Kamis, 26 Desember 2013

Tell Me (File 1: When I Face You).

Cepat juga, ya? Yep, aku sendiri juga enggak nyangka kalau bisa secepat ini. Malah, kalau kerangkanya, sudah selesai sampai akhir, tuh! Oke, check it out! Sekarang, Yashiro Nanakase POV. Dan, ada selipan Yashiro x Shermie yang imut-imut, tuh! WAHAHAHAHA. Hope you enjoy my story!
.
.
.
.
.
File 1: When I Face You.
.
.
.
 “People come and go. A face I’ve never seen before look back at me.
I felt like I heard something. Felt like I was being called.”
.
.
.
Yashiro POV.
.
.
.
                “Kita sampai di sini,” aku langsung menginjakkan kakiku untuk pertama kalinya di salah satu negara Uni Eropa, Swedia. Untuk menghabiskan waktu cuti, Swedia bukanlah pilihan yang terlalu buruk. Setidaknya, banyak hal yang bisa dilakukan olehku yang senang berolahraga ini. Sepak bola, ice hockey, hmm. “Stockholm, Swedia!”.
                “Jangan banyak bicara, Yashiro!” Cih, perempuan satu ini lagi-lagi menggerutu. Tolong, deh. Berhubung kita sama-sama dalam masa cuti, dapatkah kamu meliburkan sifat cerewetmu, Shermie? Yep, itulah nama gadis berdarah Perancis ini. “Bawa kopermu sendiri, dong!”.
                “Iya, cerewet,” balasku acuh tak acuh, merespon tatapan sangar Shermie dengan tatapan datar. “Siapa juga yang menyuruhmu membawakannya? Bawaanku tidak seheboh kamu, ya.”.
                Normal-normal saja untuk gadis modis seperti dia bisa membawa lebih dari satu koper. Yep, kebutuhan wanita memang lebih utama daripada laki-laki, karena mereka lebih sering cerewet dan risih. Uhh, wanita selalu saja bermain feeling, apalagi yang semacam Shermie. Bisakah dia memakai otaknya untuk berpikir selain di depan komputer?
                “Hei, kebutuhan wanita itu lebih banyak, tahu! Jangan merendahkan harga diri wanita, ya!”  Sergahnya dengan nada sopran.
Tuh, ‘kan. Kesimpulannya, wanita itu merepotkan. Walaupun Shermie termasuk kategori cewek mandiri, tapi meladeni kalimat-kalimatnya itu refleks membuatku lelah sebelum sampai ke hotel yang kami sewa di Stockholm.
Untuk menghemat energi, aku sengaja tidak merespon kata-katanya sambil terus berderap langkah ke depan, sementara tangan kananku terus menarik koper.
“Astaga, kamu ini!” Shermie langsung terperanjat panik saat aku meninggalkannya begitu saja. “Yashiro, tunggu aku!” Yep, akhirnya dia sadar juga kalau ada hal yang harus lebih diprioitaskan saat ini. Yakni pergi ke Grand Hotel, hotel bintang lima yang mewah di ibukota Swedia ini.
Yah, kalau bukan karena menang tiket tur, butuh waktu lebih lama lagi untuk menginjakkan kaki di negara ini, tahu?

***

                Sesampainya di Grand Hotel, aku langsung merebahkan ragaku yang lelah berkat perjalanan di sofa. Ya ampun, sofanya saja sudah nyaman sekali, apalagi tempat tidurnya? Semoga malam cepat datang.
                “Baru sampai, sudah malas-malasan,” uh, si cerewet lagi-lagi menampang di depan mataku sambil berkacak pinggang. Bisakah dia sebentar saja membiarkanku istirahat dengan santai?
                “Kau mau aku ngapain?” Tanyaku ketus, sambil sedikit mendongakkan kepalaku ke arahnya.
                “Jalan-jalan ke taman sebagai sepasang kekasih,” jawabnya sambil menjentikkan jari. “Well, sekalian cari vokalis untuk band kita, ‘kan?”.
                Aku sempat terperangah sesaat dan kemudian refleks menepuk dahi sebagai respon utama. Oh, demi mi ramen, Shermie benar-benar terampil menyusun ucapannya. Yah, walaupun seluruh kalimatnya itu adalah fakta, tetap aku merasa canggung karena aku bukan termasuk kategori cowok romantis.
Secerewet apapun dia, aku tetap memilihnya, kok.

***

Make it short, aku nggak terlalu suka berkencan di taman. Aku lebih memilih berolahraga dan menguji adrenalinku di taman ria yang menyediakan permainan ekstrim ketimbang menikmati suasana feminin seperti ini. Yah, walau ini kategori Shermie banget, sih. Sefunky dan bossy apapun dia, seleranya sangat feminin, mengingat desain ruang tamu dan kamarnya di apartemen asli kami di Osaka. Apa karena dia keturunan bangsa Uni Eropa? Mungkin saja. Secara, dongeng-dongeng fantasi tentang putri yang lemah lembut dan pangeran yang gagah perkasa itu hampir semuanya berasal dari benua ini.
                Makanya, aku sudah mengultimatum, aku sama sekali bukan cowok romantis. Tapi, melihat Shermie yang begitu enjoy menikmati perjalanan kami, aku tidak bisa menyembunyikan rasa senang sebagai seorang lelaki setiap melihat gadis yang dicintainya tersenyum.
                Suasana tenang dan tentram di sini bisa menjadi pengganti jatah waktu istirahatku yang disita olehnya, ya. Tetap saja aku tidak terlalu suka, tapi tubuhku serasa lapang melihat setiap sudut pemandangan yang disuguhkan negara Swedia. Yep, sangat berlawanan dengan situasi Jepang yang selalu ramai.
                Dan suasananya berkembang menjadi lebih romantis, setelah nyanyian seseorang melewati gendang telingaku. Aku memejamkan mataku, sampai Shermie menggoncang-goncangkan tubuhku yang – kata orang-orang yang melihatku, sih – kekar dan berotot ini.
                “Eh, lihat tuh, penyanyinya!” Serunya sambil menunjuk-nunjuk seseorang yang tidak kukenal sama sekali.  Jujur saja, aku tak berminat untuk memalingkan pandanganku – yang sedari tadi hanya melihat ke arah pepohonan yang rindang saja – ke arah lain. “Dia masih kecil, lho!”.
                “Hmm?” Responku acuh tak acuh. “Lalu kenapa, hah?” Tanyaku gusar, sembari memutar pandanganku ke arah yang ditunjuk Shermie.
                Dan benar saja. Aku terperangah kaget.
                Bagaimana tidak? Dia benar-benar masih bocah. Aku dan Shermie sudah lebih dari 20 tahun, tapi – dilihat dari posturnya – sepertinya dia masih berusia 13 tahun. Yang membuatku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku, walaupun masih sebocah itu, suaranya tergolong bagus. Apakah dia penyanyi jalanan, atau mempunyai talenta dalam dunia musik?
                Calon anggota band kami, pikirku sambil tersenyum semeringah.
                “Hei, Yashiro, kamu pasti berpemikiran sama denganku,” Shermie menjentikkan jarinya lagi, sambil mengedipkan sebelah matanya. “Penemuanku hebat, ‘kan?”.
                “Yah,” aku hanya bisa mengangguk. Andai saja aku menuruti keegoisanku untuk tinggal di hotel, mustahil kami mendapatkan calon anggota secepat ini. “Untuk kali ini, kau kupuji, Shermie.”.

***

“Pretty girl is suffering while he confesses everything.
Pretty soon she'll figure out what his intentions were about.
And that's what you get for falling again.
You can never get him out of your head.
And that's what you get for falling again.
You can never get him out of your head.

It's the way that he makes you feel.
It's the way that he kisses you.
It's the way that he makes you fall in love...”.

“Oi,” sapaku canggung. “Suaramu bagus, ya.”.
                “Thanks,” jawabnya sambil tersenyum kecil. Hmm, nampaknya bocah berambut coklat dan bermata biru muda ini introvert. Sambil memegang gitar usangnya erat-erat, dia memandangiku dan Shermie dengan tatapan ramah, namun sedikit tersirat rasa curiga.
                Dan, oh, sial. Aku tidak bisa bicara apa-apa lagi. Walaupun postur tubuhku menyeramkan seperti ini, aku bukan cowok dingin, kok. Sifatku lebih mengarah ke cool. Memang, lagu-lagu yang kutulis selalu saja bemakna posesif dan energik, tapi itu hanya sekedar menjiwai aliran musik kami. Yep, bandku dan Shermie beraliran heavy rock. Suara anak ini memang masih belum terlalu matang, tapi lagu yang baru saja dia nyanyikan itu beraliran rock dan dia bisa menyanyikannya dengan bagus. Tambah lagi, dia bisa bernyanyi sempurna dengan gitar.
                Anak ini jelas-jelas mempunyai talenta musik. Dan, seharusnya aku menemukan kata-kata yang tepat untuk merekrutnya! Demi i fu mie, aku benar-benar bingung, walaupun kebingungan itu sedikitpun tidak terlukis di wajahku yang selalu tidak berekspresi dalam situasi biasa seperti ini.
                “Kau benar-benar payah!” Shermie langsung melingkarkan tangannya di leherku – what the hell, dia benar-benar mencekikku dengan tenaganya yang besar itu! Dasar cewek sialan – sementara dia menunjukkan senyuman manisnya pada bocah kecil yang belum mengerti apa-apa tentang kami – huh, dasar perempuan munafik – itu. “Namaku Shermie, dan cowok albino ini Yashiro!”.
                “Pintar juga kamu,”  gerutuku. “Setidaknya, kamu tidak menjelek-jelekkanku di depan bocah lugu ini.”.
                “Oh?” Brengsek, dia malah mengeraskan cengkeramannya. “Kau mau kubilang cowok bodoh yang nggak tetap pendirian, hah? Kamu yang menyapanya duluan, kamu malah nggak bisa ngomong apa-apa!”.
                “Hei, sesak, tolol!” Bentakku kasar, sembari berusaha membebaskan diri dari cekikan cewek kurang ajar satu ini. “Sama aku saja kamu berani kasar! Lebih baik terapkan tata krama demi bocah yang sebentar lagi akan tinggal bersama kita ini! Nggak baik buat dia!”.
                “Tinggal bersama? Wait, tunggu dulu,” Shermie langsung cengar-cengir, sembari memutar-mutar jari telunjuknya. “Ooooh, kau sudah mulai jujur pada perasaanmu, Nanakase Yashiro?”.
                What the hell. Sejak kapan aku bisa bertutur kata semacam itu?
                “Apaan sih, kamu?! Jangan buat wajahku memerah seperti badut sirkus di depan umum!” Benar-benar, Shermie sangat mahir bertutur kata yang dapat menjerumuskanku ke dalam lubang skat mat. Dia tahu aku bukanlah tipe cowok romantis, dan dia selalu ingin menjadi guruku dalam bersikap romantis. Tapi, ini bukannya mengajari, melainkan memalukan bangsa dan negara Jepang.
                “But, my boyfriend,” Shermie melujurkan lidahnya, seakan-akan dia puas melihat ekspresiku yang kini benar-benar tolol. “Kurasa, tidak ada masalah kalau semua orang tahu hubungan spesial kita, ini ‘kan tempat yang sesuai untuk berkencan?” Telunjuknya yang sedari tadi tak ada hentinya memutar menunjuk tepat ke arahku.
                “TAPI JANGAN DIUMBAR-UMBAR!” Aaarrgh, cewek ini benar-benar selihai Lupin, walaupun aspeknya jelas-jelas berbeda.
                “Asal kamu tahu, aku suka melihat wajahmu yang seperti itu, Yashiro,” cengirnya.
“SHERMIE, TOLONG, HENTIKAN!” Jeritku sekencang yang kudapat capai, hanya ini satu-satunya pilihan untuk menghentikan aksi konyol perempuan berambut merah tua ini.
“Hehehehe ...”.
Akhirnya acara komedi LIVE itu berakhir dengan damai setelah kami mendengar tawa ringan dari bocah yang sedari tadi hanya bisa menonton.
“Kalian lucu, ya,” komentarnya sambil tersenyum ramah. “Namaku Chris. Salam kenal, ya!” dia mengulurkan tangan kanannya yang mungil, bermaksud untuk berjabat tangan dengan kami.
“Salam kenal juga, Chris!” Shermie langsung menyambut tangan Chris dengan semangat, lalu tangannya yang menganggur dengan gesit meraih dan mencubit pipi bocah manis itu. “Uhh, kamu ini manis banget, sih?”.
“Hahahaha,” Chris hanya bisa tertawa ringan. “Thanks.”.
“Yo, salam kenal,” aku langsung tersenyum cool, sambil berjabat tangan dengan Chris yang tersenyum ramah padaku. “Kau sebentar lagi harus memanggil kami dengan embel-embel kakak, karena kami adalah senior di tempat yang akan kau tempati sesaat nanti!”.
“Hah?” Chris tertegun sesaat. “Maksudnya apa?”.
“Karena suaramu bagus,” Shermie langsung angkat bicara. “Mau bergabung ke band kami sebagai vokalis?”.

***

                Sudah lima menit berlalu. Chris tidak merespon kami sama sekali. Dia meletakkan tangannya di atas dagu seperti sedang berpikir. Memang, menjadi vokalis band itu adalah pekerjaan yang paling berat. Walau begitu, kalau memang agen yang hendak merekrut kami tidak menolak karena band kami kurang anggota, aku bisa saja menjadi vokalis sekaligus gitaris.
                “Boleh,” Chris langsung menganggukkan kepalanya. “Aku nggak keberatan untuk bergabung dengan kalian. Kalian semua terlihat baik.”.
                Syukurlah, Tuhan. Dia tidak memberikan jawaban yang mengecewakan kami, aku langsung menghela napas lega.
                “Sungguh?! Kamu menerimanya?!” Pekik Shermie tidak percaya. “Yeeeeiii!”  Dia langsung melompat-lompat girang, kemudian memeluk Chris erat-erat. “Terima kasih, Chris! Terima kasiiiihhh ... Sekali!”.
                Memang dasar bocah introvert. Chris sama sekali tidak mengatakan apapun, hanya berbekal senyum ceria di wajah untuk mewakilkan seluruh perasaannya.
                “Nah, sekarang, kita harus meminta izin pada orang tuamu,” aku langsung membelai rambut bocah yang akan sebentar lagi resmi menjadi anggota band kami. “Karena kami akan membawamu ke Osaka, Jepang.”.
                Entah mengapa, sorot mata Chris berubah menjadi gelap. Dengan pelan, dia menepis tangan kananku yang berada di atas kepalanya, lalu dia tersenyum sedih. “Langsung ke Osaka juga tidak apa-apa,” jawabnya dengan nada sendu.
                Chris kenapa? Tanyaku dalam hati. Shermie menoleh ke arahku dengan tatapan bertanya-tanya.
                Aku mendekatkan wajahku ke hadapannya, lalu tersenyum mantap. “Ceritakan semuanya setelah kita sampai di Grand Hotel, oke?”.
                “I-iya!” Chris langsung mengangguk ceria.
                “Ayo, ikut kami. Mulai sekarang, kamu resmi menjadi anggota band kami!”.
                Dan, akhirnya bertambahlah satu orang dalam perjalanan kami.
                Mengingat kami sedari tadi bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, nampaknya aku harus menjadi guru bahasa Jepang untuk Chris selama seminggu di Stockholm, deh. Shermie sih, sudah mahir bercakap-cakap dalam bahasa Jepang. Masalahnya, kalau harus menyeret Chris ke Osaka, dia harus bisa berbahasa Jepang.
.
.
.
.
.
To be continued.
.
.
.
.
.
Author’s Note:

Jadi, lagu yang Chris nyanyiin itu Pretty Girl - Sugarcult. Hehehe, sebenarnya setting waktunya tahun 1996, sih. Tapi, karena aku bukan orang yang tahu lagu Barat lama (apalagi yang romantis tapi tetap beraliran rock), jadi aku terpaksa pakai lagu yang seharusnya belum ada di tahun itu. Maaf, ya! Keep enjoy and wait for the next chapter! Regards, Ranran Kurogane.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar