Nilaiku berani taruhaaaann ... Tidak memuaskan! 83, kalau enggak salah.
By the way, siapa yang maju ditunjuk secara acak sama BCL. Normal saja kalau tawaran bertaruh nyawa itu langsung melesat ke temanku yang masih berada di wilayah absen awal.
Wajarnya, sebagai teman-teman yang setia kawan, dengan khidmat menyimak pentas kecil temannya yang maju ke depan, 'kan? Keadaan sebaliknya dicontohkan oleh Laven. Well, aku sudah beradaptasi dari kelas 7, kok.
Malahan, aku juga termasuk yang tidak berbakti – berani-beraninya memasang earphone dan mendengarkan lagu sendirian. Aku memang duduk di pojokan saat itu, dan posisiku bisa dikategorikan jauh dari jangkauan mata Bu Can Lady.
Sudah disediakan satu keyboard di tengah-tengah kelas bilamana ada yang ingin – dan bisa memainkannya. Yep, hampir semua orang ingin bermain alat musik sebangsa piano itu, termasuk aku.
Bisa kulihat Siska – panggilannya memang berawalan 'S', tapi nama aslinya berawalan 'F' – yang bersiap-siap untuk menjentikkan jari-jarinya di atas tuts piano.
Aku hanya menatapnya lurus. Tanpa mengetahui jelas apa yang terjadi sebenarnya.
.
.
.
Tanpa komat-kamit, Ica langsung melepas satu earphoneku.
Oke. Sedetik kemudian, aku langsung shock.
Fur Elise?!
Alunan nada yang memasuki gendang telinga itu sukses membuat mulutku menganga sebesar 4 cm – yep, gerombolan lalat beserta kawan-kawannya bisa masuk, nih. Begitu pula si rambut mi burung dara alami satu ini, dia menatapku dengan tatapan orang shock yang berkata 'gila-ini-orang-mainnya-lancar-pake-banget'.
Aku membalas tatapannya seraya berkata lewat tatapanku. 'Woi-ini-mainnya-full-version-lagi-bukan-yang-pendek-seperti-anak-anak-kalau-pakai-pianika'.
Dalam benakku.
YA ALLAH. DEMI APA, DI KELAS GUE SENDIRI ADA YANG BISA MAIN SELANCAR ITU? FUR ELISE? SELAMA DUA TAHUN LEBIH DI SINI, GUE NGGAK TAHU?! MENDING KALAU CUMA SETENGAH BAGIAN, INI FULL! F-U-L-L! WHATDAFAK?!


.
.
.
"Ini Beethoven, ya?".
Ca, jangan memandangku dengan tatapan 'eh-disebut-tuh-namanya'.
Aku refleks menepuk dahi. Padahal boro-boro aku yang ditanya.
Ah, setan alas. Nggak usah frontal kayak gitu di saat-saat jiwa raga saya lagi shock, Refsa.
Dalam hati, aku berterima kasih pada Satia yang menjawab pertanyaan seatmatenya dengan benar. Padahal, kalau nggak ada yang tahu, aku berencana untuk menjeritkan kata ya.
.
.
.
Usai permainan Siska yang mencengangkan, penghuni Laven pun bertepuk tangan. Termasuk aku dan Ica. Pascanya, penghuni Laven pun kembali beradu mulut, yang tentunya membuat Bu Can Lady sesekali terjangkit hipertensi. Yep, guru beautiful and unique satu ini, kalau marah, sebangsa Bu Annah yang menjabat sebagai guru IPA dalam dua periode Laven berjalan.
Berani taruhan, gue enggak bisa jaim lagi.
"ASTAGFIRULLAHALADZIIMM!!!" Aku langsung istighfar selantang yang dapat dicapai suaraku – walau aku bermetafora begitu, tentu masih menang telak obrolan penghuni Laven alias pasar pagi 89 itu. "Apa salah hambaMu, Ya Allaaahhh?!".
Oke, sumpah itu ngawur banget. Tapi, rasanya perih, pakai ekstra keju di dalam pizza jumbo, seakan gue barusan kayak dijatuhi beban seberat 10 ton. Karma. Ini KARMA. Mengingat aku pernah sekali durhaka pada orang tua – entahlah. Peristiwa itu bisa dikategorikan durhaka atau bukan, sih?
"Ya ampuuunn, Icaaa, apa salah gueee?".
Sampai akhirnya Ica menyerbu saya dengan pertanyaan retorik – pertanyaan tak bertanya.
"Kesalahannya ada pada SATU! Kenapa lo tolak waktu lo diajak les piano?!".
Jleb.
"DUA! Kenapa lo mau main Fur Elise?!".
Jleb.
"TIGA! Kenapa lo baru mau belajar piano sekarang?!".
Jleb kuadrat.
"EMPAT! Kenapa lo ngidolain Beethoven–".
ASTAGA NAGA! Berani taruhan, Ica melafalkan nama itu dengan volume maksimum.
"Ssssssssstttttt!" Aku langsung nimpuk-nimpuk si mungil satu ini. Beneran, deh. JANGAN DISEBUT SEKENCANG ITU!
"Sori, sori!" Yang ditimpuk pun langsung melindungi dirinya sendiri – dan kemudian melanjutkan khotbahnya sesaat kemudian. Dikira gue udah mau tamat?! "LIMA! KENAPA PIANO ITU HARUS ADA?!".
Sepertinya pertanyaan retorik itu bukan hanya ditujukan untukku seorang – tapi juga kepada dirinya sendiri. Sesuai dengan ekspresi wajah sang juru bicara yang begitu meratapi nasib sengsaranya.
"RT! Kenapa piano itu harus dipelajariiii?!" Oke, ini sesi bergalau ria.
"NAH, ENAM!" Aduh, Ca. Sampai kapan lo mau bawa-bawa panah dan membidiknya tepat ke arah hati gue yang lagi hancur banget ini? Oke, ini terlalu dramatis. "SOAL UASNYA ITU! Kenapa harus ada soal itu?! Kalau gitu, lo enggak bakalan bikin Requiem dan nggak bakalan tahu Fur Elise!".
Oke, kalimat itu. Sejarahnya panjang.
By the way, ada yang salah kaprah, tuh.
"GUE TAHU FUR ELISE DARI KELAS TUJUH!" Seruku membenarkan kesalahan.
"ANYING LAAAAHHH!" Sip, ada sesuatu yang patutnya disensor. Tapi, kebenaran hendaknya tidak disembunyikan. Dan, Ica memang menjerit apa adanya seperti itu. Untung pakai Y, bukan J.
"INTINYA!" Aku langsung mengakhiri kerusuhan antar kami berdua ini. "KENAPA GUE BARU NGIDOLAIN SEKARANG, SIH?! Huweeeeeeee!".
Oke. Ica langsung menenangkanku yang sangat sangat sangat sangaaaattt pundung ketika itu.
.
.
.
.
.
Kenapa harus "karma", "karma", dan "karma"?
Jadi, waktu aku masih kelas 7, aku pernah ditawarin mama papa buat les piano. PINTARNYA, kutolak. Nggak tahu kenapa. Lupa. Atau, aku yang masih berjiwa anak SD itu terlalu berpikir pendek. Sejak aku suka Beethoven, aku justru benar-benar kepingin. Sampai sekarang. Siapa sih, yang nggak senasib sama aku? Siapapun yang mengidolakan seseorang, pasti ingin menjadi seperti dia!
Yah, aku nggak berharap menjadi seseorang yang mengukir namanya di bidang musik, sih. Karena faktor menyedihkan inilah, aku buat Requiem Series.
Requiem Series. Itu novelku. Sedikit spoiler, ceritanya terinspirasi dari diri sendiri, musik klasik, Omen Series, dan insiden tersendiri. Itu dia yang disebut-sebut Ica "soal UAS".
Singkatnya, di soal UAS Bahasa Inggris 'kan pasti ada Recount Text. Nah, salah satu Recountnya itu KEREN BANGET. Tokoh protagonisnya kenalan sama seseorang di Facebook. Eh, ternyata, seseorang itu sudah meninggal setahun sebelum mereka bertemu. Nah, lho?!
Yep, sejenis itulah. Tentunya, Requiem Series enggak dibuat segampang itu, tapi ringkasnya begitu. /?
Tokoh utama Requiem itu "aku". Lebih tepatnya, refleksi keinginanku selama ini. Seorang pianis yang lihai memainkan lagu Beethoven.
Oke, kusudahi spoilernya, dan inilah akhir dari nostalgiaku.
Ah ... Semua tragedi yang berkesinambungan ini, entah mau ketawa, entah mau kangen, entah mau meratapi nasib di pojokan kamar ... /daging dendeeengg.
Yang jelas, pilihanku adalah pilihan ketiga. :")
Thanks for reading!
.
.
.
.
.
(( Ranku Kurogane ))

Sabtu, 22 Maret 2014

Tell Me (File 3.5: After Bloody).

Hai, di sini Mikaeru-Kiddo! Akhirnya, aku punya kesempatan lagi, hehehe. Oke, oke. Aku terlalu sering vacuum. Akan kuusahakan untuk menyelesaikan cerita-ceritaku secepat mungkin. Nothing much to say, check it out.
.
.
.
.
.
File 3.5: After Bloody.
.
.
.
.
.
“I’m trapped in a dream that doesn’t show its shape.
As this world get more and more suspicious.
Again, someone becomes aware of it.”
.
.
.
                Kembali ke Tempat Kejadian Perkara.
                Kuulang perkataanku sekali lagi. Aku tidak mau peduli. Boleh kuperlengkap? Tidak akan mau peduli. Aku sudah tidak mau tahu. Serba tidak, bukan? Tidak ada reaksi lain selain penolakan dalam hatiku yang panasnya setara dengan air mendidih ini. Angkanya boleh besar, 313 Kelvin. Padahal itu dalam satuan standar internasional. Kalau dinyatakan dengan Celcius, yang pertama kali melintas di benakmu pasti kekecewaan karena ternyata angkanya masih bisa dijangkau oleh otak normal.
                Tapi, dapatkah kalian memperkirakan seberapa besar luka hatiku?
                Tidak ada orang yang bisa mempercayai fantasi gilaku. Berani sumpah, imajinasimu harus bermain untuk menghadapiku yang berkepribadian ganda ini. Gasp, aku tidak punya alter-ego, lho. Aku bukan pengidap gangguan identitas disasosiatif. Aku sadar penuh atas perbuatanku. Semuanya.
                Maksudku, kepribadianku bisa disetarakan dengan bunglon.
                “Ja-jangan main-main! Ma-mau apa kamu dengan api ungu itu?!”.
                Menghukum kalian. Apa yang sudah kalian perbuat dengan kaki kananku? Rasanya, bagaikan melihat hewan yang hendaknya dikuliti. Bedanya, itu bagian alat gerakku. Normal saja, bukan? Kalau aku sempat menduga kalian akan mempraktekan kanibalisme.
                “Itu sulap, ya? Trik yang menakjubkan, Chris.”.
                Bukan. Rasakan saja kebenarannya.
Sudah cukup dengan gurauan kadaluarsa kalian. Aku mau muntah. Membuatku overdosis saja.
Awalnya, sama sekali TIDAK terlintas niat keji di dalam benakku, lho. Percaya, deh. Dengan perencanaan yang benar-benar matang, kulangkahkan kakiku kemari. Ini keinginanku sepenuhnya. Walaupun naif, aku tidak perduli. Obsesiku selalu mengalahkan logikaku.
Inginnya, meraih kembali kebahagiaan yang pernah kuperoleh bersama mereka.
Dan kali ini, menghentikan nafas mereka.
Apa-apa selalu ingin kulakukan saat itu juga.
Apa iya aku pengidap syaraf obsesional yang belum terbangun? Ah, sedikit berbeda dengan psikopati, sih. Tapi, aku bukan wanita yang selalu merasa kurang dalam hatinya setiap melewatkan sesuatu. Secara, kebanyakan pasien OCD itu wanita. So, anggap saja aku psikopat. Dimana orang lain takut dengannya, aku bangga dengan sebutan itu.
“Sayangnya, aku tidak memakai topi sulap,” candaku datar. Senyum sumringah tampak lebar di wajahku yang masih mulus. Sebentar lagi, aku akan menerima make up gratis yang sangat langka. “Tapi, tidak apa-apa, kok. Kalian itu tamu yang sangat spesial. Makanya, aku sengaja kembali ...”.
Epilognya berlawanan dengan prolognya sendiri. Waw, aku hebat, ‘kan?
“... Untuk menjadikan kalian kelinci percobaan. HAHAHA!”.
Berimbang dengan siulan – melambangkan sifatku yang easy-going, bukan begitu?
Tak kalah santainya, tanganku langsung bermain dengan girang, memanipulasi api ungu yang masih tidak terdefinisi asal muasalnya. Yang jelas, pekerjaanku sekarang benar-benar memuaskanku.
Membakar mereka hidup-hidup.
.
.
.
.
.
                Usai bersenang-senang dengan kelinci-kelinci malang itu, aku langsung pergi tanpa merasa berdosa. Baru luka bakar, sih. Tapi, itu sudah cukup parah. Alih-alih, pihak yang berwajib akan sibuk mengurus mereka mulai dari sekarang. Akankah luka mereka itu berbekas, atau bisa disembunyikan dengan plastik? Huh, asal mereka berani mengeluarkan uang yang lumayan besar jumlahnya hanya untuk kebahagiaan sang anak. Boleh-boleh saja kucuri dengan alasan menikmati hasil jerih payah – sekalian tindak pidana – tapi, menghadapi aparat yang berdarah dingin itu setara definisinya dengan bunuh diri.
                Atau mereka yang mengadakan perhitungan denganku.
Oh, ya. Soal teman-temanku. Mengadukan perbuatanku ke pihak dewasa? Ah, mereka tidak sampai nyali. Mereka memang cengeng, kekanakan, dan larinya pasti ke orang tua terus. Tapi, salah satu dari mereka pasti bisa menduga, dong.
Kalau aku bisa melakukan hal yang lebih kejam lagi.
Lewatkan itu.
Nah. Entahlah manusia terlalu memperhatikan yang ada di sekitar mereka atau bagaimana, semua sorot mata manusia yang kutemui tertuju ke satu arah.
Ke arahku.
Satu kata. Apes.
Nyaris disetarakan dengan pengemis berkaki pincang, beberapa  anonymous menawarkan jasanya padaku. Tapi, aku menolak mereka dengan alasan sempurna – hanya terkilir ketika bermain ice hockey dan jatuh ke dalam sungai. Jaket hitam yang senantiasa kulingkarkan di leher kini berganti profesi – menutupi lukaku yang kalau aku boleh komentar, mengerikan.
Bisa-bisa aku dikira pengemis jalanan betulan.
Perlu kuralat, korban bully.
Uh, akhirnya sampai juga. Setidaknya, aku tidak akan pingsan di jalan gegara anemia. Hebat. Sudah tahu terluka parah, berani-beraninya aku menggunakan kekuatan misterius itu. Lagipula, aku benar-benar dibakar emosi. Tidak perduli dengan faktor apapun. Shit just got real.
Ah, abaikan sifat impulsifku. Sekarang, aku ini Chris yang berjiwa melankolis. Bisa kalian lihat dari manik cerulean yang melekat di wajahku. Warna iris asliku sejak lahir.
Kulirik lantai tiga. Aku tahu balkon kamarku yang mana.
Dua orang itu sudah ada di sana belum, ya?
.
.
.
                “Buka jaketmu!”.
                Sialan. Dia langsung menunjuk kakiku.
                Alih-alih disapa balik. Aku malah langsung didamprat Kak Yashiro. Kak Shermie sempat ingin membalas – tetapi Kak Yashiro memotongnya secepat badai. Kurasa dia sengaja. Daripada melawan senior, kuturuti saja dengan setengah ikhlas. Well, aku mempunyai alasan kuat kenapa aku setengah keberatan dengan permintaan si musuh Matematika satu itu.
“Brengsek,” what the hell. Dia mendelik ke arahku, ekspresinya benar-benar sangar. Tapi, kurasa, maksud tatapan itu bukan ditujukan padaku. “Siapa yang berbuat begini padamu?!”.
Sesuai prediksi. Pemuda bermanik maroon itu langsung naik darah. Makanya aku tidak mau. Habisnya, aku hanya akan membuang waktu untuk menghujat manusia-manusia tidak bertanggung jawab tersebut. Itu namanya mencemooh keburukan orang lain, dan itu samanya dengan memakan daging saudaramu sendiri. Tapi, kalau boleh jujur, aku tidak perduli.
“Teman-temanku,” jawabku dingin – dan sedetik kemudian, mataku refleks membulat lebar.
Kenapa aku masih mengakui mereka sebagai teman? Mulutku bicara apa, sih.
Salah bicara. Sudah biasa memperlakukan mereka demikian selama beberapa tahun, jadilah kebiasaan setiap kali ada yang bertanya soal mereka. Mereka bukan temanku lagi.
“I-ini keterlaluan!” Damprat Kak Shermie kencang. Mata abu-abunya mengilat. Mengamati setiap sudut luka-lukaku yang baru beberapa menit berkontak dengan udara air conditioner. To be honest, rasanya ngilu. Darahnya sudah membeku walaupun masih berbekas. Sekilas cuplikan, bisa kalian lihat daging manusia dengan mata jikalau bertukar pandangan dengannya. Dan tentu saja, itu akan membuatmu nyaris muntah. Seperti ekspresi pucat Kak Shermie saat ini.
“Se-segera kuambilkan kotak P3K!” Ujarnya panik sambil berlari ke dalam kamarnya.
Aku mengangguk.
“Benar-benar tidak tahu aturan, manusia ganas,” geram Kak Yashiro. “Masa’ sampai separah ini melukai orang?!” Tangan kekarnya mengepal kencang. Matanya mendelik ke setiap arah yang dia lihat, mencari-cari target utama untuk menghujamkan tinju knock out. Sayangnya, tidak ada. Manik maroonnya memandangku – pandangan a la belas kasihan. “Chris, jalanmu jadi pincang, ‘kan?”.
“Yah,” aku mengangkat bahu. Memang, aku tidak bisa berjalan dengan sempurna gara-gara luka keparat ini. “Itu hanya karena terasa sakit saja. Kalau sudah sembuh, aku masih bisa jalan, kok. Mungkin.” Sengaja kutambahkan kata yang tidak meyakinkan. Secara, aku memang tidak yakin kalau keadaanku bisa pulih secepat perkembangbiakan cacing planaria.
Manik ceruleanku bertukar pandang dengan manik maroon Kak Yashiro. Kosong. Aku sadar dia tidak percaya padaku.
“Yashirooooooo!” Ah, suara itu benar-benar sempurna untuk memecahkan suasana hening. “Tolong ambilkan air panas! Pakai baskom, ya!”.
“Iya, iya,” respon yang disuruh acuh tak acuh. Menjadi pembokat dadakan, siapa yang mau? Tidak ada. Lumrah-lumrah saja Kak Yashiro menjawabnya dengan nada malas. Gerak malas. Benar-benar seperti siput yang enggan keluar dari cangkangnya.
Eits, sempat-sempatnya dia menghujamkan tatapan tajam ke arahku. Caranya memandang persis dengan cara ayah memandangku ketika dia sedang serius – berkehendak menasehatiku yang seringkali melanggar peraturan rumah.
“Kamu jangan bergerak, lho. Lukamu itu parah.”.
.
.
.
.
.
                “Nah, sudah diperban,” senyum Kak Shermie lega. Akhirnya, ada benda yang dapat menutup lukaku secara efisien. Tidak perlu menggunakan jaketku yang malang lagi. “Eh, haruskah sekarang?” Gadis sanguinis itu menoleh ke arah pemuda yang berjongkok di sebelahnya –  mengamatinya sedari tadi, ketika kekasihnya menjelma menjadi sosok relawan untukku: membungkus lukaku yang cocok menjadi objek penantang adrenalin.
                Lewatkan itu. Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya.
                “Tentu saja,” Kak Yashiro mengangguk. “Yang penting, bukan suaranya yang rusak.”.
                Sekarang aku mengerti.
                Aku berniat untuk berdiri – tetapi belum juga apa-apa, gerakanku langsung ditahan pemuda albino satu itu. Siapa lagi kalau bukan Yashiro Nanakase? Sudah keberapa kali dia menyulutkan api di depanku? Maksudku, yang pertama. Dengan sengaja dia membelaiku, padahal sudah kubilang kalau aku tidak suka dibelai. Hebatnya, alasannya benar-benar masuk akal. Benar-benar membuatku yang lihai dalam komunikasi verbal ini langsung skat mat.
                Dia rasional, dan aku irasional.
                Pasangan yang cocok, bukan begitu?
                “Kak,” semburku jengkel. “Atas dasar apa kakak menahanku, deh?”.
                “Tidak seharusnya kau berjalan, bocah sok dewasa,” paparnya singkat – untuk yang kedua kalinya, dia membuat lidahku kelu. “Kau duduk saja, pasien kecil. Tunggu kami sebentar,” pesannya sambil nyengir lebar. Tidak lupa membelai-belai rambut coklat kayuku. Dalam hati, aku ingin sesekali mencekiknya sebagai respon simbolis kalau aku tidak suka. Tapi, dia membuatku mati kutu.
                Dia pegang kelemahanku.
                Sehebat inikah mahasiswa jurusan Sosiologi? Wah, kacau.
                Kalau aku sudah lulus SMA, akan kupilih jurusan Matematika.
.
.
.
                “... Siapa yang membuat lagu ini?”.
                Tatapan mengintimidasi a la Chris. Julukan yang lumayan keren, bukan? Eits, mataku bukan kerabatnya mata Medusa, lho. Kesaksian orang-orang terdekatku dulu, tatapanku kadangkala penuh dengan makna. Yep, opini mereka memang mendekati kebenaran. Entah itu bertanya, menyelidiki, atau bahkan menghujat orang lain.
                “Aku,” seseorang menjawab pertanyaanku – dan sedetik kemudian, aku langsung melongo bak keledai.
Holy crap! Believe it or not!
Mahasiswa jurusan Sosiologi satu itu. Oke, ini ketiga kalinya aku dibuat facepalm. Err, kali ini dia tidak membawa-bawa obor di depanku, kok. Maksudku, please. Dari kekekarannya saja sudah mendukung. Kalau genre kesukaan pemuda ini adalah rock. Yang membuatku terkejut, semua yang tertulis di secarik kertas dalam genggamanku ini.
                I shall be singing for you through the night. I shall be turning on the broken light.
                Jangan-jangan, lagu ini ditujukan untuk kekasihnya.
                Kurasa tidak.
                “Err, kak,” tanyaku ragu – berpura-pura untuk ragu. “Liriknya memang begini, ya?”.
                “Iya,” jawabnya sambil mengangguk. “Memangnya kenapa?”.
                Aku menggeleng. “Bukan apa-apa, kok. Hanya saja, liriknya agak ...” Aku langsung menelan ludah. Ragu sih, tidak. Merasa awkward, iya. Sebagai seorang vokalis. “... Enggak cocok dinyanyikan anak sepertiku.” Akhirku tangkas.
                “Perasaanmu saja,” cengirnya lebar – menampakkan gigi-giginya yang ternyata mengenakan behel berwarna silver. Benar-benar dekorasi yang pantas dengan rocker. “Penyanyi itu nggak dinilai dari penampilannya saja. Tapi, dari caramu mengerti arti lagu yang akan dibawakan.”.
                Tunggu dulu, artinya saja sudah tidak terlalu meyakinkan, batinku sambil menghela napas panjang. Sepanjang yang kubisa. Tapi, ini bukan mewakilkan kata menyerah ataupun putus asa.
                Aku langsung tersenyum lebar.
                Challenge accepted.
.
.
.
.
.
“To lie, I shall be here
To lie, I shall be here.
.
You’re the only one I love.
That feeling won’t change, oh.
Although we built beautiful memories together.
I must be off right now.
I can’t keep living on as today.
Just to make this big lie.
.
I shall be singing for you through the night.
I shall be turning on the broken light.
Similar to piercing the night sky.
Once I prepare the depth of me in full guilt.
Going to lie.
.
Because you’re not dull at all.
It’s possible you’d see through but we have no choice.
By staying this way, we’re falling down.
Then you say what?
A cruel wall we can’t pass exists for us.
We must be separated.
I’ll make even the dumbest lie for you, I’m gonna lie.
.
It burdens me to separate my kind excuse.
End it with a lie, that’s my pride.
Fooling you who are still unaware,
who knows nothing about liar."
.
.
.
.
.
                Jujur saja, aku tidak terlalu suka lagu romantis.
                Tapi, lagu itu terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku suka liriknya. Menggambarkanku yang mahir memanipulasi orang ini. Haruskah kuhaturkan rasa terima kasih padamu, Yashiro Nanakase? By the way, instrumental lagunya juga lumayan unik, lho. Kak Shermie yang merancangnya. Mereka berdua benar-benar jenius di bidang ini. Membuatku merasa tertinggal jauh.
                Sepertinya, aku benar-benar junior, deh.
                Eits, sebodo. Seperti yang ada di dalam lagunya, that’s my pride. Aku memang seorang yang jaim – alias jaga image. Tapi urusan membanggakan diri, aku juga termasuk di dalamnya. Yep, aku ini narsis. Kepercayaan diriku memang melampaui batas. Tapi, siapa yang perduli tentangnya?
                Karena, yang mereka perdulikan adalah sisi negatifku.
                Lewatkan itu.
                “Hei, kalian ada di sana, ya?”.
                Lagi-lagi, tatapanku mengintimidasi mereka. Berani taruhan. Asyik-asyik latihan bernyanyi, malah dipergoki. Bagaimanapun juga, aku tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian.
                “Maaf, maaf,” gadis sanguinis itu tersenyum sumringah. “Tidak sengaja.”.
                “Bohong,” aku langsung membantahnya. “Bilang saja kalau kalian mendengarnya.”.
                “Ups, sorry,” cengirnya lebar – dan entah mengapa, bulu kudukku langsung berdiri. Bibirnya yang berpoles lipstik merah terang itu benar-benar membuatnya terlihat sedikit ... Seram.
                Well, you know what did I mean, didn’t you?
                “By the way,” aku langsung menunjuk apa yang dijinjing Kak Yashiro. Sebungkus plastik putih berlogo – tapi, aku tidak bisa melihat apa logonya karena plastiknya menghadap ke belakang. “Itu ... Apa, deh?”.
                “Oh,” pemuda albino itu langsung nyengir kuda. “Kalau kamu bertanya-tanya kenapa kami menghilang di pagi hari, ini bisa menjadi bukti simbolis.”.
                Masuk akal. Aku memang mencari kalian. Kemana kalian tadi pagi, hah?
                Tanpa bicara lagi, Kak Yashiro langsung memberikan bungkusan plastik itu padaku. Dengan tatapan menyelidik, aku langsung memperlakukannya seperti bom – dengan brutal mengusir plastik itu agar bisa melihat apa isinya – err, perumpamaanku terlalu hiperbola.
Dan, mata ceruleanku terbelalak.
Bohong.
“Handphone ...?”.
“Habis, kamu enggak punya handphone,” papar Kak Yashiro sambil tersenyum hangat. “Jadi, kami patungan saja untuk membelikanmu. Maaf, modelnya yang biasa-biasa saja. Lain kali, kita beli handphone baru di Osaka, ya?”.
“Bagaimana, Chris?” Kak Shermie langsung menghampiriku – berbekal senyuman ceria a la dirinya yang begitu khas. “Kamu suka, tidak?”.
Ah, dasar orang-orang bodoh.
Pikiranku benar-benar menghujat mereka. Tapi, itu tidak sama dengan perasaanku saat ini. Seperti akar-akar dari pertidaksamaan dua variabel, hasilnya benar-benar membingungkan. Berbagai macam perasaan berkecambuk dalam hatiku.
Ada empat. Senang. Kesal. Sedih ...
... Takut.
Tanpa sadar, air mataku sudah menetes dan bergulir menuruni pipi.
Terserah dengan semua ini. Terserah dengan kelainanku.
“... Terima kasih.”.
Aku memang seorang yang tidak pernah berempati. Tetap saja, orang tidak akan pernah bisa hidup tanpa cinta. Aku kehilangan semua itu, dan aku memperolehnya kembali sekarang. Oh, Tuhan. Apakah aku harus siap kehilangan lagi? Adakah yang abadi di dalam dunia fana ini?
Aku tahu. Aku akan berubah menjadi seseorang yang jahat dan berdarah dingin, bilamana aku berhadapan dengan seorang pengkhianat. Siapapun bisa menjadi pengkhianat, tahukah kalian? Yep, hati seseorang itu bisa berubah-ubah.
Tapi, di antara seluruh temanmu, ada yang akan benar-benar setia padamu.
Tidak tahu siapakah itu.
Prioritas utamaku, aku tidak mau menyakiti siapapun kecuali atas dasar dendam.
.
.
.
.
.
“He’s rational and I’m irrational. Fair enough?”.
.
.
.
To be Continued.
.
.
.


Author's Note:
Oke, soal lagunya. Itu sebenarnya U-KISS - Tick Tack. Karena lagi suka sama lagu itu, jadi aku pasang saja jadi setting. Sesuai dengan pernyataan Chris di sini, lagu itu cocok dengan dirinya yang manipulatif dan hipokrit. Nothing much to say, see you later, guys. Keep reading!