Yosha, di sini Ranran Kurogane! Kembali ke Chris POV. Yep, file yang ini kayaknya rada maksa dikit, deh. Tapi, semoga enggak mengecewakan, ya? Check it out!
.
.
.
.
.
File 2: The
Double-Edged Sword.
.
.
.
.
.
“Oh, ini? Aku
mengerti,” aku langsung menarik
kesimpulan dari isi kertas yang disodorkan pemuda albino ini tanpa membacanya
terlebih dahulu. “Ini bacanya yi, er, san, se, wu, liu, chi, pa, jiu, se,
‘kan?”.
Ups, sepertinya
jawabanku salah besar. Lebih tepatnya sih, sengaja kusalahkan. Kak Yashiro
langsung menatapku garang. “Itu bahasa Mandarin, kamu ini bagaimana?!”.
“Hei, Yashiro!”
Sembur Kak Shermie sembari mencekik leher Kak Yashiro dengan lengannya –
ternyata Kak Shermie mahir bela diri juga, padahal cara berjalannya saja
lenggak-lenggok – hingga membuat sang korban sesak napas. Sebagai si melankolis
yang cenderung berdiam diri, aku hanya bisa memandangi mereka. Tapi, aku tidak
selalu diam seribu bahasa juga, sih. Lumrah bagi seseorang untuk memiliki lebih
dari satu tempramen, dan yang kumiliki satu lagi adalah sanguinis.
“Hehehe, maaf, aku bercanda,” aku langsung nyengir.
“Bercanda, kamu bilang? Kecil-kecil cabe rawit,”
sekali lagi, Kak Yashiro menatapku garang. Yups, sebagai biang keladi atas
hukuman langit yang diterimanya, jelas dia sampai hati memasang ekspresi gemas
padaku.
“Tapi, ini
mengejutkan, lho!” Kak Shermie langsung menoleh ke arahku, tanpa melepaskan
cengkeramannya – yang kuat itu – pada Kak Yashiro. “Ternyata, Chris bisa bahasa
Mandarin!”.
“Itu bukan hal
yang perlu dibesar-besarkan, kok,” ucapku datar. Bukan maksudku sombong untuk
merespon dengan ekspresi netral. Yah, multilingual sudah lumrah di mancanegara,
‘kan? “Di sekolahku memang ada pelajaran bahasa Mandarin.”.
“Chris, kamu ini
pintar, ya?” Kak Yashiro – yang sudah bebas dari cekikan Kak Shermie. Siapa
juga yang tahan lama mencengkeram leher orang sebesar Kak Yashiro? – akhirnya
membuka mulut. “Jarang ada orang yang bisa menguasai bahasa Jepang secepat
kamu.”.
Aku refleks
melongo. Pascanya, aku jarangkali disebut pintar oleh teman-teman sekelasku.
“Eh, enggak juga, sih,” gelengan kepala menjadi respon keduaku. “Daya ingatku
buruk,” yep, karena faktor itulah, aku tidak pernah menyandang jabatan sebagai
murid cerdas. Aku memang salah satu anak yang mahir Matematika di kelas dulu.
Tapi hanya sekedar Matematika. Dan, camkan, itu DULU. Mustahil untukku menginjakkan
kaki di sana lagi, gegara insiden yang tidak kumengerti itu.
“Berarti, daya
analisismu hebat,” oh, Kak Yashiro berhasil menyimpulkan salah satu faktaku.
“Kamu bisa mengingat hanya dengan mengandalkan itu saja.”.
“Hmm,” aku
langsung tersenyum kecut.
Well, aku
bukan tipe orang yang mau mengingat sih, kecuali kalau peristiwa itu
benar-benar penting untuk diingat. Bagiku, memori itu umpama pedang bermata
dua. Bisa menyenangkan atau menyakitkan kita kalau diputar kembali. Kemungkinan
antara dua itu selalu membuatku sakit kepala. Lebih baik sengaja dilupakan
kalau memang tidak bermutu. Bodohnya, ujung pedang itu terlanjur menusukku, sampai-sampai
aku tidak bisa melupakan peristiwa yang baru-baru ini menimpaku. Take it easy memanglah prinsip hidupku,
tapi aku sama sekali tidak bisa menerapkannya dalam hal ini.
“Emm, bicara soal analisis, aku lumayan mahir
Matematika, sih.”.
Yep, Matematika
penuh dengan analisa, ‘kan? Nggak heran kalau dampak Matematika bagi setiap
manusia itu relatif.
“Hahahaha, dia
itu musuhku waktu masih seumuran kamu!” Kak Yashiro langsung tertawa lepas
hingga aku hanya bisa berekspresi polos. Well,
dari wajahnya saja sudah bisa direka-reka, sih. Kalau pemuda albino ini nggak
pintar-pintar amat. “Saking bencinya dia sama aku, mungkin aku bisa saja tidak
tamat sekolah. Untung nilai Sejarahku lumayan.”.
Nostalgia Kak
Yashiro ternyata sedikit lebih parah dari dugaanku. Boleh dibilang, Matematika
saja sudah bosan untuk berbaik hati padanya. Tapi, usai menangkap penggalan
kata terakhirnya, aku refleks merengut. “You
made me laugh. Sejarah itu pelajaran yang paling kubenci.”.
Bagaimana tidak?
Daya ingatku payah. Nyaris nihil nilai Sejarahku yang lolos rata-rata. Nice.
Kak Shermie –
yang sejak tadi hanya bisa menjadi pendengar. Yep, sangat berlawanan untuk
pembicara yang baik seperti dia, tapi lumrah saja – melepas tawanya. “Hahaha,
kalian berlawanan, ya?” Komentarnya dengan nada manis, setimpal dengan senyum
dan gerakannya yang begitu pula.
“Hehehe,
sepertinya,” jawabku sambil nyengir kuda. Yah, suatu perbedaan yang kontras
bisa melengkapi satu sama lain, kok. Jadi, normal-normal saja kalau garis
takdirku bertabrakan dengan garis takdir Kak Yashiro.
“Aww, ternyata
dia lebih pintar darimu, Yashiro!” Kalimat yang dilontarkan gadis berambut
merah marun ini benar-benar relatif. Yep, bermakna pujian untukku, namun
bermakna sindiran bagi Kak Yashiro. Dia hanya bisa terkekeh-kekeh saat pemuda
beriris merah bata itu mendelik ke arahnya dengan tatapan
‘kau-menyindirku-ya?’. “Oops, I’m just
kidding, my boyfriend!”.
“Pretty handy, huh?” Hanyalah rengutan
yang bisa diberikan oleh Kak Yashiro. “Dasar cebol pintar,” dia langsung mengacak-acak
rambutku, walaupun itu tidak berlangsung lama. Mendadak gerakan tangannya
terhenti setelah dia melihat iris biruku yang mendelik tajam ke arahnya.
“Waw!” Kak
Shermie langsung terbelalak. “What’s
wrong, Chris? Kamu terlihat marah.”.
Aku memang marah.
“O-oi, ke-kenapa?” Tanyanya gagap.
“Aku paling benci
dibelai,” jawabku ketus. “Karena aku tidak suka diperlakukan seperti anak
kecil.”.
Tanpa bicara, Kak
Yashiro langsung mengangkat tangannya seperti buronan yang sudah skat mat –
karena diancam oleh tembakan para polisi di sekitarnya – sambil menatapku
dengan tatapan bersalah. Aku menghela napas panjang. Sepertinya, aku sudah
bersikap kasar pada pemuda cool ini.
“Gara-gara kamu
sembarangan, sih!” Sembur satu-satunya perempuan di dalam ruangan ini,
bersamaan dengan tangannya yang menyenggol sang terdakwa. “Dia jadi marah,
‘kan?”.
“Ya, ‘kan aku
enggak tahu?” Yang bersalah langsung menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Normal-normal saja kalau Kak Yashiro nggak sadar. Belum sehari
berinteraksi denganku, kok. Tapi, aku refleks ketus bukan karena aku
mempermasalahkannya. Soalnya, walaupun aku tergolong sebagai orang yang lihai
berahasia, aku tidak pandai menyembunyikan perasaanku.
“Nggak apa-apa,
kok,” ucapku pelan. “Seenggaknya aku nggak marah-marah amat.”.
“Yo, fine, Chris, tapi aku heran padamu,”
penggalan kalimat Kak Yashiro membuatku refleks terbelalak. Heran? Kenapa? Memangnya
sifatku aneh? Well, sejak aku
menyadarinya, aku selalu membawa perasaan dalam segala situasi, kok. Entah apa
sebabnya, kalau aku sengaja mengabaikan apa yang kurasakan di dalam hatiku, itu
selalu membuatku gundah. “Kenapa kamu tertutup sekali? Kamu masih kecil lho,
berapa umurmu?”.
Memangnya menjadi
seorang introvert di usia remaja itu salah? Yah, memang jarangkali bisa
menemukan anak seumuranku yang tertutup seperti ini, sih. Sebelum insiden
menyedihkan itu juga, aku memang sudah penuh privasi, seceria apapun aku di
depan masyarakat. Jadi, jangan seenaknya mengambil kesimpulan – sifatku begini
karena trauma? Kalian salah besar.
“13 tahun,” oh
iya, pemuda albino itu menanyakan umurku. Pasti terpaut jauh dengan Kak Yashiro
dan Kak Shermie, bandingkan saja postur tubuh kami. “Sifatku memang begini
sejak kecil, kok,” ujarku sesuai dengan pertanyaan pemilik iris merah bata itu
sebelumnya.
“Oooh, aku jadi
ingat,” mendadak gadis yang tidak memperlihatkan bola matanya – karena tertutup
poninya yang panjang – itu membuka suara. “Chris, bukannya kamu mau cerita
tentang dirimu kalau kita sudah sampai di Grand Hotel?”.
Sialan.
Kukira
dia lupa karena Kak Yashiro tiba-tiba mencalonkan diri sebagai guru Bahasa
Jepangku. Ah, aku harus menceritakan apa? Faktanya, aku benci, aku benci, aku
benci kalau harus mengungkit-ungkit masa laluku. Dulu memang mudah saja untukku
memperkenalkan diri secara formal dan detil. Sayangnya, itu DULU. Kini itu
tidak lebih dari sekedar umpan ikan yang baiknya dibuang saja.
“Aku diusir oleh
orang tuaku,” ah, jelaskan saja setengah-setengah. “Semua orang di sana
menganggapku sebagai reinkarnasi setan, anak setan, apapun itu, karena suatu
insiden yang bahkan aku sendiri tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi.”.
“Insiden
apa–uph!” Thanks, Kak Yashiro. Dia
membekap mulut pacarnya yang nyaris saja menyelesaikan kalimat tanya yang pasti
akan kuperlakukan seperti pertanyaan tak bertanya. Alias, aku tidak akan mau
menjawabnya.
“Shermie,”
sahutnya dengan nada bass. “Kalau seseorang mengistilahkan kalimatnya, sama
saja dia tidak mau ada yang menanyakan hal tersebut. Jangan menginterogasi
Chris, dong,” dia pun mengakhiri kalimat bijaknya seiring tangan besarnya memberi
kebebasan lagi kepada mulut gadis ekstrovert yang malang itu.
Kak Shermie yang
sempat merasa sesak itu langsung mengambil napas panjang. “O-oh, gitu, ya?” Dia
manggut-manggut tanda mengerti.
Perkataan Kak Yashiro memang benar adanya, kalau
aku tidak mau ada yang bertanya lebih jauh lagi tentang diriku. Kenapa? Tidak
ada gunanya. Aku sudah tidak mengenal diriku lagi. Mustahil aku bisa
mengenalnya lebih jauh, sementara nihil orang yang sukarela menjelaskan tentang
api ungu itu. Benar saja, cinta itu ilusi. Setelah melihat sisi negatifku, mereka
serentak memandangku hina. Bukannya menyemangatiku, manusia-manusia itu hanya
bisa menjerit sembarangan layak tak mengenal etika dan menyebutku anak setan. Keparat.
Semudah itukah mereka semua menghapus namaku dengan penghapus papan tulis,
sementara untuk melesatkan tangan ke depan papan tulis saja aku masih harus
berpikir dua kali?
Tuhan, sampai
hatikah mereka ...?
“Maaf, hanya itu
yang bisa kujelaskan,” ucapku bergetar – oh, sial. Kenapa bibirku bergetar
seperti ini? Kenapa sekujur tubuhku lemas lagi? Kenapa dadaku merasa sangat
sakit? “Karena aku ingin cepat-cepat lupa.”.
“Me-melupakan apa?”
Tanya Kak Shermie terbata-bata.
Kak Shermie, tolong
jangan menanyakan apapun. Aku sudah tidak bisa meresponmu dengan jawaban yang
benar.
Aku ingin mengatakan alasanku menerima tawaran
mereka sebagai vokalis band. Aku ingin merobek lembar demi lembar kehidupan
lamaku secara terhormat. Ya, sebagai Chris yang baru. Aku ingin melenyapkan
wujud mereka dari memoriku, serta mencari sosok keluarga yang takkan pernah
mengkhianatiku – dan kepercayaanku jatuh kepada mereka berdua ini.
Ah, aku terlalu
naif untuk menganggap mereka sebagai keluarga baruku. Sudahlah, Chris. Sekalian
saja malunya.
“Keluarga yang sampai hati mencampakkanku itu!”
Jawabku kencang sampai Kak Shermie terperanjat kaget – tidak lupa Kak Yashiro
yang refleks membulatkan kedua pupilnya. “Karena kalian semua sudah kuanggap
sebagai keluarga baruku! Kumohon, buat aku lupa ...! Huwaaaaa ...!!!”.
Akhirnya tangisanku meledak, sekeras suara petir
menyambar dunia, sederas hujan badai membasahi bumi.
.
.
.
“Permisi.”.
Aku terperanjat kaget seusai ragaku menerima
rangsangan dari luar – berupa belaian dan dekapan hangat. Tanpa memastikannya
lagi dengan mata kepalaku sendiri, aku sudah mengetahui kalau orang yang
memelukku adalah Kak Yashiro.
“Jangan pernah bicara begitu lagi,” oh, Kak Yashiro
hendak menceramahiku. “Mustahil ada manusia yang bisa melupakan keluarganya,
sekejam apapun mereka. Ingat satu hal, karena adanya mereka, kamu bisa ada di
sini, Chris.”.
Aku hanya bisa sesenggukkan. Sekonyol apapun dia
saat pertemuan pertama kami, aku bisa menyimpulkan kalau dia adalah tipe cowok cool yang bijaksana.
“It’s okay,
Chris,” ah, lagi-lagi ada yang mendekapku dengan erat. Si gadis sanguinis, Kak
Shermie. “Kalau ada yang membuatmu gundah, ceritakan saja semuanya. Kami pasti
akan dengan setia mendengarkanmu. Kita akan selalu bersama, ‘kan?”.
Selalu
bersama. Oh, Tuhan. Kuharap itu bukan hanya sekedar kata-kata.
“Jangan paksakan dirimu untuk bicara,” baru saja
aku ingin melafalkan kata-kata yang ada di dalam benakku, Kak Yashiro langsung
melarangku untuk mengeluarkan suara. “Rawatlah paru-paru dan pita suaramu dengan
baik. Jadilah profesional sebagai vokalis band kami, Chris.”.
Make it
clear, Kak Yashiro menyuruhku untuk tenang – memberi paru-paruku waktu untuk
bekerja dengan cara yang semestinya – alhasil, aku hanya bisa mengunci mulutku
di dalam dekapan kedua orang ini.
.
.
.
“Ngomong-ngomong,”
beberapa menit berselang, aku telah bersabar untuk melancarkan kembali jeda
bicaraku – kali ini, pemuda albino itu tidak melarangku untuk bersuara – dan akhirnya
aku memperoleh kembali suara normalku. “Kenapa ‘permisi’?”.
Ya. Sebelum
membelai-belai rambutku – yang mana itu adalah perilaku seseorang padaku yang
paling tidak kusukai – Kak Yashiro sempat mengatakannya. To be very honest, aku tidak paham maksudnya.
Pemuda beriris
merah bata itu langsung nyengir kuda. “Kamu nggak suka dibelai-belai, ‘kan?
Kalau aku bilang ‘permisi’, setidaknya aku sudah meminta izin terlebih dahulu
padamu. Jadi, kamu nggak punya kewajiban untuk marah.”.
Dia mengakhiri
jawabannya dengan tangkas, meninggalkanku yang terperangah berkatnya.
Seriously, you made me laugh, chump. And
laugh, and laugh, and laugh.
“Ahahahahaha!”
Sesuai yang ada dalam pikiranku, aku langsung melepas tawa dengan keras, tidak
terlintas sama sekali dalam benakku untuk menutupi mulut dengan telapak tanganku.
“As you wish! Hahahahaha!”.
“Nah, akhirnya
Chris senyum lagi!” Seru Kak Shermie girang. “Kalau begini ‘kan, kamu lebih
manis! Duuh, aku jadi gemas ...!” Tangan lincahnya langsung merogoh badanku ke dekapannya
yang sangat sangat sangat erat.
“Astaga!”
Mendadak aku teringat Kak Yashiro yang waktu itu lehernya sempat dicengkeram
Kak Shermie – dengan tangannya – gegara dia tidak bisa bicara apa-apa untuk
merekrutku. Yah, aku bisa merasakan penderitaan Kak Yashiro dengan jelas.
Pasalnya, tenaga Kak Shermie benar-benar HEBAT. Aku yakin dia sempat
mempelajari ilmu bela diri sewaktu sekolah.
“Sudah, hei, hei,
Shermie,” Kak Yashiro menepuk kedua tangannya – entah dia cemburu atau
menginginkan pembicaraan ini kembali ke topik sebenarnya – menyuruh kekasihnya
untuk melepas pelukannya – jujur saja, aku ingin berterima kasih – dariku. “Ayo,
kita belajar lagi, Chris.”.
“Hehehe,” aku
langsung beranjak berdiri – setelah Kak Shermie melepas pelukan mautnya dariku,
tentunya – dan melempar senyuman ceria kepada mereka berdua. Dua orang yang
sudah kuanggap sebagai kakakku. Berhubung aku adalah figur kakak dalam
keluargaku yang sebenarnya, keinginanku untuk mempunyai kakak sudah dikabulkan oleh
Tuhan – walaupun sedikit meleset dari dugaanku – tapi, ini tidak begitu buruk. Hidup
itu memang berbanding balik, dan aku harus siap jika dia akan memutarbalikkan
kehidupanku sekali lagi. Asalkan pusaran takdir tidak memisahkan ikatan kami
bertiga.
“Hontou ni arigatou gozaimasu,
Yashiro-niisan, Shermie-neesan!”.
Sesuai dugaanku,
pihak yang dituju terperangah kaget hingga mereka diam seribu bahasa.
“... ‘neesan’?
Aww!” Kak Shermie memegang kedua pipinya sambil tersenyum manis. “Chris, kamu
benar-benar maniiiissss!”.
Oh tidak, jangan
lagi. Pelukan maut itu! “Aaaaaa!” Jeritku otomatis setelah ragaku menerima
rangsangan berupa dekapan yang sangat sangat sangat erat dari gadis bertenaga
sejuta kuda seperti Kak Shermie.
“Kamu bikin kaget
saja,” Kak Yashiro langsung mengalihkan pandangannya dariku. Hahaha, alih-alih tersipu
malu. “Kalau kamu mau panggil aku dengan embel-embel ‘niisan’, silahkan saja.”.
.
.
.
“Tidur saja di
kamarku.”.
Aku langsung mengernyitkan
dahi. Hello, aku bawa-bawa selimut,
lho. Rencananya sih, aku mau tidur di tempat yang saat ini sedang dibajak olehnya.
“Kakak benar nggak apa-apa?”.
“Fine,” pemuda itu langsung menjulurkan
badan kekarnya di atas sofa. “Aku lebih suka tidur di sofa.”.
“Ba-baiklah,” aku
menuruti perintahnya dengan was-was. Pasalnya, aku merasa kurang etis sebagai
junior untuk memperoleh tempat yang lebih baik dibanding seniorku sendiri. Tapi,
nampak jelas kalau Kak Yashiro memang menikmatinya. Selagi aku menatapnya dengan
tatapan khawatir, dia justrtu asyik bermain dengan remote TV, mencari-cari channel yang bagus untuk ditonton. Yah,
apa mau dikata. “Selamat tidur, Kak Yashiro.”.
“Yo, Chris,” jawabnya
santai. “Have a nice dream.”.
Langkahku menuju
kamar terhenti sebentar. Usai Kak Shermie selesai membuatkan dua mi ramen cup untuknya
dan Kak Yashiro – aku tidak dibuatkan karena aku mau tidur – aku tiba-tiba
teringat pada ucapan Kak Shermie ketika aku menampakkan sisi lemahku di
hadapannya.
Itu bukan hanya sekedar kata-kata, ‘kan?
“Kita benar-benar akan selalu bersama, ‘kan?”.
Dari pintu toilet yang terbuat dari kaca, aku bisa
melihat mereka berdua menolehkan wajah tepat ke arahku dengan ekspresi
terperangah. Tapi, aku tidak memutarbalikkan posisiku. Aku tetap membelakangi
mereka.
“Kalian tidak akan mengkhianatiku, ‘kan?” Aku
langsung meringis.
“Ya! Kita akan
selalu bersama!” Kak Shermie tersenyum ceria – mencerahkan suasana yang sempat
hening sebentar sebelum siapapun di antara kami membuka mulut – sambil menjentikkan
jarinya. “Kita akan membuat band yang paling hebat dan mengukir nama di dunia!”.
“Rileks, Chris,”
Kak Yashiro memandangku – aku melihatnya dari kaca, tentunya – dengan tatapan
bijak. “Asal kamu tahu, aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri. Jadi,
kalau kamu mau menganggap kami sebagai keluarga, itu sudah wajib fardhu.”.
Sepertinya aku bisa mempercayai mereka.
Aku menghela napas lega. “Makasih, ya,” ucapku
mengakhiri pembicaraan, berbekal pula senyumanku yang dapat mewakilkan
perasaanku untuk saat ini.
Aku takut
kehilangan maupun dihilangkan lagi.
.
.
.
.
.
To be continued ...