Rabu, 25 Desember 2013

Tell Me (Prologue: Ice Place).

Ini salah satu Fanfic saya. Berpusat pada Chris karena saya memang lagi tergila-gila sama dia. Well, semestinya ini dishare ke Fanfiction.net, tapi karma itu memang ada, ya? Saya nggak bisa buka akun Fanfiction.net saya. Kenapa saya bilang karma? Hmm, Rahasia Ilahi. Minta kritik dan sarannya, ya. Btw, ini Chris POV. Kalau mau baca Fanfic saya, silahkan kunjungi: http://www.fanfiction.net/~MikaeruKiddo.
.
.
.
Manga/Game: The King of Fighters.
Credits: SNK Playmore.
Rate: K/T.
Pairing: Yashiro x Shermie, tapi nggak jadi pusat cerita, soalnya ini berpusat ke Chris.
Summary:
Apakah kamu percaya dengan keadilan? | “Dasar anak setan!”. | “Suaramu bagus juga, ya?”. | “Siapa kamu ...?!”. | Hei, matahari. Apa kau akan menyambutku lagi besok? | Andai Tuhan memberiku kesempatan kedua, aku ingin hidup sebagai anak biasa.
.
.
.
Tell Me
.
.
.
Prologue: Ice Place.
.
.
.
“Ah, I know that there’s nothing, but I just can’t help it.
That resigned smiling face, so bad.
Whenever, whenever, it’s always chasing me.
My past self is here. Tell me.”.
.
.
.
Apakah kamu percaya dengan keadilan?
Jujur saja, aku tidak percaya. Itu hanyalah sesuatu yang tidak terlihat. Hal yang tidak dapat kumengerti dan tidak akan pernah kudapatkan. Mungkin, pepatah yang mengatakan “hidup itu tidak adil” itu benar adanya. Kenapa mungkin? Aku sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya dimaksud dengan keadilan itu, kok. Bagaimana aku bisa paham hal-hal abstrak seperti itu, sementara tidak ada yang bisa kujadikan panutan dalam hidup?
Masih ada, ‘kan? Orang-orang altruistik yang mengorbankan segalanya untuk orang lain. Dan waktu mereka diinterogasi, mereka menjawab “kami hanya menjunjung tinggi keadilan”. Sungguh, di mataku, itu konyol. Bagaimana bisa mereka menolong orang lain yang bahkan mereka tidak tahu tanpa alasan spesifik? Andaikata manusia bisa membaca pikiran manusia lain, mustahil ada sebutan altruistik dalam dunia ini. Yah, Tuhan memang cerdas.
Manusia-manusia bejat itu bilang kalau aku akan selalu berada di jalan yang salah. Sejak aku lahir, aku sudah ditakdirkan untuk selalu hidup di dalam kegelapan. Lantas, untuk apa aku berada di dunia ini? Apakah Tuhan hanya ingin menyiksaku?
Mungkin, aku bukannya tidak mengerti keadilan. Aku tidak akan pernah memperolehnya.

***

                Setidaknya, aku pernah hidup sebagai anak normal. Sebagai anak sulung, aku mempunyai kewajiban tak tertulis untuk menjaga adik perempuanku. Semua orang yang mengenalku pasti akan menyebutku calon musisi. Mereka bilang kalau aku mempunyai talenta dalam dunia musik. Yah, itu hanya sekedar peristiwa biasa, dimana aku mempraktekkan kakak sepupuku yang mahir bermain drum. Dan kata mereka, aku sudah teratur dalam mengetuk-ngetuknya secara otodidak. Aku tidak tahu maksud mereka – yang kulakukan hanya sekedar untuk menghibur diri sendiri – tapi memang sih, jarangkali ada orang yang bisa bermain drum secara instan. Ibuku pernah mempraktekan cara bermain kakak sepupuku, dan itu tidak kalah lucu dengan kartun Mickey Mouse atau Tom and Jerry.
                Aku ingat pagi itu. Pagi hari yang cerah, sebelum semuanya hancur berantakan dan hidupku diselimuti kabut kegelapan yang amat kelam. Membuatku otomatis memandang dunia ini dari segi negatifnya saja, karena sudah terlalu muak pada kepalsuan.
                Seperti biasanya, setelah aku bangun dari tidurku yang nyenyak, aku langsung beranjak dari kasurku tercinta menuju kamar mandi. Yep, ada saja insan-insan yang malas memasuki ruangan itu kala liburan menyapa, karena tidak ada manusia yang rela menyiksa diri mereka sendiri – menyiram raga dengan air dingin saat suhu dunia masih di bawah 30 derajat itu sama saja seperti menyelam ke dalam air kutub utara – walaupun aku bukan termasuk ke dalam kategori itu.
                “Chris,” panggil ibuku dari balik pintu. “Waktunya sarapan.”.
                “Ya,” jawabku santai. Itu sudah menjadi sifatku sejakku menyadarinya, membawa segalanya simpel dan mudah.
                Hari pertamaku di liburan musim dingin, pergi bermain ice hockey bersama teman-temanku. Aku langsung menyantap sarapanku – roti sandwich buatan ibu dan segelas susu hangat – dengan lahap – atau mungkin tergesa-gesa – menyiapkan energi maksimum untuk berolahraga setelahnya.
                “Ayo, makannya jangan buru-buru!” Tegur ibuku. “Nanti kamu tersedak saat lari.”.
                “Nggak apa-apa, kok,” jawabku enteng.
                Ibuku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kebiasaan anaknya yang sudah permanen.
                Setelah sarapan, aku langsung melesat pergi ke skating rink yang menjadi tempat perjanjian. Aku harus mengenakan sepatu roda supaya gerak kakiku bisa lebih cepat dan tidak terlalu lelah. Yap, aku sudah terlatih menggunakan sepatu roda sejak usiaku 10 tahun. Bahkan, aku seringkali beraksi akrobatik dengan sepatu rodaku di depan umum, meniru-niru aksi pemain sirkus yang lihai. Mereka yang melihatku menyebutku bocah multitalent – karena mereka juga tahu aku mahir bermain drum –  tapi, semuanya kulakukan atas dasar kesenangan. Ragaku memang fleksibel sejak kecil kok, haha.
                Sesampainya di skating rink, aku langsung disambut kawan-kawanku.
                “Hei, Chris!” Oh, tidak. Jujur saja, aku paling benci kalau ada yang menyentuh kepalaku. Aku langsung mengusir tangan salah satu kawanku dari sana, hingga dia menyeringai karena dia sudah tahu aku tidak suka diperlakukan seperti anak kecil. “Hahahaha, sorry, friend! Siap untuk menang?”.
                Aku sempat tersenyum kecut sembari mengambil stik hoki dari dalam tasku. “Fine, fine. Aku selalu siap, kawan,” jawabku sambil tersenyum mantap.

***

                Apes memang, karena kali ini kelompok kami harus melawan kakak kelas yang terkenal suka bermain curang. Boleh saja diremehkan karena kami masih berumur 13 tahun, tapi kami masih lebih baik ketimbang mereka karena kami belum pernah sekalipun mengadakan drama di lapangan es ini. Ya, drama itu penuh dengan kebohongan. Selalu saja berakhir bahagia, padahal belum tentu hidup setiap insan dapat berjalan semudah itu.
Ini realita, bukan drama.
                Itu yang ingin kukatakan setelah melihat dengan mata kepalaku, cara bermain kakak kelas kami yang pantas dikategorikan sebagai setan itu. Bayangkan, mereka sampai berani mendorong lawan secara kasar hingga mereka jatuh tak terhormat. Benar-benar, permainan ini nggak bisa diteruskan. Mumpung kami bermain tanpa wasit, ini ‘kan bukan kompetisi.
“Kurang ajar!!!” Aku langsung melempar stik hokiku ke bawah lantai es hingga menghasilkan bunyi yang cukup keras – sempurna untuk menggertak manusia-manusia keparat seperti mereka – yang sukses membuat setan-setan itu diam tak berkutik. Sebagai leader, aku tak sudi kalau kawan-kawanku diperlakukan kasar seperti tadi.
                “Kalian pikir kami nggak sadar, ya? Haram bagi kalian untuk bermain curang di lapangan ini, dasar munafik!” Sergahku. Ya, aku tahu itu benar-benar kasar. Emosiku benar-benar berada dalam puncaknya sekarang.
                “Apa kau bilang?!” Oke, leader dari kelompok lawan langsung mengambil langkah lebar dan berlari ke arahku. Sesampainya di depanku, dia menarik kerah bajuku, dan tanpa menghitung detik, rudal mendarat tepat pada sasaran.
                BUAAAAK!
                BRAK!
                “Tarik ucapanmu itu, anjing kecil saja berani menggonggong!”.
                Sial. Aku dipukul mentah-mentah. Aku langsung jatuh terjerembab ke permukaan es.
                “Chris!” Teman-teman langsung mengerumuniku. Mereka benar-benar setia – setidaknya untuk saat ini – hingga satu-persatu dari mereka menatapku dengan tatapan khawatir.
                “Drama, drama,” leader sok itu langsung mencibir.
                Cih, dasar hipokrit.
                Tanpa pikir panjang, aku langsung beranjak berdiri dan berjalan ke arahnya. Niatku sih, ingin membalas pukulannya. Tidak kusangka, itu akan berujung malapetaka bagi wajahnya yang mulus.
                BUAAAAK!
                Menyusul pula suara hembusan yang khas setiap benda itu diciptakan.
                BWOOOOSH!
                “AAAAAAAAAA ...!”.
                Dan berakhir dengan jeritan sang korban.
                Meninggalkanku yang hanya bisa terbelalak selaku tersangka yang tidak mengerti apa-apa.
                Api ungu ...?!

***

Sejak insiden yang tidak dikehendaki itu, semua orang memandangku dengan tatapan tidak bersahabat. Kabar burung sampai di telingaku bahwa aku adalah setan yang terkutuk. Sungguh, aku tidak mengerti apa-apa. Aku tidak percaya takhayul. Hidupku yang realitas ini sungguh jauh dengan hal-hal mistis seperti itu. Namun, berkat terhasut pembicaraan para tetangga yang seharusnya tidak perlu dipercaya, orang tuaku langsung mengambil keputusan yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
“Keluar kamu dari rumah ini!”.
Sampai hati mereka mengusirku di tengah badai salju seperti saat ini?
“Mulai sekarang, kamu bukan anak kami lagi! Dasar anak setan!”.
Melihat pintu rumah yang menutup dengan kasar itu membuatku sadar seketika. Aku sudah dicampakkan oleh orang tuaku sendiri. Tak ada pilihan lain, aku langsung menuruti apa yang mereka inginkan, sebelum mereka sadar aku sempat terdiam hening dan mengusirku dengan cara yang lebih mengenaskan lagi.
Dan kini, aku baru mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud dengan kebencian.

***

                Dasar munafik. Setelah menemukan sisi negatifku, bukannya menyemangati, mereka malah membuangku begitu saja, tanpa mengingat-ingat kembali apa yang sudah kulakukan untuk mereka. Apakah kenangan bersamaku itu sudah tidak berarti lagi?
                Hanya itulah yang terlintas dalam benakku setelah melihat sesuatu di tempat pembuangan sampah. Aku benar-benar tidak percaya dan tidak mau percaya. Ini adalah kenyataan pahit. Hatiku hancur setelah tahu bahwa teman-temanku tega membakar foto-foto mereka bersamaku. Mereka pasti takut fotoku membawa malapetaka. Semua orang sudah mencapku sebagai anak setan.
                Di tengah malam yang kelam berkat badai salju, mataku yang tajam masih bisa menangkap sesuatu di balik lemari bekas – lemari itu juga cocok berpindah pekerjaan menjadi tempat tidurku untuk sementara – yaitu sebuah cermin yang sudah retak sana-sini. Salah satu retakannya berbentuk seperti sarang laba-laba, sementara banyak sekali bagian cermin tersebut yang sudah terlepas dari induknya.
                Entah apa yang ada dalam benakku – pikiranku seperti kosong – aku berjalan lunglai menuju kaca itu. Melihat bayangan diriku yang tentunya tidak sempurna, karena cermin itu sendiri sudah tidak sempurna lagi. Layaknya dia mencerminkan hatiku yang benar-benar rusak dan rapuh. Tanpa niat, tanpa tujuan, tanpa pendirian yang pasti.
                “Tuhan, jawab pertanyaanku,” ucapku lirih sambil menyentuh benda dingin tersebut dengan telapak tanganku. “Apakah keadilan itu benar-benar ada?”.
                Hanya bulir-bulir salju dan sang bayu ganas yang dengan sukarela melihatku menitikkan air mata saat itu. Membuatku selalu menikmati salju setiap kali aku melihatnya. Menikmati angin setiap kali dia menyambutku. Di saat itu juga aku mendapatkan satu kesimpulan yang menyakitkan.
                Aku bukanlah manusia biasa.
.
.
.
.
.

To be continued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar