Ini salah satu Fanfic saya. Berpusat pada Chris karena saya memang lagi tergila-gila sama dia. Well, semestinya ini dishare ke Fanfiction.net, tapi karma itu memang ada, ya? Saya nggak bisa buka akun Fanfiction.net saya. Kenapa saya bilang karma? Hmm, Rahasia Ilahi. Minta kritik dan sarannya, ya. Btw, ini Chris POV. Kalau mau baca Fanfic saya, silahkan kunjungi: http://www.fanfiction.net/~MikaeruKiddo.
.
.
.
Manga/Game: The
King of Fighters.
Credits: SNK
Playmore.
Rate: K/T.
Pairing: Yashiro
x Shermie, tapi nggak jadi pusat cerita, soalnya ini berpusat ke Chris.
Summary:
Apakah kamu percaya dengan keadilan? | “Dasar anak setan!”.
| “Suaramu bagus juga, ya?”. | “Siapa kamu ...?!”. | Hei, matahari. Apa kau
akan menyambutku lagi besok? | Andai Tuhan memberiku kesempatan kedua, aku
ingin hidup sebagai anak biasa.
.
.
.
Tell Me
.
.
.
Prologue: Ice Place.
.
.
.
“Ah, I know that
there’s nothing, but I just can’t help it.
That resigned smiling
face, so bad.
Whenever, whenever,
it’s always chasing me.
My past self is here.
Tell me.”.
.
.
.
Apakah kamu percaya dengan keadilan?
Jujur saja, aku tidak percaya. Itu hanyalah sesuatu
yang tidak terlihat. Hal yang tidak dapat kumengerti dan tidak akan pernah
kudapatkan. Mungkin, pepatah yang mengatakan “hidup itu tidak adil” itu benar adanya. Kenapa mungkin? Aku
sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya dimaksud dengan keadilan itu, kok.
Bagaimana aku bisa paham hal-hal abstrak seperti itu, sementara tidak ada yang
bisa kujadikan panutan dalam hidup?
Masih ada, ‘kan? Orang-orang altruistik yang
mengorbankan segalanya untuk orang lain. Dan waktu mereka diinterogasi, mereka
menjawab “kami hanya menjunjung tinggi keadilan”. Sungguh, di mataku, itu
konyol. Bagaimana bisa mereka menolong orang lain yang bahkan mereka tidak tahu
tanpa alasan spesifik? Andaikata manusia bisa membaca pikiran manusia lain,
mustahil ada sebutan altruistik dalam dunia ini. Yah, Tuhan memang cerdas.
Manusia-manusia bejat itu bilang kalau aku akan
selalu berada di jalan yang salah. Sejak aku lahir, aku sudah ditakdirkan untuk
selalu hidup di dalam kegelapan. Lantas, untuk apa aku berada di dunia ini?
Apakah Tuhan hanya ingin menyiksaku?
Mungkin, aku bukannya tidak mengerti keadilan. Aku
tidak akan pernah memperolehnya.
***
Setidaknya, aku
pernah hidup sebagai anak normal. Sebagai anak sulung, aku mempunyai kewajiban
tak tertulis untuk menjaga adik perempuanku. Semua orang yang mengenalku pasti
akan menyebutku calon musisi. Mereka bilang kalau aku mempunyai talenta dalam
dunia musik. Yah, itu hanya sekedar peristiwa biasa, dimana aku mempraktekkan
kakak sepupuku yang mahir bermain drum. Dan kata mereka, aku sudah teratur
dalam mengetuk-ngetuknya secara otodidak. Aku tidak tahu maksud mereka – yang
kulakukan hanya sekedar untuk menghibur diri sendiri – tapi memang sih, jarangkali
ada orang yang bisa bermain drum secara instan. Ibuku pernah mempraktekan cara
bermain kakak sepupuku, dan itu tidak kalah lucu dengan kartun Mickey Mouse
atau Tom and Jerry.
Aku ingat pagi itu.
Pagi hari yang cerah, sebelum semuanya hancur berantakan dan hidupku diselimuti
kabut kegelapan yang amat kelam. Membuatku otomatis memandang dunia ini dari
segi negatifnya saja, karena sudah terlalu muak pada kepalsuan.
Seperti biasanya,
setelah aku bangun dari tidurku yang nyenyak, aku langsung beranjak dari
kasurku tercinta menuju kamar mandi. Yep, ada saja insan-insan yang malas
memasuki ruangan itu kala liburan menyapa, karena tidak ada manusia yang rela
menyiksa diri mereka sendiri – menyiram raga dengan air dingin saat suhu dunia
masih di bawah 30 derajat itu sama saja seperti menyelam ke dalam air kutub
utara – walaupun aku bukan termasuk ke dalam kategori itu.
“Chris,” panggil
ibuku dari balik pintu. “Waktunya sarapan.”.
“Ya,” jawabku
santai. Itu sudah menjadi sifatku sejakku menyadarinya, membawa segalanya
simpel dan mudah.
Hari pertamaku di
liburan musim dingin, pergi bermain ice
hockey bersama teman-temanku. Aku langsung menyantap sarapanku – roti
sandwich buatan ibu dan segelas susu hangat – dengan lahap – atau mungkin
tergesa-gesa – menyiapkan energi maksimum untuk berolahraga setelahnya.
“Ayo, makannya
jangan buru-buru!” Tegur ibuku. “Nanti kamu tersedak saat lari.”.
“Nggak apa-apa,
kok,” jawabku enteng.
Ibuku hanya bisa
menggelengkan kepala melihat kebiasaan anaknya yang sudah permanen.
Setelah sarapan,
aku langsung melesat pergi ke skating
rink yang menjadi tempat perjanjian. Aku harus mengenakan sepatu roda
supaya gerak kakiku bisa lebih cepat dan tidak terlalu lelah. Yap, aku sudah
terlatih menggunakan sepatu roda sejak usiaku 10 tahun. Bahkan, aku seringkali
beraksi akrobatik dengan sepatu rodaku di depan umum, meniru-niru aksi pemain
sirkus yang lihai. Mereka yang melihatku menyebutku bocah multitalent – karena
mereka juga tahu aku mahir bermain drum –
tapi, semuanya kulakukan atas dasar kesenangan. Ragaku memang fleksibel
sejak kecil kok, haha.
Sesampainya di skating rink, aku langsung disambut
kawan-kawanku.
“Hei, Chris!” Oh,
tidak. Jujur saja, aku paling benci kalau ada yang menyentuh kepalaku. Aku
langsung mengusir tangan salah satu kawanku dari sana, hingga dia menyeringai
karena dia sudah tahu aku tidak suka diperlakukan seperti anak kecil.
“Hahahaha, sorry, friend! Siap untuk
menang?”.
Aku sempat
tersenyum kecut sembari mengambil stik hoki dari dalam tasku. “Fine, fine. Aku selalu siap, kawan,”
jawabku sambil tersenyum mantap.
***
Apes memang,
karena kali ini kelompok kami harus melawan kakak kelas yang terkenal suka
bermain curang. Boleh saja diremehkan karena kami masih berumur 13 tahun, tapi
kami masih lebih baik ketimbang mereka karena kami belum pernah sekalipun
mengadakan drama di lapangan es ini. Ya, drama itu penuh dengan kebohongan.
Selalu saja berakhir bahagia, padahal belum tentu hidup setiap insan dapat
berjalan semudah itu.
Ini realita,
bukan drama.
Itu yang ingin
kukatakan setelah melihat dengan mata kepalaku, cara bermain kakak kelas kami
yang pantas dikategorikan sebagai setan itu. Bayangkan, mereka sampai berani
mendorong lawan secara kasar hingga mereka jatuh tak terhormat. Benar-benar,
permainan ini nggak bisa diteruskan. Mumpung kami bermain tanpa wasit, ini ‘kan
bukan kompetisi.
“Kurang ajar!!!” Aku langsung melempar stik hokiku
ke bawah lantai es hingga menghasilkan bunyi yang cukup keras – sempurna untuk menggertak
manusia-manusia keparat seperti mereka – yang sukses membuat setan-setan itu
diam tak berkutik. Sebagai leader, aku
tak sudi kalau kawan-kawanku diperlakukan kasar seperti tadi.
“Kalian pikir
kami nggak sadar, ya? Haram bagi kalian untuk bermain curang di lapangan ini,
dasar munafik!” Sergahku. Ya, aku tahu itu benar-benar kasar. Emosiku
benar-benar berada dalam puncaknya sekarang.
“Apa kau bilang?!”
Oke, leader dari kelompok lawan
langsung mengambil langkah lebar dan berlari ke arahku. Sesampainya di depanku,
dia menarik kerah bajuku, dan tanpa menghitung detik, rudal mendarat tepat pada
sasaran.
BUAAAAK!
BRAK!
“Tarik ucapanmu
itu, anjing kecil saja berani menggonggong!”.
Sial. Aku dipukul
mentah-mentah. Aku langsung jatuh terjerembab ke permukaan es.
“Chris!”
Teman-teman langsung mengerumuniku. Mereka benar-benar setia – setidaknya untuk
saat ini – hingga satu-persatu dari mereka menatapku dengan tatapan khawatir.
“Drama, drama,” leader sok itu langsung mencibir.
Cih, dasar hipokrit.
Tanpa pikir
panjang, aku langsung beranjak berdiri dan berjalan ke arahnya. Niatku sih,
ingin membalas pukulannya. Tidak kusangka, itu akan berujung malapetaka bagi
wajahnya yang mulus.
BUAAAAK!
Menyusul pula
suara hembusan yang khas setiap benda itu diciptakan.
BWOOOOSH!
“AAAAAAAAAA
...!”.
Dan berakhir
dengan jeritan sang korban.
Meninggalkanku
yang hanya bisa terbelalak selaku tersangka yang tidak mengerti apa-apa.
Api ungu ...?!
***
Sejak insiden yang tidak dikehendaki itu, semua
orang memandangku dengan tatapan tidak bersahabat. Kabar burung sampai di
telingaku bahwa aku adalah setan yang terkutuk. Sungguh, aku tidak mengerti
apa-apa. Aku tidak percaya takhayul. Hidupku yang realitas ini sungguh jauh
dengan hal-hal mistis seperti itu. Namun, berkat terhasut pembicaraan para
tetangga yang seharusnya tidak perlu dipercaya, orang tuaku langsung mengambil
keputusan yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
“Keluar kamu dari rumah ini!”.
Sampai hati
mereka mengusirku di tengah badai salju seperti saat ini?
“Mulai sekarang, kamu bukan anak kami lagi! Dasar
anak setan!”.
Melihat pintu rumah yang menutup dengan kasar itu
membuatku sadar seketika. Aku sudah dicampakkan oleh orang tuaku sendiri. Tak
ada pilihan lain, aku langsung menuruti apa yang mereka inginkan, sebelum
mereka sadar aku sempat terdiam hening dan mengusirku dengan cara yang lebih
mengenaskan lagi.
Dan kini, aku baru mengerti sepenuhnya apa yang
dimaksud dengan kebencian.
***
Dasar munafik. Setelah menemukan sisi
negatifku, bukannya menyemangati, mereka malah membuangku begitu saja, tanpa
mengingat-ingat kembali apa yang sudah kulakukan untuk mereka. Apakah kenangan
bersamaku itu sudah tidak berarti lagi?
Hanya itulah yang
terlintas dalam benakku setelah melihat sesuatu di tempat pembuangan sampah.
Aku benar-benar tidak percaya dan tidak mau percaya. Ini adalah kenyataan
pahit. Hatiku hancur setelah tahu bahwa teman-temanku tega membakar foto-foto
mereka bersamaku. Mereka pasti takut fotoku membawa malapetaka. Semua orang
sudah mencapku sebagai anak setan.
Di tengah malam
yang kelam berkat badai salju, mataku yang tajam masih bisa menangkap sesuatu
di balik lemari bekas – lemari itu juga cocok berpindah pekerjaan menjadi
tempat tidurku untuk sementara – yaitu sebuah cermin yang sudah retak
sana-sini. Salah satu retakannya berbentuk seperti sarang laba-laba, sementara
banyak sekali bagian cermin tersebut yang sudah terlepas dari induknya.
Entah apa yang
ada dalam benakku – pikiranku seperti kosong – aku berjalan lunglai menuju kaca
itu. Melihat bayangan diriku yang tentunya tidak sempurna, karena cermin itu
sendiri sudah tidak sempurna lagi. Layaknya dia mencerminkan hatiku yang
benar-benar rusak dan rapuh. Tanpa niat, tanpa tujuan, tanpa pendirian yang
pasti.
“Tuhan, jawab
pertanyaanku,” ucapku lirih sambil menyentuh benda dingin tersebut dengan
telapak tanganku. “Apakah keadilan itu benar-benar ada?”.
Hanya bulir-bulir
salju dan sang bayu ganas yang dengan sukarela melihatku menitikkan air mata
saat itu. Membuatku selalu menikmati salju setiap kali aku melihatnya.
Menikmati angin setiap kali dia menyambutku. Di saat itu juga aku mendapatkan
satu kesimpulan yang menyakitkan.
Aku bukanlah manusia biasa.
.
.
.
.
.
To be continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar