Hai, di sini Mikaeru-Kiddo! Akhirnya, aku punya kesempatan lagi, hehehe. Oke, oke. Aku terlalu sering vacuum. Akan kuusahakan untuk menyelesaikan cerita-ceritaku secepat mungkin. Nothing much to say, check it out.
.
.
.
.
.
File 3.5: After Bloody.
.
.
.
.
.
“I’m trapped in a dream that doesn’t show its shape.
As this world get more and more suspicious.
Again, someone becomes aware of it.”
.
.
.
Kembali ke Tempat
Kejadian Perkara.
Kuulang
perkataanku sekali lagi. Aku tidak mau peduli. Boleh kuperlengkap? Tidak akan
mau peduli. Aku sudah tidak mau tahu. Serba tidak, bukan? Tidak ada reaksi lain
selain penolakan dalam hatiku yang panasnya setara dengan air mendidih ini.
Angkanya boleh besar, 313 Kelvin. Padahal itu dalam satuan standar
internasional. Kalau dinyatakan dengan Celcius, yang pertama kali melintas di
benakmu pasti kekecewaan karena ternyata angkanya masih bisa dijangkau oleh
otak normal.
Tapi, dapatkah
kalian memperkirakan seberapa besar luka hatiku?
Tidak ada
orang yang bisa mempercayai fantasi gilaku. Berani sumpah, imajinasimu
harus bermain untuk menghadapiku yang berkepribadian ganda ini. Gasp,
aku tidak punya alter-ego, lho. Aku bukan pengidap gangguan identitas
disasosiatif. Aku sadar penuh atas perbuatanku. Semuanya.
Maksudku,
kepribadianku bisa disetarakan dengan bunglon.
“Ja-jangan main-main!
Ma-mau apa kamu dengan api ungu itu?!”.
Menghukum
kalian. Apa yang sudah kalian perbuat dengan kaki kananku? Rasanya,
bagaikan melihat hewan yang hendaknya dikuliti. Bedanya, itu bagian alat
gerakku. Normal saja, bukan? Kalau aku sempat menduga kalian akan mempraktekan
kanibalisme.
“Itu sulap, ya?
Trik yang menakjubkan, Chris.”.
Bukan. Rasakan
saja kebenarannya.
Sudah cukup dengan gurauan kadaluarsa kalian.
Aku mau muntah. Membuatku overdosis saja.
Awalnya, sama sekali TIDAK terlintas niat keji di dalam
benakku, lho. Percaya, deh. Dengan perencanaan yang benar-benar matang,
kulangkahkan kakiku kemari. Ini keinginanku sepenuhnya. Walaupun naif, aku
tidak perduli. Obsesiku selalu mengalahkan logikaku.
Inginnya, meraih kembali kebahagiaan yang pernah
kuperoleh bersama mereka.
Dan kali ini, menghentikan nafas mereka.
Apa-apa selalu ingin kulakukan saat itu juga.
Apa iya aku pengidap syaraf obsesional yang belum
terbangun? Ah, sedikit berbeda dengan psikopati, sih. Tapi, aku bukan wanita
yang selalu merasa kurang dalam hatinya setiap melewatkan sesuatu. Secara, kebanyakan
pasien OCD itu wanita. So, anggap saja aku psikopat. Dimana orang lain
takut dengannya, aku bangga dengan sebutan itu.
“Sayangnya, aku tidak memakai topi sulap,” candaku
datar. Senyum sumringah tampak lebar di wajahku yang masih mulus. Sebentar
lagi, aku akan menerima make up gratis yang sangat langka. “Tapi, tidak
apa-apa, kok. Kalian itu tamu yang sangat spesial. Makanya, aku sengaja kembali
...”.
Epilognya berlawanan dengan prolognya sendiri. Waw,
aku hebat, ‘kan?
“... Untuk menjadikan kalian kelinci percobaan.
HAHAHA!”.
Berimbang dengan siulan – melambangkan sifatku yang
easy-going, bukan begitu?
Tak kalah santainya, tanganku langsung bermain
dengan girang, memanipulasi api ungu yang masih tidak terdefinisi asal
muasalnya. Yang jelas, pekerjaanku sekarang benar-benar memuaskanku.
Membakar mereka hidup-hidup.
.
.
.
.
.
Usai
bersenang-senang dengan kelinci-kelinci malang itu, aku langsung pergi tanpa
merasa berdosa. Baru luka bakar, sih. Tapi, itu sudah cukup parah. Alih-alih,
pihak yang berwajib akan sibuk mengurus mereka mulai dari sekarang. Akankah
luka mereka itu berbekas, atau bisa disembunyikan dengan plastik? Huh, asal
mereka berani mengeluarkan uang yang lumayan besar jumlahnya hanya untuk
kebahagiaan sang anak. Boleh-boleh saja kucuri dengan alasan menikmati hasil
jerih payah – sekalian tindak pidana – tapi, menghadapi aparat yang berdarah
dingin itu setara definisinya dengan bunuh diri.
Atau mereka
yang mengadakan perhitungan denganku.
Oh, ya. Soal teman-temanku. Mengadukan perbuatanku
ke pihak dewasa? Ah, mereka tidak sampai nyali. Mereka memang cengeng,
kekanakan, dan larinya pasti ke orang tua terus. Tapi, salah satu dari mereka
pasti bisa menduga, dong.
Kalau aku bisa melakukan hal yang lebih kejam lagi.
Lewatkan itu.
Nah. Entahlah manusia terlalu memperhatikan yang
ada di sekitar mereka atau bagaimana, semua sorot mata manusia yang kutemui
tertuju ke satu arah.
Ke arahku.
Satu kata. Apes.
Nyaris disetarakan dengan pengemis berkaki pincang,
beberapa anonymous menawarkan
jasanya padaku. Tapi, aku menolak mereka dengan alasan sempurna – hanya
terkilir ketika bermain ice hockey dan jatuh ke dalam sungai. Jaket hitam yang senantiasa
kulingkarkan di leher kini berganti profesi – menutupi lukaku yang kalau aku
boleh komentar, mengerikan.
Bisa-bisa aku dikira pengemis jalanan betulan.
Perlu kuralat, korban bully.
Uh, akhirnya sampai juga. Setidaknya, aku tidak
akan pingsan di jalan gegara anemia. Hebat. Sudah tahu terluka parah,
berani-beraninya aku menggunakan kekuatan misterius itu. Lagipula, aku
benar-benar dibakar emosi. Tidak perduli dengan faktor apapun. Shit just got
real.
Ah, abaikan sifat impulsifku. Sekarang, aku ini
Chris yang berjiwa melankolis. Bisa kalian lihat dari manik cerulean yang
melekat di wajahku. Warna iris asliku sejak lahir.
Kulirik lantai tiga. Aku tahu balkon kamarku yang
mana.
Dua orang itu sudah ada di sana belum, ya?
.
.
.
“Buka jaketmu!”.
Sialan. Dia
langsung menunjuk kakiku.
Alih-alih disapa
balik. Aku malah langsung didamprat Kak Yashiro. Kak Shermie sempat ingin
membalas – tetapi Kak Yashiro memotongnya secepat badai. Kurasa dia sengaja. Daripada
melawan senior, kuturuti saja dengan setengah ikhlas. Well, aku
mempunyai alasan kuat kenapa aku setengah keberatan dengan permintaan si musuh
Matematika satu itu.
“Brengsek,” what the hell. Dia mendelik ke
arahku, ekspresinya benar-benar sangar. Tapi, kurasa, maksud tatapan itu bukan
ditujukan padaku. “Siapa yang berbuat begini padamu?!”.
Sesuai prediksi. Pemuda bermanik maroon itu
langsung naik darah. Makanya aku tidak mau. Habisnya, aku hanya akan membuang
waktu untuk menghujat manusia-manusia tidak bertanggung jawab tersebut. Itu namanya
mencemooh keburukan orang lain, dan itu samanya dengan memakan daging saudaramu
sendiri. Tapi, kalau boleh jujur, aku tidak perduli.
“Teman-temanku,” jawabku dingin – dan sedetik
kemudian, mataku refleks membulat lebar.
Kenapa aku masih mengakui mereka sebagai teman?
Mulutku bicara apa, sih.
Salah bicara. Sudah biasa memperlakukan mereka demikian
selama beberapa tahun, jadilah kebiasaan setiap kali ada yang bertanya soal
mereka. Mereka bukan temanku lagi.
“I-ini keterlaluan!” Damprat Kak Shermie kencang. Mata
abu-abunya mengilat. Mengamati setiap sudut luka-lukaku yang baru beberapa
menit berkontak dengan udara air conditioner. To be honest, rasanya
ngilu. Darahnya sudah membeku walaupun masih berbekas. Sekilas cuplikan, bisa
kalian lihat daging manusia dengan mata jikalau bertukar pandangan dengannya.
Dan tentu saja, itu akan membuatmu nyaris muntah. Seperti ekspresi pucat Kak
Shermie saat ini.
“Se-segera kuambilkan kotak P3K!” Ujarnya panik
sambil berlari ke dalam kamarnya.
Aku mengangguk.
“Benar-benar tidak tahu aturan, manusia ganas,”
geram Kak Yashiro. “Masa’ sampai separah ini melukai orang?!” Tangan kekarnya
mengepal kencang. Matanya mendelik ke setiap arah yang dia lihat, mencari-cari
target utama untuk menghujamkan tinju knock out. Sayangnya, tidak ada.
Manik maroonnya memandangku – pandangan a la belas kasihan. “Chris,
jalanmu jadi pincang, ‘kan?”.
“Yah,” aku mengangkat bahu. Memang, aku tidak bisa
berjalan dengan sempurna gara-gara luka keparat ini. “Itu hanya karena terasa
sakit saja. Kalau sudah sembuh, aku masih bisa jalan, kok. Mungkin.” Sengaja
kutambahkan kata yang tidak meyakinkan. Secara, aku memang tidak yakin kalau
keadaanku bisa pulih secepat perkembangbiakan cacing planaria.
Manik ceruleanku bertukar pandang dengan
manik maroon Kak Yashiro. Kosong. Aku sadar dia tidak percaya
padaku.
“Yashirooooooo!” Ah, suara itu benar-benar sempurna
untuk memecahkan suasana hening. “Tolong ambilkan air panas! Pakai baskom, ya!”.
“Iya, iya,” respon yang disuruh acuh tak acuh.
Menjadi pembokat dadakan, siapa yang mau? Tidak ada. Lumrah-lumrah saja Kak
Yashiro menjawabnya dengan nada malas. Gerak malas. Benar-benar seperti siput
yang enggan keluar dari cangkangnya.
Eits, sempat-sempatnya dia menghujamkan tatapan
tajam ke arahku. Caranya memandang persis dengan cara ayah memandangku ketika dia
sedang serius – berkehendak menasehatiku yang seringkali melanggar peraturan
rumah.
“Kamu jangan bergerak, lho. Lukamu itu parah.”.
.
.
.
.
.
“Nah, sudah
diperban,” senyum Kak Shermie lega. Akhirnya, ada benda yang dapat menutup
lukaku secara efisien. Tidak perlu menggunakan jaketku yang malang lagi. “Eh, haruskah
sekarang?” Gadis sanguinis itu menoleh ke arah pemuda yang berjongkok di
sebelahnya – mengamatinya sedari tadi,
ketika kekasihnya menjelma menjadi sosok relawan untukku: membungkus lukaku
yang cocok menjadi objek penantang adrenalin.
Lewatkan itu. Aku
tidak mengerti maksud pertanyaannya.
“Tentu saja,” Kak
Yashiro mengangguk. “Yang penting, bukan suaranya yang rusak.”.
Sekarang aku
mengerti.
Aku berniat untuk
berdiri – tetapi belum juga apa-apa, gerakanku langsung ditahan pemuda albino
satu itu. Siapa lagi kalau bukan Yashiro Nanakase? Sudah keberapa kali dia
menyulutkan api di depanku? Maksudku, yang pertama. Dengan sengaja dia
membelaiku, padahal sudah kubilang kalau aku tidak suka dibelai. Hebatnya, alasannya
benar-benar masuk akal. Benar-benar membuatku yang lihai dalam komunikasi
verbal ini langsung skat mat.
Dia rasional,
dan aku irasional.
Pasangan yang
cocok, bukan begitu?
“Kak,” semburku
jengkel. “Atas dasar apa kakak menahanku, deh?”.
“Tidak seharusnya
kau berjalan, bocah sok dewasa,” paparnya singkat – untuk yang kedua kalinya, dia
membuat lidahku kelu. “Kau duduk saja, pasien kecil. Tunggu kami sebentar,” pesannya
sambil nyengir lebar. Tidak lupa membelai-belai rambut coklat kayuku. Dalam
hati, aku ingin sesekali mencekiknya sebagai respon simbolis kalau aku tidak
suka. Tapi, dia membuatku mati kutu.
Dia pegang
kelemahanku.
Sehebat inikah mahasiswa
jurusan Sosiologi? Wah, kacau.
Kalau aku
sudah lulus SMA, akan kupilih jurusan Matematika.
.
.
.
“... Siapa yang
membuat lagu ini?”.
Tatapan
mengintimidasi a la Chris. Julukan yang lumayan keren, bukan? Eits, mataku
bukan kerabatnya mata Medusa, lho. Kesaksian orang-orang terdekatku dulu,
tatapanku kadangkala penuh dengan makna. Yep, opini mereka memang mendekati
kebenaran. Entah itu bertanya, menyelidiki, atau bahkan menghujat orang lain.
“Aku,” seseorang
menjawab pertanyaanku – dan sedetik kemudian, aku langsung melongo bak keledai.
Holy crap! Believe it or not!
Mahasiswa jurusan Sosiologi satu itu. Oke, ini ketiga
kalinya aku dibuat facepalm. Err, kali ini dia tidak membawa-bawa obor
di depanku, kok. Maksudku, please. Dari kekekarannya saja sudah
mendukung. Kalau genre kesukaan pemuda ini adalah rock. Yang
membuatku terkejut, semua yang tertulis di secarik kertas dalam genggamanku
ini.
I shall be
singing for you through the night. I shall be turning on the broken light.
Jangan-jangan,
lagu ini ditujukan untuk kekasihnya.
Kurasa tidak.
“Err, kak,”
tanyaku ragu – berpura-pura untuk ragu. “Liriknya memang begini, ya?”.
“Iya,” jawabnya
sambil mengangguk. “Memangnya kenapa?”.
Aku menggeleng. “Bukan
apa-apa, kok. Hanya saja, liriknya agak ...” Aku langsung menelan ludah. Ragu
sih, tidak. Merasa awkward, iya. Sebagai seorang vokalis. “... Enggak
cocok dinyanyikan anak sepertiku.” Akhirku tangkas.
“Perasaanmu saja,”
cengirnya lebar – menampakkan gigi-giginya yang ternyata mengenakan behel
berwarna silver. Benar-benar dekorasi yang pantas dengan rocker. “Penyanyi
itu nggak dinilai dari penampilannya saja. Tapi, dari caramu mengerti arti lagu
yang akan dibawakan.”.
Tunggu dulu,
artinya saja sudah tidak terlalu meyakinkan, batinku sambil menghela napas
panjang. Sepanjang yang kubisa. Tapi, ini bukan mewakilkan kata menyerah
ataupun putus asa.
Aku langsung
tersenyum lebar.
Challenge
accepted.
.
.
.
.
.
“To lie, I shall be here
To lie, I shall be here.
.
You’re the only one I love.
That feeling won’t change, oh.
Although we built beautiful memories
together.
I must be off right now.
I can’t keep living on as today.
Just to make this big lie.
.
I shall be singing for you through the
night.
I shall be turning on the broken light.
Similar to piercing the night sky.
Once I prepare the depth of me in full
guilt.
Going to lie.
.
Because you’re not dull at all.
It’s possible you’d see through but we have
no choice.
By staying this way, we’re falling down.
Then you say what?
A cruel wall we can’t pass exists for us.
We must be separated.
I’ll make even the dumbest lie for you,
I’m gonna lie.
.
It burdens me to separate my kind excuse.
End it with a lie, that’s my pride.
Fooling you who are still unaware,
who knows nothing about liar."
.
.
.
.
.
Jujur saja, aku tidak terlalu suka lagu romantis.
Tapi, lagu itu terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku suka liriknya.
Menggambarkanku yang mahir memanipulasi orang ini. Haruskah kuhaturkan rasa
terima kasih padamu, Yashiro Nanakase? By the way, instrumental
lagunya juga lumayan unik, lho. Kak Shermie yang merancangnya. Mereka berdua
benar-benar jenius di bidang ini. Membuatku merasa tertinggal jauh.
Sepertinya, aku benar-benar junior, deh.
Eits, sebodo. Seperti yang ada di dalam lagunya, that’s my pride. Aku
memang seorang yang jaim – alias jaga image. Tapi urusan membanggakan diri, aku
juga termasuk di dalamnya. Yep, aku ini narsis. Kepercayaan diriku memang
melampaui batas. Tapi, siapa yang perduli tentangnya?
Karena, yang mereka perdulikan adalah sisi negatifku.
Lewatkan itu.
“Hei, kalian ada di sana, ya?”.
Lagi-lagi, tatapanku mengintimidasi mereka. Berani taruhan. Asyik-asyik latihan
bernyanyi, malah dipergoki. Bagaimanapun juga, aku tidak terlalu suka menjadi
pusat perhatian.
“Maaf, maaf,” gadis sanguinis itu tersenyum sumringah. “Tidak sengaja.”.
“Bohong,” aku langsung membantahnya. “Bilang saja kalau kalian mendengarnya.”.
“Ups, sorry,” cengirnya lebar – dan entah mengapa, bulu
kudukku langsung berdiri. Bibirnya yang berpoles lipstik merah terang itu
benar-benar membuatnya terlihat sedikit ... Seram.
Well,
you know what did I mean, didn’t you?
“By the way,” aku langsung menunjuk apa yang dijinjing Kak Yashiro.
Sebungkus plastik putih berlogo – tapi, aku tidak bisa melihat apa logonya
karena plastiknya menghadap ke belakang. “Itu ... Apa, deh?”.
“Oh,” pemuda albino itu langsung nyengir kuda. “Kalau kamu bertanya-tanya
kenapa kami menghilang di pagi hari, ini bisa menjadi bukti simbolis.”.
Masuk
akal. Aku memang mencari kalian. Kemana kalian tadi pagi, hah?
Tanpa bicara lagi, Kak Yashiro langsung memberikan bungkusan plastik itu
padaku. Dengan tatapan menyelidik, aku langsung memperlakukannya seperti bom –
dengan brutal mengusir plastik itu agar bisa melihat apa isinya – err,
perumpamaanku terlalu hiperbola.
Dan, mata ceruleanku terbelalak.
Bohong.
“Handphone ...?”.
“Habis, kamu enggak punya handphone,” papar Kak Yashiro
sambil tersenyum hangat. “Jadi, kami patungan saja untuk membelikanmu. Maaf,
modelnya yang biasa-biasa saja. Lain kali, kita beli handphone baru di Osaka,
ya?”.
“Bagaimana, Chris?” Kak Shermie langsung menghampiriku –
berbekal senyuman ceria a la dirinya yang begitu khas. “Kamu suka, tidak?”.
Ah, dasar orang-orang bodoh.
Pikiranku benar-benar menghujat mereka. Tapi, itu tidak
sama dengan perasaanku saat ini. Seperti akar-akar dari pertidaksamaan dua
variabel, hasilnya benar-benar membingungkan. Berbagai macam perasaan
berkecambuk dalam hatiku.
Ada empat. Senang. Kesal. Sedih ...
... Takut.
Tanpa sadar, air mataku sudah menetes dan bergulir menuruni
pipi.
Terserah dengan semua ini. Terserah dengan
kelainanku.
“... Terima kasih.”.
Aku memang seorang yang tidak pernah berempati. Tetap saja,
orang tidak akan pernah bisa hidup tanpa cinta. Aku kehilangan semua itu, dan
aku memperolehnya kembali sekarang. Oh, Tuhan. Apakah aku harus siap kehilangan
lagi? Adakah yang abadi di dalam dunia fana ini?
Aku tahu. Aku akan berubah menjadi seseorang yang jahat dan
berdarah dingin, bilamana aku berhadapan dengan seorang pengkhianat. Siapapun
bisa menjadi pengkhianat, tahukah kalian? Yep, hati seseorang itu bisa berubah-ubah.
Tapi, di antara seluruh temanmu, ada yang akan benar-benar
setia padamu.
Tidak tahu siapakah itu.
Prioritas utamaku, aku tidak mau menyakiti
siapapun kecuali atas dasar dendam.
.
.
.
.
.
“He’s rational and I’m irrational. Fair
enough?”.
.
.
.
To be Continued.
.
.
.
Author's Note:
Oke, soal lagunya. Itu
sebenarnya U-KISS - Tick Tack. Karena lagi suka sama lagu itu, jadi aku pasang
saja jadi setting. Sesuai
dengan pernyataan Chris di sini, lagu itu cocok dengan dirinya yang manipulatif
dan hipokrit. Nothing much to
say, see you later, guys. Keep reading!