Minggu, 29 Desember 2013

Tell Me (File 2: The Double-Edged Sword).

Yosha, di sini Ranran Kurogane! Kembali ke Chris POV. Yep, file yang ini kayaknya rada maksa dikit, deh. Tapi, semoga enggak mengecewakan, ya? Check it out!
.
.
.
.
.
File 2: The Double-Edged Sword.
.
.
.
.
.
                “Oh, ini? Aku mengerti,”  aku langsung menarik kesimpulan dari isi kertas yang disodorkan pemuda albino ini tanpa membacanya terlebih dahulu. “Ini bacanya yi, er, san, se, wu, liu, chi, pa, jiu, se, ‘kan?”.
                Ups, sepertinya jawabanku salah besar. Lebih tepatnya sih, sengaja kusalahkan. Kak Yashiro langsung menatapku garang. “Itu bahasa Mandarin, kamu ini bagaimana?!”.
                “Hei, Yashiro!” Sembur Kak Shermie sembari mencekik leher Kak Yashiro dengan lengannya – ternyata Kak Shermie mahir bela diri juga, padahal cara berjalannya saja lenggak-lenggok – hingga membuat sang korban sesak napas. Sebagai si melankolis yang cenderung berdiam diri, aku hanya bisa memandangi mereka. Tapi, aku tidak selalu diam seribu bahasa juga, sih. Lumrah bagi seseorang untuk memiliki lebih dari satu tempramen, dan yang kumiliki satu lagi adalah sanguinis.
“Hehehe, maaf, aku bercanda,” aku langsung nyengir.
“Bercanda, kamu bilang? Kecil-kecil cabe rawit,” sekali lagi, Kak Yashiro menatapku garang. Yups, sebagai biang keladi atas hukuman langit yang diterimanya, jelas dia sampai hati memasang ekspresi gemas padaku.
                “Tapi, ini mengejutkan, lho!” Kak Shermie langsung menoleh ke arahku, tanpa melepaskan cengkeramannya – yang kuat itu – pada Kak Yashiro. “Ternyata, Chris bisa bahasa Mandarin!”.
                “Itu bukan hal yang perlu dibesar-besarkan, kok,” ucapku datar. Bukan maksudku sombong untuk merespon dengan ekspresi netral. Yah, multilingual sudah lumrah di mancanegara, ‘kan? “Di sekolahku memang ada pelajaran bahasa Mandarin.”.
                “Chris, kamu ini pintar, ya?” Kak Yashiro – yang sudah bebas dari cekikan Kak Shermie. Siapa juga yang tahan lama mencengkeram leher orang sebesar Kak Yashiro? – akhirnya membuka mulut. “Jarang ada orang yang bisa menguasai bahasa Jepang secepat kamu.”.
                Aku refleks melongo. Pascanya, aku jarangkali disebut pintar oleh teman-teman sekelasku. “Eh, enggak juga, sih,” gelengan kepala menjadi respon keduaku. “Daya ingatku buruk,” yep, karena faktor itulah, aku tidak pernah menyandang jabatan sebagai murid cerdas. Aku memang salah satu anak yang mahir Matematika di kelas dulu. Tapi hanya sekedar Matematika. Dan, camkan, itu DULU. Mustahil untukku menginjakkan kaki di sana lagi, gegara insiden yang tidak kumengerti itu.
                “Berarti, daya analisismu hebat,” oh, Kak Yashiro berhasil menyimpulkan salah satu faktaku. “Kamu bisa mengingat hanya dengan mengandalkan itu saja.”.
                “Hmm,” aku langsung tersenyum kecut.
Well, aku bukan tipe orang yang mau mengingat sih, kecuali kalau peristiwa itu benar-benar penting untuk diingat. Bagiku, memori itu umpama pedang bermata dua. Bisa menyenangkan atau menyakitkan kita kalau diputar kembali. Kemungkinan antara dua itu selalu membuatku sakit kepala. Lebih baik sengaja dilupakan kalau memang tidak bermutu. Bodohnya, ujung pedang itu terlanjur menusukku, sampai-sampai aku tidak bisa melupakan peristiwa yang baru-baru ini menimpaku. Take it easy memanglah prinsip hidupku, tapi aku sama sekali tidak bisa menerapkannya dalam hal ini.
“Emm, bicara soal analisis, aku lumayan mahir Matematika, sih.”.
                Yep, Matematika penuh dengan analisa, ‘kan? Nggak heran kalau dampak Matematika bagi setiap manusia itu relatif.
                “Hahahaha, dia itu musuhku waktu masih seumuran kamu!” Kak Yashiro langsung tertawa lepas hingga aku hanya bisa berekspresi polos. Well, dari wajahnya saja sudah bisa direka-reka, sih. Kalau pemuda albino ini nggak pintar-pintar amat. “Saking bencinya dia sama aku, mungkin aku bisa saja tidak tamat sekolah. Untung nilai Sejarahku lumayan.”.
                Nostalgia Kak Yashiro ternyata sedikit lebih parah dari dugaanku. Boleh dibilang, Matematika saja sudah bosan untuk berbaik hati padanya. Tapi, usai menangkap penggalan kata terakhirnya, aku refleks merengut. “You made me laugh. Sejarah itu pelajaran yang paling kubenci.”.
                Bagaimana tidak? Daya ingatku payah. Nyaris nihil nilai Sejarahku yang lolos rata-rata. Nice.
                Kak Shermie – yang sejak tadi hanya bisa menjadi pendengar. Yep, sangat berlawanan untuk pembicara yang baik seperti dia, tapi lumrah saja – melepas tawanya. “Hahaha, kalian berlawanan, ya?” Komentarnya dengan nada manis, setimpal dengan senyum dan gerakannya yang begitu pula.
                “Hehehe, sepertinya,” jawabku sambil nyengir kuda. Yah, suatu perbedaan yang kontras bisa melengkapi satu sama lain, kok. Jadi, normal-normal saja kalau garis takdirku bertabrakan dengan garis takdir Kak Yashiro.
                “Aww, ternyata dia lebih pintar darimu, Yashiro!” Kalimat yang dilontarkan gadis berambut merah marun ini benar-benar relatif. Yep, bermakna pujian untukku, namun bermakna sindiran bagi Kak Yashiro. Dia hanya bisa terkekeh-kekeh saat pemuda beriris merah bata itu mendelik ke arahnya dengan tatapan ‘kau-menyindirku-ya?’. “Oops, I’m just kidding, my boyfriend!”.
                “Pretty handy, huh?” Hanyalah rengutan yang bisa diberikan oleh Kak Yashiro. “Dasar cebol pintar,” dia langsung mengacak-acak rambutku, walaupun itu tidak berlangsung lama. Mendadak gerakan tangannya terhenti setelah dia melihat iris biruku yang mendelik tajam ke arahnya.
                “Waw!” Kak Shermie langsung terbelalak. “What’s wrong, Chris? Kamu terlihat marah.”.
                Aku memang marah.
“O-oi, ke-kenapa?” Tanyanya gagap.
                “Aku paling benci dibelai,” jawabku ketus. “Karena aku tidak suka diperlakukan seperti anak kecil.”.
                Tanpa bicara, Kak Yashiro langsung mengangkat tangannya seperti buronan yang sudah skat mat – karena diancam oleh tembakan para polisi di sekitarnya – sambil menatapku dengan tatapan bersalah. Aku menghela napas panjang. Sepertinya, aku sudah bersikap kasar pada pemuda cool ini.
                “Gara-gara kamu sembarangan, sih!” Sembur satu-satunya perempuan di dalam ruangan ini, bersamaan dengan tangannya yang menyenggol sang terdakwa. “Dia jadi marah, ‘kan?”.
                “Ya, ‘kan aku enggak tahu?” Yang bersalah langsung menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Normal-normal saja kalau Kak Yashiro nggak sadar. Belum sehari berinteraksi denganku, kok. Tapi, aku refleks ketus bukan karena aku mempermasalahkannya. Soalnya, walaupun aku tergolong sebagai orang yang lihai berahasia, aku tidak pandai menyembunyikan perasaanku.
                “Nggak apa-apa, kok,” ucapku pelan. “Seenggaknya aku nggak marah-marah amat.”.
                “Yo, fine, Chris, tapi aku heran padamu,” penggalan kalimat Kak Yashiro membuatku refleks terbelalak. Heran? Kenapa? Memangnya sifatku aneh? Well, sejak aku menyadarinya, aku selalu membawa perasaan dalam segala situasi, kok. Entah apa sebabnya, kalau aku sengaja mengabaikan apa yang kurasakan di dalam hatiku, itu selalu membuatku gundah. “Kenapa kamu tertutup sekali? Kamu masih kecil lho, berapa umurmu?”.
                Memangnya menjadi seorang introvert di usia remaja itu salah? Yah, memang jarangkali bisa menemukan anak seumuranku yang tertutup seperti ini, sih. Sebelum insiden menyedihkan itu juga, aku memang sudah penuh privasi, seceria apapun aku di depan masyarakat. Jadi, jangan seenaknya mengambil kesimpulan – sifatku begini karena trauma? Kalian salah besar.
                “13 tahun,” oh iya, pemuda albino itu menanyakan umurku. Pasti terpaut jauh dengan Kak Yashiro dan Kak Shermie, bandingkan saja postur tubuh kami. “Sifatku memang begini sejak kecil, kok,” ujarku sesuai dengan pertanyaan pemilik iris merah bata itu sebelumnya.
                “Oooh, aku jadi ingat,” mendadak gadis yang tidak memperlihatkan bola matanya – karena tertutup poninya yang panjang – itu membuka suara. “Chris, bukannya kamu mau cerita tentang dirimu kalau kita sudah sampai di Grand Hotel?”.
                Sialan.
                Kukira dia lupa karena Kak Yashiro tiba-tiba mencalonkan diri sebagai guru Bahasa Jepangku. Ah, aku harus menceritakan apa? Faktanya, aku benci, aku benci, aku benci kalau harus mengungkit-ungkit masa laluku. Dulu memang mudah saja untukku memperkenalkan diri secara formal dan detil. Sayangnya, itu DULU. Kini itu tidak lebih dari sekedar umpan ikan yang baiknya dibuang saja.
                “Aku diusir oleh orang tuaku,” ah, jelaskan saja setengah-setengah. “Semua orang di sana menganggapku sebagai reinkarnasi setan, anak setan, apapun itu, karena suatu insiden yang bahkan aku sendiri tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi.”.
                “Insiden apa–uph!” Thanks, Kak Yashiro. Dia membekap mulut pacarnya yang nyaris saja menyelesaikan kalimat tanya yang pasti akan kuperlakukan seperti pertanyaan tak bertanya. Alias, aku tidak akan mau menjawabnya.
                “Shermie,” sahutnya dengan nada bass. “Kalau seseorang mengistilahkan kalimatnya, sama saja dia tidak mau ada yang menanyakan hal tersebut. Jangan menginterogasi Chris, dong,” dia pun mengakhiri kalimat bijaknya seiring tangan besarnya memberi kebebasan lagi kepada mulut gadis ekstrovert yang malang itu.
                Kak Shermie yang sempat merasa sesak itu langsung mengambil napas panjang. “O-oh, gitu, ya?” Dia manggut-manggut tanda mengerti.
Perkataan Kak Yashiro memang benar adanya, kalau aku tidak mau ada yang bertanya lebih jauh lagi tentang diriku. Kenapa? Tidak ada gunanya. Aku sudah tidak mengenal diriku lagi. Mustahil aku bisa mengenalnya lebih jauh, sementara nihil orang yang sukarela menjelaskan tentang api ungu itu. Benar saja, cinta itu ilusi. Setelah melihat sisi negatifku, mereka serentak memandangku hina. Bukannya menyemangatiku, manusia-manusia itu hanya bisa menjerit sembarangan layak tak mengenal etika dan menyebutku anak setan. Keparat. Semudah itukah mereka semua menghapus namaku dengan penghapus papan tulis, sementara untuk melesatkan tangan ke depan papan tulis saja aku masih harus berpikir dua kali?
Tuhan, sampai hatikah mereka ...?
                “Maaf, hanya itu yang bisa kujelaskan,” ucapku bergetar – oh, sial. Kenapa bibirku bergetar seperti ini? Kenapa sekujur tubuhku lemas lagi? Kenapa dadaku merasa sangat sakit? “Karena aku ingin cepat-cepat lupa.”.
                “Me-melupakan apa?” Tanya Kak Shermie terbata-bata.
Kak Shermie, tolong jangan menanyakan apapun. Aku sudah tidak bisa meresponmu dengan jawaban yang benar.
Aku ingin mengatakan alasanku menerima tawaran mereka sebagai vokalis band. Aku ingin merobek lembar demi lembar kehidupan lamaku secara terhormat. Ya, sebagai Chris yang baru. Aku ingin melenyapkan wujud mereka dari memoriku, serta mencari sosok keluarga yang takkan pernah mengkhianatiku – dan kepercayaanku jatuh kepada mereka berdua ini.
Ah, aku terlalu naif untuk menganggap mereka sebagai keluarga baruku. Sudahlah, Chris. Sekalian saja malunya.
“Keluarga yang sampai hati mencampakkanku itu!” Jawabku kencang sampai Kak Shermie terperanjat kaget – tidak lupa Kak Yashiro yang refleks membulatkan kedua pupilnya. “Karena kalian semua sudah kuanggap sebagai keluarga baruku! Kumohon, buat aku lupa ...! Huwaaaaa ...!!!”.
Akhirnya tangisanku meledak, sekeras suara petir menyambar dunia, sederas hujan badai membasahi bumi.
.
.
.
                “Permisi.”.
Aku terperanjat kaget seusai ragaku menerima rangsangan dari luar – berupa belaian dan dekapan hangat. Tanpa memastikannya lagi dengan mata kepalaku sendiri, aku sudah mengetahui kalau orang yang memelukku adalah Kak Yashiro.
“Jangan pernah bicara begitu lagi,” oh, Kak Yashiro hendak menceramahiku. “Mustahil ada manusia yang bisa melupakan keluarganya, sekejam apapun mereka. Ingat satu hal, karena adanya mereka, kamu bisa ada di sini, Chris.”.
Aku hanya bisa sesenggukkan. Sekonyol apapun dia saat pertemuan pertama kami, aku bisa menyimpulkan kalau dia adalah tipe cowok cool yang bijaksana.
It’s okay, Chris,” ah, lagi-lagi ada yang mendekapku dengan erat. Si gadis sanguinis, Kak Shermie. “Kalau ada yang membuatmu gundah, ceritakan saja semuanya. Kami pasti akan dengan setia mendengarkanmu. Kita akan selalu bersama, ‘kan?”.
Selalu bersama. Oh, Tuhan. Kuharap itu bukan hanya sekedar kata-kata.
“Jangan paksakan dirimu untuk bicara,” baru saja aku ingin melafalkan kata-kata yang ada di dalam benakku, Kak Yashiro langsung melarangku untuk mengeluarkan suara. “Rawatlah paru-paru dan pita suaramu dengan baik. Jadilah profesional sebagai vokalis band kami, Chris.”.
Make it clear, Kak Yashiro menyuruhku untuk tenang – memberi paru-paruku waktu untuk bekerja dengan cara yang semestinya – alhasil, aku hanya bisa mengunci mulutku di dalam dekapan kedua orang ini.
.
.
.
                “Ngomong-ngomong,” beberapa menit berselang, aku telah bersabar untuk melancarkan kembali jeda bicaraku – kali ini, pemuda albino itu tidak melarangku untuk bersuara – dan akhirnya aku memperoleh kembali suara normalku. “Kenapa ‘permisi’?”.
                Ya. Sebelum membelai-belai rambutku – yang mana itu adalah perilaku seseorang padaku yang paling tidak kusukai – Kak Yashiro sempat mengatakannya. To be very honest, aku tidak paham maksudnya.
                Pemuda beriris merah bata itu langsung nyengir kuda. “Kamu nggak suka dibelai-belai, ‘kan? Kalau aku bilang ‘permisi’, setidaknya aku sudah meminta izin terlebih dahulu padamu. Jadi, kamu nggak punya kewajiban untuk marah.”.
                Dia mengakhiri jawabannya dengan tangkas, meninggalkanku yang terperangah berkatnya.
                Seriously, you made me laugh, chump. And laugh, and laugh, and laugh.
                “Ahahahahaha!” Sesuai yang ada dalam pikiranku, aku langsung melepas tawa dengan keras, tidak terlintas sama sekali dalam benakku untuk menutupi mulut dengan telapak tanganku. “As you wish! Hahahahaha!”.
                “Nah, akhirnya Chris senyum lagi!” Seru Kak Shermie girang. “Kalau begini ‘kan, kamu lebih manis! Duuh, aku jadi gemas ...!” Tangan lincahnya langsung merogoh badanku ke dekapannya yang sangat sangat sangat erat.
                “Astaga!” Mendadak aku teringat Kak Yashiro yang waktu itu lehernya sempat dicengkeram Kak Shermie – dengan tangannya – gegara dia tidak bisa bicara apa-apa untuk merekrutku. Yah, aku bisa merasakan penderitaan Kak Yashiro dengan jelas. Pasalnya, tenaga Kak Shermie benar-benar HEBAT. Aku yakin dia sempat mempelajari ilmu bela diri sewaktu sekolah.
                “Sudah, hei, hei, Shermie,” Kak Yashiro menepuk kedua tangannya – entah dia cemburu atau menginginkan pembicaraan ini kembali ke topik sebenarnya – menyuruh kekasihnya untuk melepas pelukannya – jujur saja, aku ingin berterima kasih – dariku. “Ayo, kita belajar lagi, Chris.”.
                “Hehehe,” aku langsung beranjak berdiri – setelah Kak Shermie melepas pelukan mautnya dariku, tentunya – dan melempar senyuman ceria kepada mereka berdua. Dua orang yang sudah kuanggap sebagai kakakku. Berhubung aku adalah figur kakak dalam keluargaku yang sebenarnya, keinginanku untuk mempunyai kakak sudah dikabulkan oleh Tuhan – walaupun sedikit meleset dari dugaanku – tapi, ini tidak begitu buruk. Hidup itu memang berbanding balik, dan aku harus siap jika dia akan memutarbalikkan kehidupanku sekali lagi. Asalkan pusaran takdir tidak memisahkan ikatan kami bertiga.
                “Hontou ni arigatou gozaimasu, Yashiro-niisan, Shermie-neesan!”.
                Sesuai dugaanku, pihak yang dituju terperangah kaget hingga mereka diam seribu bahasa.
“... ‘neesan’? Aww!” Kak Shermie memegang kedua pipinya sambil tersenyum manis. “Chris, kamu benar-benar maniiiissss!”.
                Oh tidak, jangan lagi. Pelukan maut itu! “Aaaaaa!” Jeritku otomatis setelah ragaku menerima rangsangan berupa dekapan yang sangat sangat sangat erat dari gadis bertenaga sejuta kuda seperti Kak Shermie.
                “Kamu bikin kaget saja,” Kak Yashiro langsung mengalihkan pandangannya dariku. Hahaha, alih-alih tersipu malu. “Kalau kamu mau panggil aku dengan embel-embel ‘niisan’, silahkan saja.”.
.
.
.
                “Tidur saja di kamarku.”.
                Aku langsung mengernyitkan dahi. Hello, aku bawa-bawa selimut, lho. Rencananya sih, aku mau tidur di tempat yang saat ini sedang dibajak olehnya. “Kakak benar nggak apa-apa?”.
                “Fine,” pemuda itu langsung menjulurkan badan kekarnya di atas sofa. “Aku lebih suka tidur di sofa.”.
                “Ba-baiklah,” aku menuruti perintahnya dengan was-was. Pasalnya, aku merasa kurang etis sebagai junior untuk memperoleh tempat yang lebih baik dibanding seniorku sendiri. Tapi, nampak jelas kalau Kak Yashiro memang menikmatinya. Selagi aku menatapnya dengan tatapan khawatir, dia justrtu asyik bermain dengan remote TV, mencari-cari channel yang bagus untuk ditonton. Yah, apa mau dikata. “Selamat tidur, Kak Yashiro.”.
                “Yo, Chris,” jawabnya santai. “Have a nice dream.”.
                Langkahku menuju kamar terhenti sebentar. Usai Kak Shermie selesai membuatkan dua mi ramen cup untuknya dan Kak Yashiro – aku tidak dibuatkan karena aku mau tidur – aku tiba-tiba teringat pada ucapan Kak Shermie ketika aku menampakkan sisi lemahku di hadapannya.
                Itu bukan hanya sekedar kata-kata, ‘kan?
“Kita benar-benar akan selalu bersama, ‘kan?”.
Dari pintu toilet yang terbuat dari kaca, aku bisa melihat mereka berdua menolehkan wajah tepat ke arahku dengan ekspresi terperangah. Tapi, aku tidak memutarbalikkan posisiku. Aku tetap membelakangi mereka.
“Kalian tidak akan mengkhianatiku, ‘kan?” Aku langsung meringis.
                “Ya! Kita akan selalu bersama!” Kak Shermie tersenyum ceria – mencerahkan suasana yang sempat hening sebentar sebelum siapapun di antara kami membuka mulut – sambil menjentikkan jarinya. “Kita akan membuat band yang paling hebat dan mengukir nama di dunia!”.
                “Rileks, Chris,” Kak Yashiro memandangku – aku melihatnya dari kaca, tentunya – dengan tatapan bijak. “Asal kamu tahu, aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri. Jadi, kalau kamu mau menganggap kami sebagai keluarga, itu sudah wajib fardhu.”.
                Sepertinya aku bisa mempercayai mereka.
Aku menghela napas lega. “Makasih, ya,” ucapku mengakhiri pembicaraan, berbekal pula senyumanku yang dapat mewakilkan perasaanku untuk saat ini.
Aku takut kehilangan maupun dihilangkan lagi.
.
.
.
.
.

To be continued ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar