Cepat juga, ya? Yep, aku sendiri juga enggak nyangka kalau bisa secepat ini. Malah, kalau kerangkanya, sudah selesai sampai akhir, tuh! Oke, check it out! Sekarang, Yashiro Nanakase POV. Dan, ada selipan Yashiro x Shermie yang imut-imut, tuh! WAHAHAHAHA. Hope you enjoy my story!
.
.
.
.
.
File 1: When I Face
You.
.
.
.
“People come and go. A face I’ve never seen
before look back at me.
I felt like I heard
something. Felt like I was being called.”
.
.
.
Yashiro POV.
.
.
.
“Kita sampai di
sini,” aku langsung menginjakkan kakiku untuk pertama kalinya di salah satu
negara Uni Eropa, Swedia. Untuk menghabiskan waktu cuti, Swedia bukanlah
pilihan yang terlalu buruk. Setidaknya, banyak hal yang bisa dilakukan olehku
yang senang berolahraga ini. Sepak bola, ice
hockey, hmm. “Stockholm, Swedia!”.
“Jangan banyak
bicara, Yashiro!” Cih, perempuan satu ini lagi-lagi menggerutu. Tolong, deh.
Berhubung kita sama-sama dalam masa cuti, dapatkah kamu meliburkan sifat
cerewetmu, Shermie? Yep, itulah nama gadis berdarah Perancis ini. “Bawa kopermu
sendiri, dong!”.
“Iya, cerewet,”
balasku acuh tak acuh, merespon tatapan sangar Shermie dengan tatapan datar.
“Siapa juga yang menyuruhmu membawakannya? Bawaanku tidak seheboh kamu, ya.”.
Normal-normal
saja untuk gadis modis seperti dia bisa membawa lebih dari satu koper. Yep,
kebutuhan wanita memang lebih utama daripada laki-laki, karena mereka lebih
sering cerewet dan risih. Uhh, wanita selalu saja bermain feeling, apalagi yang
semacam Shermie. Bisakah dia memakai otaknya untuk berpikir selain di depan komputer?
“Hei, kebutuhan
wanita itu lebih banyak, tahu! Jangan merendahkan harga diri wanita, ya!” Sergahnya dengan nada sopran.
Tuh, ‘kan. Kesimpulannya, wanita itu merepotkan.
Walaupun Shermie termasuk kategori cewek mandiri, tapi meladeni kalimat-kalimatnya
itu refleks membuatku lelah sebelum sampai ke hotel yang kami sewa di
Stockholm.
Untuk menghemat energi, aku sengaja tidak merespon
kata-katanya sambil terus berderap langkah ke depan, sementara tangan kananku
terus menarik koper.
“Astaga, kamu ini!” Shermie langsung terperanjat
panik saat aku meninggalkannya begitu saja. “Yashiro, tunggu aku!” Yep,
akhirnya dia sadar juga kalau ada hal yang harus lebih diprioitaskan saat ini.
Yakni pergi ke Grand Hotel, hotel bintang lima yang mewah di ibukota Swedia
ini.
Yah, kalau bukan karena menang tiket tur, butuh
waktu lebih lama lagi untuk menginjakkan kaki di negara ini, tahu?
***
Sesampainya di Grand
Hotel, aku langsung merebahkan ragaku yang lelah berkat perjalanan di sofa. Ya
ampun, sofanya saja sudah nyaman sekali, apalagi tempat tidurnya? Semoga malam
cepat datang.
“Baru sampai,
sudah malas-malasan,” uh, si cerewet lagi-lagi menampang di depan mataku sambil
berkacak pinggang. Bisakah dia sebentar saja membiarkanku istirahat dengan
santai?
“Kau mau aku
ngapain?” Tanyaku ketus, sambil sedikit mendongakkan kepalaku ke arahnya.
“Jalan-jalan ke
taman sebagai sepasang kekasih,” jawabnya sambil menjentikkan jari. “Well, sekalian cari vokalis untuk band
kita, ‘kan?”.
Aku sempat
terperangah sesaat dan kemudian refleks menepuk dahi sebagai respon utama. Oh,
demi mi ramen, Shermie benar-benar terampil menyusun ucapannya. Yah, walaupun
seluruh kalimatnya itu adalah fakta, tetap aku merasa canggung karena aku bukan
termasuk kategori cowok romantis.
Secerewet apapun dia, aku tetap memilihnya, kok.
***
Make it
short, aku nggak terlalu suka berkencan di taman. Aku lebih memilih
berolahraga dan menguji adrenalinku di taman ria yang menyediakan permainan
ekstrim ketimbang menikmati suasana feminin seperti ini. Yah, walau ini
kategori Shermie banget, sih. Sefunky dan
bossy apapun dia, seleranya sangat
feminin, mengingat desain ruang tamu dan kamarnya di apartemen asli kami di
Osaka. Apa karena dia keturunan bangsa Uni Eropa? Mungkin saja. Secara,
dongeng-dongeng fantasi tentang putri yang lemah lembut dan pangeran yang gagah
perkasa itu hampir semuanya berasal dari benua ini.
Makanya, aku
sudah mengultimatum, aku sama sekali bukan cowok romantis. Tapi, melihat
Shermie yang begitu enjoy menikmati
perjalanan kami, aku tidak bisa menyembunyikan rasa senang sebagai seorang
lelaki setiap melihat gadis yang dicintainya tersenyum.
Suasana tenang
dan tentram di sini bisa menjadi pengganti jatah waktu istirahatku yang disita
olehnya, ya. Tetap saja aku tidak terlalu suka, tapi tubuhku serasa lapang
melihat setiap sudut pemandangan yang disuguhkan negara Swedia. Yep, sangat
berlawanan dengan situasi Jepang yang selalu ramai.
Dan suasananya
berkembang menjadi lebih romantis, setelah nyanyian seseorang melewati gendang
telingaku. Aku memejamkan mataku, sampai Shermie menggoncang-goncangkan tubuhku
yang – kata orang-orang yang melihatku, sih – kekar dan berotot ini.
“Eh, lihat tuh,
penyanyinya!” Serunya sambil menunjuk-nunjuk seseorang yang tidak kukenal sama
sekali. Jujur saja, aku tak berminat
untuk memalingkan pandanganku – yang sedari tadi hanya melihat ke arah
pepohonan yang rindang saja – ke arah lain. “Dia masih kecil, lho!”.
“Hmm?” Responku
acuh tak acuh. “Lalu kenapa, hah?” Tanyaku gusar, sembari memutar pandanganku
ke arah yang ditunjuk Shermie.
Dan benar saja.
Aku terperangah kaget.
Bagaimana tidak?
Dia benar-benar masih bocah. Aku dan Shermie sudah lebih dari 20 tahun, tapi –
dilihat dari posturnya – sepertinya dia masih berusia 13 tahun. Yang membuatku
tidak bisa menyembunyikan kekagetanku, walaupun masih sebocah itu, suaranya
tergolong bagus. Apakah dia penyanyi jalanan, atau mempunyai talenta dalam
dunia musik?
Calon anggota band kami, pikirku sambil
tersenyum semeringah.
“Hei, Yashiro,
kamu pasti berpemikiran sama denganku,” Shermie menjentikkan jarinya lagi,
sambil mengedipkan sebelah matanya. “Penemuanku hebat, ‘kan?”.
“Yah,” aku hanya
bisa mengangguk. Andai saja aku menuruti keegoisanku untuk tinggal di hotel,
mustahil kami mendapatkan calon anggota secepat ini. “Untuk kali ini, kau
kupuji, Shermie.”.
***
“Pretty girl is
suffering while he confesses everything.
Pretty soon she'll
figure out what his intentions were about.
And that's what you
get for falling again.
You can never get him
out of your head.
And that's what you
get for falling again.
You can never get him
out of your head.
It's the way that he
makes you feel.
It's the way that he
kisses you.
It's the way that he
makes you fall in love...”.
“Oi,” sapaku canggung. “Suaramu bagus, ya.”.
“Thanks,” jawabnya sambil tersenyum
kecil. Hmm, nampaknya bocah berambut coklat dan bermata biru muda ini
introvert. Sambil memegang gitar usangnya erat-erat, dia memandangiku dan
Shermie dengan tatapan ramah, namun sedikit tersirat rasa curiga.
Dan, oh, sial. Aku
tidak bisa bicara apa-apa lagi. Walaupun postur tubuhku menyeramkan seperti
ini, aku bukan cowok dingin, kok. Sifatku lebih mengarah ke cool. Memang, lagu-lagu yang kutulis
selalu saja bemakna posesif dan energik, tapi itu hanya sekedar menjiwai aliran
musik kami. Yep, bandku dan Shermie beraliran heavy rock. Suara anak ini memang masih belum terlalu matang, tapi
lagu yang baru saja dia nyanyikan itu beraliran rock dan dia bisa menyanyikannya dengan bagus. Tambah lagi, dia
bisa bernyanyi sempurna dengan gitar.
Anak ini
jelas-jelas mempunyai talenta musik. Dan, seharusnya aku menemukan kata-kata
yang tepat untuk merekrutnya! Demi i fu mie, aku benar-benar bingung, walaupun
kebingungan itu sedikitpun tidak terlukis di wajahku yang selalu tidak
berekspresi dalam situasi biasa seperti ini.
“Kau benar-benar
payah!” Shermie langsung melingkarkan tangannya di leherku – what the hell, dia benar-benar
mencekikku dengan tenaganya yang besar itu! Dasar cewek sialan – sementara dia
menunjukkan senyuman manisnya pada bocah kecil yang belum mengerti apa-apa
tentang kami – huh, dasar perempuan munafik – itu. “Namaku Shermie, dan cowok
albino ini Yashiro!”.
“Pintar juga kamu,”
gerutuku. “Setidaknya, kamu tidak
menjelek-jelekkanku di depan bocah lugu ini.”.
“Oh?” Brengsek,
dia malah mengeraskan cengkeramannya. “Kau mau kubilang cowok bodoh yang nggak
tetap pendirian, hah? Kamu yang menyapanya duluan, kamu malah nggak bisa
ngomong apa-apa!”.
“Hei, sesak,
tolol!” Bentakku kasar, sembari berusaha membebaskan diri dari cekikan cewek
kurang ajar satu ini. “Sama aku saja kamu berani kasar! Lebih baik terapkan
tata krama demi bocah yang sebentar lagi akan tinggal bersama kita ini! Nggak
baik buat dia!”.
“Tinggal bersama?
Wait, tunggu dulu,” Shermie langsung
cengar-cengir, sembari memutar-mutar jari telunjuknya. “Ooooh, kau sudah mulai
jujur pada perasaanmu, Nanakase Yashiro?”.
What the hell. Sejak kapan aku bisa bertutur
kata semacam itu?
“Apaan sih,
kamu?! Jangan buat wajahku memerah seperti badut sirkus di depan umum!”
Benar-benar, Shermie sangat mahir bertutur kata yang dapat menjerumuskanku ke
dalam lubang skat mat. Dia tahu aku bukanlah tipe cowok romantis, dan dia
selalu ingin menjadi guruku dalam bersikap romantis. Tapi, ini bukannya
mengajari, melainkan memalukan bangsa dan negara Jepang.
“But, my boyfriend,” Shermie melujurkan
lidahnya, seakan-akan dia puas melihat ekspresiku yang kini benar-benar tolol.
“Kurasa, tidak ada masalah kalau semua orang tahu hubungan spesial kita, ini
‘kan tempat yang sesuai untuk berkencan?” Telunjuknya yang sedari tadi tak ada
hentinya memutar menunjuk tepat ke arahku.
“TAPI JANGAN
DIUMBAR-UMBAR!” Aaarrgh, cewek ini benar-benar selihai Lupin, walaupun aspeknya
jelas-jelas berbeda.
“Asal kamu tahu,
aku suka melihat wajahmu yang seperti itu, Yashiro,” cengirnya.
“SHERMIE, TOLONG, HENTIKAN!” Jeritku sekencang yang
kudapat capai, hanya ini satu-satunya pilihan untuk menghentikan aksi konyol
perempuan berambut merah tua ini.
“Hehehehe ...”.
Akhirnya acara komedi LIVE itu berakhir dengan
damai setelah kami mendengar tawa ringan dari bocah yang sedari tadi hanya bisa
menonton.
“Kalian lucu, ya,” komentarnya sambil tersenyum
ramah. “Namaku Chris. Salam kenal, ya!” dia mengulurkan tangan kanannya yang
mungil, bermaksud untuk berjabat tangan dengan kami.
“Salam kenal juga, Chris!” Shermie langsung menyambut
tangan Chris dengan semangat, lalu tangannya yang menganggur dengan gesit
meraih dan mencubit pipi bocah manis itu. “Uhh, kamu ini manis banget, sih?”.
“Hahahaha,” Chris hanya bisa tertawa ringan. “Thanks.”.
“Yo, salam kenal,” aku langsung tersenyum cool, sambil berjabat tangan dengan
Chris yang tersenyum ramah padaku. “Kau sebentar lagi harus memanggil kami
dengan embel-embel kakak, karena kami adalah senior di tempat yang akan kau
tempati sesaat nanti!”.
“Hah?” Chris tertegun sesaat. “Maksudnya apa?”.
“Karena suaramu bagus,” Shermie langsung angkat
bicara. “Mau bergabung ke band kami
sebagai vokalis?”.
***
Sudah lima menit
berlalu. Chris tidak merespon kami sama sekali. Dia meletakkan tangannya di
atas dagu seperti sedang berpikir. Memang, menjadi vokalis band itu adalah
pekerjaan yang paling berat. Walau begitu, kalau memang agen yang hendak
merekrut kami tidak menolak karena band kami
kurang anggota, aku bisa saja menjadi vokalis sekaligus gitaris.
“Boleh,” Chris
langsung menganggukkan kepalanya. “Aku nggak keberatan untuk bergabung dengan
kalian. Kalian semua terlihat baik.”.
Syukurlah, Tuhan. Dia tidak memberikan
jawaban yang mengecewakan kami, aku langsung menghela napas lega.
“Sungguh?! Kamu
menerimanya?!” Pekik Shermie tidak percaya. “Yeeeeiii!” Dia langsung melompat-lompat girang, kemudian
memeluk Chris erat-erat. “Terima kasih, Chris! Terima kasiiiihhh ... Sekali!”.
Memang dasar
bocah introvert. Chris sama sekali tidak mengatakan apapun, hanya berbekal
senyum ceria di wajah untuk mewakilkan seluruh perasaannya.
“Nah, sekarang,
kita harus meminta izin pada orang tuamu,” aku langsung membelai rambut bocah
yang akan sebentar lagi resmi menjadi anggota band kami. “Karena kami akan
membawamu ke Osaka, Jepang.”.
Entah mengapa,
sorot mata Chris berubah menjadi gelap. Dengan pelan, dia menepis tangan
kananku yang berada di atas kepalanya, lalu dia tersenyum sedih. “Langsung ke
Osaka juga tidak apa-apa,” jawabnya dengan nada sendu.
Chris kenapa? Tanyaku dalam hati.
Shermie menoleh ke arahku dengan tatapan bertanya-tanya.
Aku mendekatkan
wajahku ke hadapannya, lalu tersenyum mantap. “Ceritakan semuanya setelah kita
sampai di Grand Hotel, oke?”.
“I-iya!” Chris langsung
mengangguk ceria.
“Ayo, ikut kami.
Mulai sekarang, kamu resmi menjadi anggota band
kami!”.
Dan, akhirnya
bertambahlah satu orang dalam perjalanan kami.
Mengingat kami sedari
tadi bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, nampaknya aku harus menjadi guru
bahasa Jepang untuk Chris selama seminggu di Stockholm, deh. Shermie sih, sudah
mahir bercakap-cakap dalam bahasa Jepang. Masalahnya, kalau harus menyeret
Chris ke Osaka, dia harus bisa berbahasa Jepang.
.
.
.
.
.
To be continued.
.
.
.
.
.
Author’s Note:
Jadi, lagu yang Chris nyanyiin itu Pretty Girl - Sugarcult. Hehehe,
sebenarnya setting waktunya tahun
1996, sih. Tapi, karena aku bukan orang yang tahu lagu Barat lama (apalagi yang
romantis tapi tetap beraliran rock),
jadi aku terpaksa pakai lagu yang seharusnya belum ada di tahun itu. Maaf, ya! Keep enjoy and wait for the next chapter!
Regards, Ranran Kurogane.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar